01.16

Pengelolaan Kesuburan Tanah Sulfat Masam (Bagian 4.B)

Pengelolaan Kesuburan Tanah Sulfat Masam*

Oleh: Masayu Rodiah** dan Abdul Madjid Rohim***


(Bagian 4.B dari 5 Tulisan)


Keterangan:

* : Makalah Pengelolaan Kesuburan Tanah, Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pascasarjana, Universitas Sriwijaya. Palembang, Propinsi Sumatera Selatan, Indonesia.

** : Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pascasarjana, Universitas Sriwijaya. Palembang, Propinsi Sumatera Selatan, Indonesia.

*** : Dosen Mata Kuliah Pengelolaan Kesuburan Tanah, Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pascasarjana, Universitas Sriwijaya. Palembang, Propinsi Sumatera Selatan, Indonesia.

(Bagian 4.B dari 5 Tulisan)


B.
Teknologi Ameliorasi dan Pemupukan pada Lahan Sulfat Masam

Ameliorasi tanah sulfat masam untuk memperbaiki sifat kimia dan fisik tanah harus dilakukan terlebih dahulu sebelum pemupukan dilaksanakan. Pemupukan tanpa perbaikan tanah tidak akan efisien bahkan tidak respon. Produktivitas tanah sulfat masam biasanya rendah, disebabkan oleh tingginya kemasaman (pH rendah), kelarutan Fe, Al, dan Mn serta rendahnya ketersediaan unsur hara terutama P dan K dan kejenuhan basa yang dapat mengganggu pertumbuhan tanaman (Dent, 1986). Oleh karena itu tanah seperti ini memerlukan bahan pembenah tanah (amelioran) untuk memperbaiki kesuburan tanahnya sehingga produktivitas lahannya meningkat. Bahan amelioran yang dapat digunakan adalah kaptan dan Rock Phosphate. Kaptan digunakan untuk meningkatkan pH tanah sedangkan Rock Phosphate untuk memenuhi kebutuhan hara P-nya.

Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam menetapkan kebutuhan kapur menurut (Mc Lean, 1982, dalam Al-Jabri, 2002) adalah 1) derajat pelapukan dari tipe bahan induk, 2) kandungan liat, 3) kandungan bahan organik, 4) bentuk kemasaman, 5) pH tanah awal, 6) penggunaan metode kebutuhan kapur, dan 7) waktu. Penetapan kebutuhan kapur untuk tanah sulfat masam dapat dilakukan melalui beberapa metode, yaitu : 1) kebutuhan kapur berdasarkan metode inkubasi, 2) metode titrasi, dan 3) berdasarkan Al-dd. Penetapan kebutuhan kapur dengan metode inkubasi dilakukan dengan mencampurkan kapur dan tanah serta air dalam beberapa dosis kapur selama beberapa waktu tertentu, biasanya dari satu minggu sampai beberapa minggu. Lalu kebutuhan kapur ditentukan pada nilai pH tertentu. Menurut Mc. Lean (1982 dalam Al-Jabri 2002), kelemahan metode ini adalah terjadinya akumulasi garam (Ca, Mg, dan K) sehubungan dengan aktivitas mikroba sehingga takaran kapurnya lebih tinggi. Penetapan kebutuhan kapur berdasarkan metode titrasi dengan NaOH 0,05 N untuk mencapai pH tertentu lebih rendah jika dibandingkan dengan metode inkubasi dan Al-dd KCl 1 N, tetapi cara ini lambat tidak sesuai untuk analisis rutin (Al-Jabri, 2002). Walaupun kebutuhan kapur dengan metode titrasi lebih rendah, tetapi sebagian besar dari kemasaman tanah tidak dinetralisir oleh basa. Hal ini disebabkan reaksi antara kation-kation asam yang dapat dititrasi berlangsung sangat lambat. Penetapan kebutuhan kapur berdasarkan Al-dd KCl 1,0 N banyak dipertanyakan, sebab tingkat keracunan Al bervariasi dengan tanaman dan tanah. Karena tingkat keracunan untuk suatu jenis tanaman mempunyai variasi lebar dalam tanah yang berbeda maka Al-dd tidak digunakan sebagai parameter yang menentukan keracunan tetapi persentase kejenuhannya.

Hasil penelitian di rumah kaca dan lapangan ternyata pemberian dosis kapur berdasarkan titrasi dan inkubasi dapat diaplikasikan pada tanah sulfat masam potensial bergambut di Lamunti ex. PLG Kalimantan Tengah (Suriadikarta dan Sjamsidi, 2001), tanah sulfat masam umumnya ketersediaan hara P dan K rendah namun bila bahan organiknya tinggi maka P dan K biasanya
tinggi pula. Pada tanah sulfat masam aktual kadar P dan K dalam tanah sangat rendah sehingga pemupukan P dan K sangat diperlukan. Pemupukan P diberikan 100 kg TSP/ha atau 125 kg SP-36/ha yang setara dengan 200 kg RP/ha (Hartatik, 1999 dan Supardi et al., 2000). Rock Phosphate yang baik mutunya untuk tanah ini adalah Rock Phosphate Maroko Ground karena mempunyai kandungan Ca yang tinggi yaitu 27,65% dan kadar P2O5 total 28,8% (Suriadikarta dan Sjamsidi, 2001). Hasil penelitian di lahan rawa menunjukkan pupuk kalium cukup diberikan 100 kg KCl/ha untuk tanaman padi sawah.

Tanah sulfat masam di Pulau Petak sangat respon terhadap pemupukan P baik yang berasal dari TSP maupun dari Rock Phosphate. Hasil penelitian Manuelpillei et al. (1986) di kebun percobaan Unitatas BARIF pemberian 135 kg P2O5/ha, 1.000 kg kaptan/ha, 50 kg K2O/ha, dan 120 kg N/ha dapat meningkatkan hasil tanaman padi menjadi 2,45 t/ha GKG terjadi delapan kali lipat peningkatan bila dibandingkan dengan kontrol (tanpa P dan Kaptan). Pemberian 90 kg P2O5/ha dan kaptan 500 kg/ha menghasilkan 2,21 t/ha GKG, hasil ini tidak berbeda nyata dengan pemberian 135 kg P2O5/ha dan kaptan 1.000 kg/ha.

Pemberian Rock Phosphate pada tanah sulfat masam juga menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata dengan penggunaan TSP, hal ini disebabkan terjadinya proses penyanggaan Rock Phophate dalam media yang sangat masam, menghasilkan bentuk P yang meta-stabil seperti Dicalsium phophate yang tersedia untuk tanaman. Subiksa et al. (1999), menunjukkan pemberian dolomit 2 t/ha dan SP-36 200-300 kg/ha dapat menghasilkan rata-rata 4,0 t/ha GKG pada tanah sulfat masam potensial di Kecamatan Telang, Kabupaten Muba, Sumatera Selatan.

Dalam penelitian pada tanah sulfat masam potensial di Tabung Anen Kalimantan Selatan pemberian pupuk P + kalium + bahan organik dan kapur masing-masing sebesar 43 kg P/ha, 52 kg K/ha, kapur 1 t/ha dan pupuk kandang 5 t/ha memberikan hasil 3,24 t/ha GKG, pemberian kapur didasarkan kepada metode inkubasi untuk mencapai pH 5 (Hartatik et al., 1999). Sedangkan pemupukan P berdasarkan kepada kebutuhan P untuk mencapai 0,02 ppm P dalam larutan tanah. Di Belawang kebutuhan kapurnya lebih tinggi yaitu sebesar 4 t/ha, respon pemupukan P dan K tertinggi dicapai pada perlakuan P optimum (100 kg P/ha), K 78 kg/ha, dan 4 t kapur/ha. Hasil itu dapat dipahami karena tanah sulfat masam aktual di Belawang piritnya telah mengalami oksidasi sehingga Al-dd tinggi dan P tersedia rendah. Hasil penelitian pemupukan P dan kapur pada tanah sulfat masam pada beberapa lokasi penelitian disajikan pada Tabel 4.3. P-alam yang telah dicoba untuk tanah sulfat masam dan memberikan hasil yang sama baiknya adalah P-alam Tunisia, Ciamis, Christmas, dan Aljazair.

Di Lamunti, ex PLG Kalimantan Tengah P-alam setara dengan 150 kg P2O5/ha rata-rata dapat memberikan hasil 4,5 t/ha GKG, tetapi kalau diberikan 75 kg P2O5/ha hasil yang diperoleh hanya 3,79 t/ha GKG, sedangkan di Palingkau Kalimantan Tengah dengan dosis yang sama dapat memberikan masing-masing 3,7 t/ha dan 3,4 t/ha GKG (Supardi et al., 2000). Pemupukan P-alam hingga 60% erapan maksimum P dalam tanah sulfat masam Sumber Agung dan Sumber Rejo di Pulau Rimau, Sumatera Selatan dapat meningkatkan kadar P tersedia, namun belum dapat menurunkan kadar unsur beracun Fe2+, Fe-Al oksida, dan amorf serta sulfat dalam tanah. Unsur beracun diatas ditemukan dalam jumlah yang lebih tinggi pada tanah sulfat masam potensial yang baru teroksidasi dibandingkan tanah sulfat masam aktual (Setyorini, 2001). Oleh karena itu diperlukan kehati-hatian dalam mereklamasi atau melakukan pencucian/drainase di tanah sulfat masam potensial, apalagi jika kandungan liat tinggi. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa erapan P maksimum pada tanah sulfat masam aktual mencapai 2,000 µg P/g sedangkan pada sulfat masam potensial sedikit lebih rendah yaitu sekitar 1,666 µg P/g. Nilai erapan maksimum yang tinggi pada sulfat masam aktual dari pada sulfat masam potensial diakibatkan perbedaan kadar dan jenis liat, kadar pirit, pH, Al dan Fe, serta bahan organik. Ditinjau dari distribusi bentuk P-anorganik pada tanah sulfat masam diatas, terlihat bahwa fraksi Fe-P dan Al-P mendominasi jumlah P anorganik pada tanah sulfat masam potensial sedangkan fraksi Al-P dan Ca-P dominan pada sulfat masam aktual. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan P pada tanah sulfat masam antara lain pH, Alo, Feo, Ald, Fed, dan pirit. Tingginya kadar Fe dan Al bentuk amorf pada tanah sulfat masam mempengaruhi distribusi fraksi Panorganik (Setyorini, 2001).

Dari hasil penelitian Konsten dan Sarwani (1990), di Pulau Petak Kalimantan Selatan, diperoleh bahwa oksidasi pirit setelah reklamasi membuat tanah di daerah tersebut sangat masam, dijenuhi oleh Al dan mempunyai pH antara 3 dan 4. Adanya garam-garam besi bebas dan Al menyebabkan keracunan tanaman dan defisiensi K dan Ca sangat sering terjadi. Kemasaman tanah aktual dari tanah sulfat masam di Pulau Petak diduga dengan titrasi cepat pada pH 5,5, jumlah Al-dd sampai 60 mmol/g. Kemasaman tanah aktual untuk tanah pH kurang dari 4 adalah 20 mmol/100 g yang setara dengan keperluan kapur 15 t/ha. Potensi kemasaman sangat tinggi dengan kandungan pirit mencapai 8%.

Selanjutnya Konsten dan Sarwani (1990) mengemukakan bahwa untuk mengatasi kemasaman aktual yang tinggi dapat dilakukan dengan drainase dangkal, pencucian intensif tanah lapisan atas, yang dikombinasikan dengan pemberian kapur dan pupuk kalium.


Bersambung ke bagian 4.C yang dapat dilihat pada pustaka dibawah ini:


Pustaka:

Madjid, A. R. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Bahan Ajar Online untuk mata kuliah: (1) Dasar-Dasar Ilmu Tanah, (2) Kesuburan Tanah, dan (3) Pengelolaan Kesuburan Tanah Lanjut. Fakultas Pertanian Unsri & Program Pascasarjana Unsri. http://dasar2ilmutanah.blogspot.com.