19.37

Cacing Tanah 14

Proses Pembuatan Pupuk Vermikompos dan Beternak Cacing Tanah:

Proses pembuatan pupuk Vermikompos atau pupuk Kascing dan sekaligus memanajemen sistem beternak cacing tanah dapat dilakukan dengan berbagai cara. Salah satu cara yang dapat mempercepat proses pembuatan pupuk Vermikompos adalah dengan menggunakan sistem 4 (empat) baki yang disusun secara bertingkat yang dapat dilihat pada gambar dibawah ini. Tiga baki teratas lantai dasarnya berupa saringan. Baki pertama tempat proses awal yang merupakan pencampuran antara media berupa bahan organik yang akan didekomposisi dengan bibit cacing tanah. Baki kedua dan ketiga merupakan tempat proses terjadinya dekomposisi dari bahan organik oleh cacing tanah, yaitu proses 1 dan proses 2. Baki keempat yang berada paling bawah merupakan tempat terakumulasinya pupuk Vermikompos yang telah jadi (matang) yang siap untuk dikumpulkan dan dikemas untuk dijual.

18.59

Cacing Tanah 13

Cacing Tanah Lumbricus:

Cacing tanah atau Earthworm yang saat ini banyak dibudidayakan di Indonesia salah satunya adalah: Cacing Tanah Lumbricus. Cacing tanah Lumbricus dimanfaatkan untuk mempercepat proses dekomposisi sampah organik. Sampah organik yang digunakan bisa bersumber dari sampah organik dari perkotaan maupun sampah organik dari pedesaan. Pemanfaatan cacing tanah Lumbricus diharapkan dapat membantu dalam proses penanganan sampah organik di perkotaan, karena sampah organik di perkotaan jika tidak dikelola secara tepat dalam proses dekomposisinya dapat menyebabkan pencemaran lingkungan. Pencemaran dapat berupa pencemaran daratan, udara dan air. Cacing tanah Lumbricus memiliki ciri khas yaitu berwarna merah muda sampai merah, sehingga sering disebut juga sebagai cacing tanah merah (Red Earthworm). Bentuk dan warna cacing tanah Lumbricus dapat dilihat pada gambar dibawah ini:




Cacing tanah Lumbricus dimanfaatkan selain untuk mempercepat proses pendekomposisian sampah organik, juga dimanfaatkan secara bersamaan untuk menghasilkan pupuk organik yang dikenal dengan sebutan "Vermikompos" atau "Kascing". Selain itu, peternakan cacing tanah juga bertujuan untuk menghasilkan berbagai obat alternatif dengan bahan dasar utama dari cacing tanah ini dengan berbagai umur yang berbeda untuk berbagai kegunaan pengobatan penyakit yang berbeda pula.

23.56

Cacing Tanah 01

Cacing Tanah atau Earthworm:

Cacing tanah merupakan terjemahan dari Earthworm. Cacing tanah tergolong makroorganisme tanah yang sering ditemukan pada tanah. Tanah yang subur biasanya ditemukan lebih banyak populasi cacing tanah dengan keragaman yang lebih beragam. Cacing tanah atau earthworm umumnya berukuran berkisar dari beberapa centimeter sampai dengan 15 centimeter. Meskipun ditemukan juga cacing tanah raksasa yang berukuran lebih dari 2 meter. Lumbricus merupakan salah satu cacing yang sering ditemukan dalam tanah, yang dicirikan dengan warna merah muda sampai merah. Cacing Lumbricus juga dimanfaatkan untuk mempercepat proses dekomposisi sampah organik dan sekaligus dihasilkan pupuk "Kascing" atau disebut juga "Vermikompos".

Kascing berbeda dengan Kotcing. Kotcing merupakan pupuk murni dari kotoran cacing tanah tanpa tercampur dengan media bekas budidaya cacing tersebut, kadar haranya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Kascing, terutama kandungan fosfat dan kalsium. Harga pupuk Kotcing lebih mahal daripada pupuk Kascing.

Kascing atau disebut juga "Vermikompos" merupakan pupuk organik yang dihasilkan dari proses dekomposisi bahan organik dengan memanfaatkan aktivitas cacing tanah. Kascing merupakan singkatan dari kata bekas budidaya cacing. Kascing merupakan campuran antara kotoran cacing dengan sisa media budidaya cacing yang telah matang. Kascing memiliki kandungan hara fosfat dan kalsium lebih tinggi daripada pupuk organik biasa dan pupuk kompos.

Salah satu contoh cacing tanah atau earthworm dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

18.50

Cacing Tanah 02

Peranan Cacing Tanah terhadap Perbaikan Sifat Fisika Tanah:

Cacing tanah atau Earthworm dapat memperbaiki beberpa sifat fisik tanah, antara lain:
(1) meningkatkan ruang pori tanah.
(2) menjadikan tanah makin gembur.



18.20

Cacing Tanah 03

Peranan Cacing Tanah terhadap Perubahan Sifat Biologi Tanah:

Cacing tanah atau Earthworm merupakan makroorganisme tanah yang hidup dalam tanah dengan sumber makanan dari bahan organik yang ada dalam tanah. Cacing tanah membantu dalam perombakan bahan organik yang ada dalam tanah menjadi berbagai senyawa dan ion yang sebagian besar berupa hara yang lebih mudah tersedia bagi tanaman. Selain itu, senyawa dan ion tersebut juga dapat dimanfaatkan oleh berbagai organisme tanah lainnya, baik bermanfaat bagi makroorganisme tanah lainnya, maupun mesoorganisme tanah dan mikroorganisme tanah, sehingga merangsang pertumbuhan dan perkembangan aktivitas biologis dalam sistem tanah tersebut.

Cacing tanah menghasilkan kotoran cacing yang disebut sebagai "Kotcing". Kotcing (kotoran cacing) mengandung ion fosfat dengan kadar yang tinggi. Ion Fosfat merupakan salah satu ion essensial baik untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman, maupun untuk pembelahan sel dan pembesaran serta perkembangan sel dari berbagai organisme tanah.

Beberapa perbaikan sifat biologi tanah dari peranan Cacing tanah:
(1) Cacing tanah bermanfaat dalam meningkatkan aktivitas organisme tanah,
(2) Cacing tanah bermanfaat dalam menigkatkan keragaman organisme tanah.
(3) Cacing tanah bermanfaat meningkatkan populasi organisme tanah.


Gambar di bawah ini mengilustrasikan Cacing Tanah atau Earthworm yang ditemukan dalam tanah.

19.33

Cacing Tanah 004

Peranan Cacing Tanah terhadap Perbaikan Sifat Kimia Tanah:

Cacing tanah dapat memperbaiki sifat kimia tanah baik secara langsung (direct effect) maupun tidak langsung (indirect effect).


Pengaruh Langsung:

Cacing tanah dapat membantu dalam sirkulasi unsur hara dalam tanah. Mobilitas cacing tanah dalam sistem tanah berlangsung baik secara horizontal maupun vertikal. Mobilitas secara vertikal menyebabkan terjadi sirkulasi unsur hara dari sisitem tanah bagian lebih dalam ke sistem tanah bagian atas dan terjadi juga sebaliknya. Sirkulasi unsur hara tersebut sangat menguntungkan bagi memenuhi kebutuhan unsur hara tanaman. Tanah dengan populasi cacing tanah yang lebih banyak mempengaruhi terhadap peningkatan ketersediaan P bagi tanaman. Selain itu juga terjadi peningkatan pH tanah.
Cacing tanah dapat membantu dalam proses dekomposisi bahan organik yang ada dalam tanah. Proses dekomposisi tersebut akan dibebaskan berbagai unsur hara yang menjadi lebih tersedia bagi tanaman.



Pengaruh Tidak Langsung:

Pengaruh tidak langsung dari cacing tanah terhadap perbaikan sifat kimia tanah, dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu:
(1) Pengaruh tidak langsung Intern sistem tanah.
(2) Pengaruh tidak langsung melalui proses tambahan diluar sistem tanah.

Pengaruh tidak langsung Intern sistem tanah merupakan perbaikan kimia tanah karena integrasi dari berbagai perbaikan fisiko-kimia tanah, kimia-biologi tanah, dan fisik-kimia-biologi tanah. Pengaruh Integrasi dalam intern sistem tanah mempercepat proses perbaikan sifat tanah.

Pengaruh tidak langsung melalui proses tambahan diluar sistem tanah merupakan pengaruh dari penggunaan dari proses pemanfaatan cacing tanah dalam merombak bahan organik menjadi pupuk organik yang dapat memperbaiki sifat kimia tanah. Proses ini dikenal sebagai "Vermikomposting". "Vermikomposting" merupakan proses pembuatan pupuk kompos plus dengan memanfaatkan aktivitas cacing tanah. Pupuk kompos yang dihasilkan dari proses ini disebut pupuk "Vermikompos".

Gambar cacing tanah utuh dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

19.20

Cacing Tanah 005

Cacing Tanah:

Cacing tanah terbagi dari bagian kepala (depan), badan (tengah), dan belakang. Cacing tanah juga terdiri dari bagian punggung dan bagian dada. Anatomi dari setiap bagian ini diilustrasikan dalam Gambar di bawah ini:

19.13

Cacing Tanah 006

Sistem Pencernaan Cacing Tanah:

Sistem pencernaan dari cacing tanah terdiri dari delapan subsistem. Kedelapan subsistem penyusun sistem pencernaan cacing tanah disajikan dalam Gambar Sistem Pencernaan Cacing Tanah berikut ini:

19.07

Cacing Tanah 007

Anatomi Cacing Tanah Bagian Depan:

Anatomi cacing tanah dari bagian depan disajikan dalam Gambar Anatomi Cacing Tanah di bawah ini:

18.57

Cacing Tanah 009

Penampang Melintang Tubuh Cacing Tanah:

Irisan penampang melintang dari tubuh cacing tanah dapat dilihat dari gambar yang disajikan di bawah ini:

18.35

Cacing Tanah 010

Cacing Tanah Tiger:

Cacing tanah merupakan salah satu organisme tanah yang tergolong makrobia, karena ukurannya jauh lebih besar dibandingkan dengan bakteri tanah dan fungi tanah. Cacing tanah dapat dilihat dengan mata tanpa perlu menggunakan mikroskop. Cacing tanah sangat berperan dalam memperbaiki kondisi tanah, mencakup:
(1) Fisika tanah,
(2) Kimia tanah, dan
(3) Biologi tanah.

Selain itu, cacing tanah dapat dimanfaatkan untuk memproduksi pupuk organik plus yang sering disebut "Vermikompos". Vermikomposting merupakan proses pembuatan pupuk kompos dengan memanfaatkan aktivitas cacing tanah. Vermikompos merupakan pupuk kompos yang berasal dari kumpulan kotoran cacing yang bercampur dengan sisa media tempat pertumbuhan dan perkembangbiakan cacing tanah tersebut.

Cacing tanah juga ada yang bermanfaat untuk kesehatan manusia, antara lain bermanfaat dalam meningkatkan stamina dan fertilitas. Salah satu cacing Tanah yang sudah populer dalam meningkatkan kesehatan ini adalah Cacing Tanah Tiger. Gambaran dari cacing tanah tiger dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

18.15

Cacing Tanah 011

Anatomi Cacing Tanah

Anatomi rinci dari cacing tanah dapat dilihat dari Gambar Anatomi Cacing Tanah di bawah ini:




Cacing tanah sebagai suatu sistem meliputi beberapa subsistem berikut:
(1) Subsistem Pencernaan,
(2) Subsistem Pernafasan,
(3) Subsistem Gerak,
(4) dll.

18.02

Cacing Tanah 012

09.14

Mikoriza 001

Endomikoriza, Ektomikoriza dan Ektendomikoriza:

Mikoriza merupakan fungi yang hidup secara simbiosis mutualistis dengan akar tanaman inang. Mikoriza tidak dapat ditumbuhkan pada media kultur murni tanpa akar tanaman inang. Mikoriza dibedakan kedalam 3 kelompok, yaitu:
(1) Endomikoriza,
(2) Ektomikoriza, dan
(3) Ektendomikoriza.
Ilustrasi yang disajikan dalam gambar di bawah ini memperlihatkan perbedaan yang mendasar dari ketiga kelompok mikoriza tersebut.

08.58

Mikoriza 002

Vesikular Arbuskular Mycorrhizal (VAM):

Vesikular Arbuskular Mycorrhizal (VAM) merupakan mikoriza yang dapat menetrasi baik ke ruang antar sel akar maupun ke dalam sel-sel akar. Kemampuan mikoriza ini dalam menetrasi dengan kedua type penetrasi tersebut menjadi ciri khas dari mikoriza ini. Selain ciri tersebut, ciri lainnya adalah mikoriza ini membentuk organ Vesikula (Vesicle) dan organ Arbuskula (Arbuscule) di dalam sel-sel akar tanaman inang. Ilustrasi penetrasi hyfa mikoriza vesikula arbuskula (MVA) pada ruang antar sel dan ke dalam sel-sel akar tanaman dan keberadaan organ Vesikula dan Arbuskula disajikan dalam gambar di bawah ini.

08.53

Mikoriza 003

08.39

Mikoriza 004

Perbedaan Lokasi Sebaran antara Ektomikoriza dengan Endomikoriza:

Ektomikoriza bersimbiosis dengan akar tanaman inang yang berada dekat permukaan, sedangkan Endomikoriza (contohnya Mikoriza Vesikula Arbuskula) bersimbiosis dengan akar tanaman inang yang berada lebih dalam dari permukaan tanah. Perbedaan lokasi sebaran dari kedua mikoriza tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

08.21

Mikoriza 005

Mikoriza Vasikula Arbuskula (MVA):

Salah satu mikoriza dari kelompok Endomikoriza yang membentuk organ Vesikula dan Arbuskula dalam akar tanaman inang adalah Vesicular Arbuscular Mycorrhiza (VAM) atau yang dalam bahasa Indonesia disebut Mikoriza Vesikula Arbuskula (MVA). Mikoriza Vesikula Arbuskula (MVA) memiliki hyfa yang dapat masuk ke dalam sel akar tanaman sampai ke sel-sel kortek. Penyebaran hyfa Mikoriza Vasikula Arbuskula dalam simbiosis dengan akar tanaman disajikan dalam gambar di bawah ini:


01.11

Mikoriza 006

Ektomikoriza (Ectomycorrhizal = ECM) dan Endomikoriza (Endomycorrhizal):

Perbedaan antara mikoriza yang temasuk kelompok Ektomikoriza atau Ectomycorrhizal (ECM) dengan mikoriza kelompok Endomikoriza (Endomycorrhizal) adalah letak sebaran dari keberadaan kedua mikoriza tersebut pada akar tanaman inang. Ektomikoriza merupakan mikoriza yang bersimbiosis mutualistik dengan akar tanaman inang dengan penyebaran hyfa mikoriza pada permukaan akar tanpa infeksi hyfa ke dalam sel kortek seperti pada Endomikoriza. Selain itu, Ektomikoriza bersimbiosis dengan akar tanaman inang yang akarnya berada tidak jauh dari permukaan tanah, sedangkan pada Endomikoriza bersimbiosis dengan akar tanaman inang yang berada relatif lebih dalam dari permukaan tanah. Perbedaan kedua mikoriza ini dalam bersimbiosis dengan akar tanaman inang diilustrasikan dalam gambar sketsa berikut ini:



Salah satu contoh dari Endomikoriza adalah Mikoriza Arbuskula (MA), Mikoriza ini dicirikan dari adanya organ Arbuskula. Organ Arbuskula dari Endomikoriza ini tumbuh dan berkembang dalam sel akar tanaman inang yang berada pada sel akar bagian dalam yaitu pada sel kortek akar.

00.28

Mikoriza 007

Endomikoriza (Endomycorrhizal):

Salah satu mikoriza yang termasuk kelompok Endomikoriza adalah Mikoriza Vasikula Arbuskula (MVA). Endomikoriza merupakan mikoriza yang hidup bersimbiosis secara mutualistis dengan akar tanaman inang dengan cara hyfa mikoriza menginfeksi akar tanaman dan menembus epidermis akar dan endodemis akar, bahkan hyfanya terus menyebar masuk baik ke ruang antar sel maupun masuk ke dalam sel kortek akar. Mikoriza Vesikula Arbuskula (MVA) merupakan endomikoriza yang memiliki organ Vesikula dan organ Arbuskula. Perbedaan antara bentuk antara Vesikula (Vesicle) dengan Arbuskula (Arbuscule) dapat dilihat pada gambar sketsa Mikoriza Vesikula Arbuskula (MVA) dibawah ini:

22.40

Mikoriza 008

Vesicular Arbuscular Mycorrhizal (VAM):

Vesicular Arbuscular Mycorrhizal (VAM) yang disebut juga sebagai Mikoriza Vesikula Arbuskula (MVA) termasuk kelompok Endo Mikoriza. Mikoriza Vesikula Arbuskula (MVA) dibedakan berdasarkan bentuk dan ukuran spora, yang terdiri dari: Gigaspora, Glomus, Acaolospora, Sclerocystis,dan Endogone. Mikoriza ini diberi nama Mikoriza Vesikula Arbuskula (MVA)dikarenakan memiliki organ Vesikula dan organ Arbuskula. Vesikula berbentuk agak bulat, bulat lonjong dan bulat, sedangkan Arbuskula berbentuk hyfa yang bercabang-cabang. Bentuk Vesikula dalam akar tanaman dapat dilihat pada gambar dibawah ini. Gambar memperlihatkan bentuk dari Vesikula dalam akar tanaman inang yang diamati dibawah mikroskop dengan terlebih dahulu telah diberi perlakuan pewarnaan, sehingga vesikula nampak lebih kontras dengan bentuk bulat berwarna biru tua.

22.14

Mikoriza 009

Vesicular Arbuscular Mycorrhizal (VAM):

Vesicular Arbuscular Mycorrhizal (VAM) merupakan mikoriza yang hyfanya selain menyebar pada ruang antar sel akar juga sebagian hyfanya masuk ke dalam sel akar. Mikoriza ini termasuk kelompok Endo-Mikoriza. Mikoriza ini dalam akar tanaman membentuk organ Vesikula (Vesicle) dan Arbuskula (Arbuscule). Organ Vesikula berbentuk agak bulat sampai berbentuk bulat lonjong. Bentuk Vesikula dari Glomus dapat dilihat dalam gambar dibawah ini.

21.37

Mikoriza 010

Vesicular Arbuscular Mycorrhizal (VAM):

Mikoriza dikelompokkan menjadi:
(1) Endomikoriza,
(2) Ektomikoriza, dan
(3) Ektendomikoriza.

Endomikoriza merupakan fungi yang hidup simbiosis mutualistis dengan akar tanaman dengan hyfa fungi masuk ke dalam sel akar dan membentuk organ arbuskula dan vesikula. Salah satu endomikoriza yang lengkap memiliki kedua organ tersebut dikenal dengan nama Vesicular Arbuscular Mycorrhizal (VAM)yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai Mikoriza Vesikula Arbuskula (MVA). Bentuk organ Arbuskula (Arbuscules)yang berada dalam sel akar tanaman dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

18.32

Bakteri Pelarut Fosfat 01

Media Spesifik Pikovskaya dan Bakteri Pelarut Fosfat (BPF)

1. Media Pikovskaya

Media Pikovskaya merupakan media spesifik yang ditemukan oleh Pikovskaya yang dapat memudahkan isolasi mikrobia pelarut fosfat (MPF) baik bakteri pelarut fosfat (BPF) maupun fungi pelarut fosfat (FPF). Media spesifik Pikovskaya menggunakan sumber fosfat dari dari bentuk fosfat tak larut berupa kalsium fosfat. Visualisasi dari media pikovskaya pada cawan petri yang medianya telah memadat adalah berwarna putih susu yang dapat dilihat pada gambar dibawah ini:



Cawan petri sebelah kanan memperlihatkan visualisasi dari warna putih susu dari media spesifik Pikovskaya. Warna putih susu yang nampak tersebut merupakan warna putih dari kalsium fosfat yang bersifat tidak larut. Butiran sangat halus kalsium fosfat dari media Pikovskaya yang menyebar secara merata pada media yang menyebabkan visualisasi media Pikovskaya menjadi berwarna putih susu dan ini merupakan ciri dari media spesifik ini. Hanya mikrobia yang dapat memanfaatkan fosfat dengan cara melarutkan kalsium fosfat tersebut yang akan dapat tumbuh dan berkembang pada media spesifik ini.


2. Bakteri Pelarut Fosfat (BPF)

Bakteri pelarut fosfat (BPF) dapat diisolasi dengan menggunakan media spesifik Pikovskaya. Bakteri yang dapat tumbuh dan berkembang pada media Pikovskaya merupakan Bakteri Pelarut Fosfat (BPF). Ciri dari terisolasinya bakteri pelarut fosfat pada media Pikovskaya adalah ditemukannya bakteri yang tumbuh pada media dengan disekitarnya berwarna bening atau terbentuk zona bening. Zona bening mencirikan bahwa bakteri tersebut mampu melarutkan fosfat dari bentuk kalsium fosfat yang digunakan dalam media Pikovskaya tersebut. Gambar diatas pada cawan petri sebelah kiri memperlihatkan tumbuhnya bakteri pada media tersebut dengan ciri adanya zona bening di dekat bakteri tersebut, maka bekteri tersebut tergolong Bakteri Pelarut Fosfat (BPF). Visualisasi lebih detil dapat dilihat pada gambar dari posting: Bakteri Pelarut Fosfat 02, Bakteri Pelarut Fosfat 03, Bakteri Pelarut Fosfat 04 dan Bakteri Pelarut Fosfat 05.

18.17

Bakteri Pelarut Fosfat 02

Bakteri Pelarut Fosfat (Phosphate Solubilizing Bacteria)

Bakteri Pelarut Fosfat yang sering disingkat dengan sebutan BPF merupakan bakteri yang mampu melarutkan fosfat. Bakteri pelarut fosfat diidentifikasi dengan menggunakan media khusus atau media spesifik untuk mikrobia pelarut fosfat yaitu media Pikovskaya. Media spesifik Pikovskaya memudahkan isolasi mikrobia pelarut fosaft (MPF) termasuk juga memudahkan dalam isolasi bakteri pelarut fosfat (BPF) karena media ini menggunakan sumber fosfat dari mono kalsium fosfat, sehingga hanya mikrobia yang mampu melarutkan fosfat dari mono kalsium fosfat tersebut saja yang dapat tumbuh dan berkembang pada media tersebut. Kemampuan dari pelarutan fosfat dari mono kalsium fosfat dicirikan dari terbentuknya zona bening disekitar mikrobia tersebut. Gambar dibawah ini memperlihatkan tumbuhnya bakteri pelarut fosfat (BPF) pada media spesifik Pikovskaya dan warna bening disekeliling mikrobia tersebut yang disebut sebagai zona bening mencirikan bahwa mikrobia tersebut memiliki kemampuan dalam melarutkan fosfat.

18.09

Bakteri Pelarut Fosfat 03

Bakteri Pelarut Fosfat (Phosphate Solubilizing Bacteria)

18.00

Bakteri Pelarut Fosfat 04

17.55

Bakteri Pelarut Fosfat 05

07.02

Dasar-Dasar Ilmu Tanah (1 dari 25)

I. PENDAHULUAN

Pengertian tanah sangatlah beragam dan tergantung bidang ilmu yang menilainya. Pengertian tanah berdasarkan ahli hukum akan berbeda dengan pengertian tanah menurut ahli ekonomi, lembaga keuangan / perbankan, dan ibu rumah tangga. Tanah menurut ahli hukum dinilai berdasarkan status tanah atau hak kepemilikan terhadap tanah, seperti tanah berstatus hak milik berbeda dengan tanah berstatus hak guna usaha (HGU) dan hak pakai serta sangat berbeda sekali dengan tanah garapan. Tanah menurut ahli ekonomi dan lembaga keuangan perbankan dipahami berdasarkan kedekatan lokasi tanah dengan akses dan kelancaran akses serta kedekatan dengan pusat pengembangan. Tanah yang dekat jalan atau dekat pusat pengembangan memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi daripada tanah yang berlokasi jauh dari akses jalan atau jauh dari pusat pengembangan. Berbeda dengan pengertian tanah menurut ibu rumah tangga yang selelu mengingatkan anak-anaknya agar jangan bermain tanah dan selalu mengingatkan anak-anaknya tidak lupa mencuci tangan dan kaki apabila kena tanah.
Pengertian tanah yang dipelajari dalam mata kuliah Dasar Dasar Ilmu Tanah berdasarkan ilmu pertanian. Definisi tanah menurut ilmu pertanian juga mengalami pengembangan dari waktu ke waktu. Perubahan definisi tersebut disajikan sebagai berikut:



II. PENGERTIAN TANAH

Definisi tanah dari waktu ke waktu mengalami pengembangan pengertian. Saat ini terdapat 4 pengertian tentang tanah yang diuraikan lebih rinci sebagai berikut.


2.1 Definisi Tanah Berdasarkan Pendekatan Ahli Geologi

Ahli geologi akhir abad XIX mendefinisikan tanah sebagai lapisan permukaan bumi yang berasal dari bebatuan yang telah mengalami serangkaian pelapukan oleh gaya-gaya alam, sehingga membentuk regolit yaitu lapisan partikel halus.


2.2 Definisi Tanah Berdasarkan Pendekatan Pedologi

Pada tahun 1870 seorang ahli pedologi yaitu Dokuchaev mendefinisikan tanah sebagai bahan padat (bahan mineral atau bahan organik) yang terletak dipermukaan, yang telah dan sedang serta terus menerus mengalami perubahan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor: (1) bahan induk, (2) iklim, (3) organisme, (4) topografi, dan (5) waktu.


2.3 Definisi Tanah Berdasarkan Pendekatan Edaphologi

Seorang ahli edaphologi dari Inggris bernama Dr. H. L. Jones mendefiniskan tanah sebagai media tumbuh tanaman.


2.4 Definisi Tanah Berdasarkan Pendekatan Ilmu Tanah Terkini

Pada tahun 2005 seorang doktor ilmu tanah dari Indonesia bernama Hanafiah mendefiniskan tanah secara lebih komperhensif bahwa tanah adalah lapisan permukaan bumi yang secara fisik berfungsi sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya perakaran penopang tumbuh tegaknya tanaman dan menyuplai kebutuhan air dan udara; secara kimiawi berfungsi sebagai gudang hara dan sumber penyuplai hara atau nutrisi (meliputi: senyawa organik dan anorganik sederhana dan unsur-unsur essensial seperti N, P, K, Ca, Mg, S, Cu, Zn, Fe, Mn, B, dan Cl); dan secara biologi berfungsi sebagai habitat biota (organisme) yang berpartisipasi aktif dalam penyediaan hara tersebut dan zat-zat aditif (pemacu tumbuh, proteksi) bagi tanaman, yang ketiganya secara integral mampu menunjang produktivitas tanah untuk menghasilkan biomass dan produksi baik tanaman pangan, tanaman obat-obatan, industri perkebunan, maupun kehutanan.



III. FUNGSI TANAH

Lima fungsi utama tanah adalah: (1) tempat tumbuh dan berkembangnya perakaran tanaman, (2) penyedia kebutuhan primer tanaman (air, udara, dan unsur-unsur hara), (3) penyedia kebutuhan sekunder tanaman (zat-zat pemacu tumbuh, hormon, vitamin, asam-asam organik, antibiotik, toksin anti hama, dan enzim yang dapat meningkatkan ketersediaan hara) dan siklus hara, dan (4) sebagai habitat biota tanah, baik yang berdampak positif karena terlibat langsung atau tak langsung dalam penyediaan kebutuhan primer dan sekunder tanaman tersebut, maupun yang berdampak negatif karena merupakan hama dan penyakit tanaman, (5) lokasi pembangunan berbagai infrastruktur, seperti bangunan rumah, kantor, supermarket, jalan, terminal, stasiun dan bandara. Integrasi kelima fungsi utama tanah disajikan dalam Gambar 1 berikut.




Gambar 1. Lima fungsi utama tanah yang terintegrasi secara utuh.


Dua Pemahaman Penting Tentang Tanah

Dua pemahaman utama yang sangat mendasari pengertian tentang tanah berdasar-kan ilmu pertanian adalah:

(1) Tanah sebagai tempat tumbuh dan penyedia kebutuhan tanaman.

(2) Tanah berfungsi sebagai pelindung tanaman dari serangan hama dan penyakit serta dampak negatif pestisida dan limbah industri yang berbahaya

06.58

Dasar-Dasar Ilmu Tanah (2 dari 25)

IV. PERBEDAAN PENGERTIAN TANAH

Perbedaan pemahaman pengertian tanah antara pendekatan pedologi dan edaphologi adalah sebagai berikut:


4.1 Kajian Pedologi

Kajian pedologi mendefinisikan tanah berdasarkan dinamika dan evolusi tanah secara alamiah atau berdasarkan pengetahuan alam murni. Beberapa contoh kajian lebih lanjut tentang tanah dengan landasan pendekatan pedologi adalah: fisika tanah, kimia tanah, biologi tanah, morfologi tanah, klasifikasi tanah, survei tanah, pemetaan tanah, analisis bentang lahan, dan ilmu ukur tanah.


4.2 Kajian Edaphologi

Kajian edaphologi mendefinisikan tanah berdasarkan peranan tanah tersebut sebagai media tumbuh tanaman. Beberapa contoh kajian tanah tingkat lanjut yang dilandasi pendekatan edaphologi adalah: kesuburan tanah, konservasi tanah dan air, agrohidrologi, pupuk dan pemupukan, ekologi tanah, dan bioteknologi tanah.


4.3 Paduan antara Pedologi dan Edaphologi

Kajian ilmu tanah tingkat lanjut yang dilandasi kedua pendekatan yaitu pedologi dan edaphologi adalah: pengelolaan tanah dan air, evaluasi kesesuaian lahan, tata guna lahan, pengelolaan tanah rawa, pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan.

06.13

Dasar-Dasar Ilmu Tanah (3 dari 25)

V. PROFIL TANAH

Pengertian profil tanah adalah irisan vertikal tanah dari lapisan paling atas hingga ke batuan induk tanah. Tanah yang telah mengalami perkembangan lanjut akan memiliki horisonisasi yang lengkap, yaitu terdiri dari: (1) horison O, (2) horison A, (3) horison Eluviasi, (4) horison B, (5) lapisan C, dan (6) bahan induk tanah (R). Harisonisasi dalam profil tanah secara pemodelan disajikan dalam Gambar 2.




Gambar 2. Pemodelan dari profil tanah dengan deferensiasi horison yang lengkap, sebagai penciri tingkat perkembangan sistem tanah.

Pengertian dari beberapa istilah penamaan horison dalam profil tanah adalah sebagai berikut:
(1) Horison O adalah horison tanah yang tersusun dari serasah atau sisa-sisa tanaman (Oi) dan bahan organik tanah (BOT) hasil dekomposisi serasah (Oa),

(2) Horison A adalah horison yang tersusun dari bahan mineral berkandungan bahan organik tinggi sehingga berwarna agak gelap.

(3) Lapisan Eluviasi atau Horison Eluviasi adalah horison yang telah mengalami proses eluviasi (pencucian) sangat intensif sehingga kadar bahan organik tanah, liat silikat, Fe dan Al rendah tetapi kada pasir dan debu kuarsa (seskuoksida) serta mineral resisten lainnya tinggi, sehingga berwarna agak terang.

(4) Horison B adalah horison illuvial atau horison pengendapan sehingga terjadi akumulasi dari bahan-bahan yang tercuci dari horison diatasnya.

(5) Horison C adalah lapisan tanah yang bahan penyusunnya masih serupa dengan batuan induk (R) atau belum terjadi perubahan.

(6) Batuan induk tanah (R) merupakan bagian terdalam dari tanah dan masih berupa batuan.
Lapisan tanah atas (top soil) terdiri dari: (1) horison O, dan (2) horison A. Lapisan tanah bawah (sub soil) terdiri dari: (1) horison E, dan (2) horison B. Solum tanah meliputi: (1) lapisan tanah atas, dan (2) lapisan tanah bawah.


5.1 Batas Peralihan Horison

Batas peralihan horison pada profil tanah terlihat secara visual dalam beberapa kategori, yaitu:
(1) batas horison dikategorikan nyata apabila peralihan kurang dari 2,5 cm,

(2) batas horison dikategorikan jelas apabila peralihan terjadi dengan jarak berkisar antara 2,5 cm sampai 6,5 cm,

(3) batas horison dikategorikan berangsur apabila peralihan terjadi dengan jarak berkisar antara 6,5 cm sampai 12,5 cm, dan

(4) batas horison dikategorikan baur apabila peralihan terjadi dengan jarak lebih dari 12,5 cm.



5.2 Bentuk Topografi Batas Horison

Bentuk topografi dari batas harison dalam profil tanah yang terlihat secara visual dibagi dalam 4 kategori, yaitu: (1) bentuk topografi datar, (2) berombak, (3) tidak teratur, dan (4) terputus. Contoh gambaran dari batas horison dan bentuk topografi dari batas tersebut disajikan dalam Gambar 3 dan Gambar 4 berikut.




Gambar 3. Batas horison yang nyata terjadi pada peralihan dari horison A ke horison B, dan batas horison yang jelas terjadi pada peralihan antara horison B ke horison C. Kedua batas terswebut bertopografi datar.




Gambar 4. Bentuk topografi bergelombang dari batas horison yang terjadi antara horison B dengan horison C dalam sistem tanah.

20.21

Dasar-Dasar Ilmu Tanah (4 dari 25)

5.3 Pedon dan Polipedon

Sistem tanah tersusun dari unit-unit terkiecil yang disebut pedon. Kumpulan pedon-pedon yang sama sifatnya yang membentu suatu hamparan disebut polipedon. Gambaran dari tiga dimensi tanah yang tersusun dari tiga polypedon yang berbeda disajikan dalam Gambar 5 berikut.


a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi5B4VSwsdrWy5-9P2TiTY1uGxAo9CJP3LeYX0BoCsz2nRDu_5c6eV3HbOo3ZyEFq6ZuMo0N3z12udv9Wp8coGfMWq4Mva3Pf0J8Kf1fik9Z7IjKopf6gfvBzSihaiLf-7iiIug_Y_5RcuY/s1600/DDIT+TGS+AA+G005.jpg">

Gambar 5. Sistem tanah yang tersusun dari tiga polypedon yang berbeda.


5.4 Kegunaan Profil Tanah

Pemahaman yang mendalam mengenai profil tanah akan membantu dalam pemanfaatan berikut:
(1) mengetahui kedalaman lapisan olah tanah (top soil), lapisan dalam tanah (sub soil) dan solum tanah, sehingga membantu dalam menetapkan jenis tanaman yang sesuai untuk ditanam pada tanah tersebut. Tanah dengan kedalaman lapisan olah berkisar 20 cm sesuai untuk ditanaman tanaman padi, kedelai, kacang tanah dan jagung, tetapi tidak sesuai untuk ditanaman dengan tanaman perkebunan yang berakar dalam. Begitu juga sebaliknya.
(2) kelengkapan atau differensiasi horison-horison pada profil yang mencirikan tingkat perkembangan tanah dan umur tanah.
(3) warna tanah yang menunjukkan kondisi aerob (warna terang) atau anaerob (berwarna kelabu) dan tngginya kadar kadungan bahan organik tanah (berwarna hitam/gelap), sehingga diketahui tingkat kesuburan tanah.


VI. KOMPONEN PENYUSUN TANAH

Suatu tanah tersusun dari 4 komponen utama, yaitu: (1) bahan padatan berupa bahan mineral, (2) bahan padatan berupa bahan organik, (3) air, dan (4) udara. Tanah mineral yang subur tersusun dari 45% bahan tanah mineral, 5% bahan organik tanah, 25 % air dan 25% udara, seperti yang disajikan dalam Gambar 6 berikut.




Gambar 6. Komposisi keempat komponen tanah (bahan mineral, bahan organik, air dan udara) yang menempati volume dari sistem tanah.

20.16

Dasar-Dasar Ilmu Tanah (5 dari 25)

VII. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Proses Pembentuk Tanah

Menurut Jenny (1941) bahwa ada 5 faktor yang mempengaruhi proses pemben-tukan tanah (genesis) dan perkembangan tanah (differensiasi horison), yaitu:

(1) bahan induk tanah (b), untuk tanah mineral bahan induk berupa batuan beku, batuan sedimen, dan batuan metamorf, untuk tanah organik maka bahan induk tanah berupa bahan organik.

(2) iklim (i), yaitu dua unsur iklim yang mempengaruhi: curah hujan dan suhu (tempe-ratur).

(3) organisme (o) atau jasad hidup (h) yaitu berupa aktivitas organisme baik berupa hewan maupun tumbuhan.

(4) relief (r) atau topografi (t), yaitu kecuraman lereng.

(5) waktu (w) yang menentukan tingkat perkembangan tanah (muda, dewasa, tua) dan umur tanah (dalam satuan tahun).


7.1 Hubungan Tanah dengan Kelima Faktor Pembentukan Tanah

Berdasarkan uraian diatas disusunlah formulasi hubungan antara tanah dengan kelima faktor pembentuknya dalam fungsi berikut:
T (tanah) = fungsi (b, i, o, r, w)
Perubahan salah satu faktor pembentuk secara intensif akan menghasilkan tanah dengan sifat yang berbeda. Perbedaan sifat tanah akibat dari pengaruh dominan dari salah satu faktor pembentuk tanah dikenal dengan istilah sebagai berikut:

(1) Klimatosekuen: yaitu perbedaan sifat tanah yang disebabkan hanya pengaruh iklim.

(2) Biosekuen: yaitu perbedaan sifat tanah yang disebabkan hanya pengaruh organisme tanah.

(3) Toposekuen: yaitu perbedaan sifat tanah yang disebabkan hanya karena perbedaan topografi.

(4) Lithosekuen: yaitu perbedaan sifat tanah yang disebabkan hanya karena perbedaan jenis bahan induk.

(5) Khronosekuen: yaitu perbedaan sifat tanah yang disebabkan hanya karena perbedaan faktor umur.

19.53

Dasar-Dasar Ilmu Tanah (6 dari 25)

7.2 Bahan Induk

Bahan induk didefinisikan Jenny (1941) sebagai keadaan tanah pada waktu nol (time zero) dari proses pembentukan tanah. Beberapa jenis bahan induk tanah:
(1) batuan beku,
(2) batuan sedimen,
(3) batuan metamorf, dan
(4) bahan induk organic.

Pengertian batuan beku adalah bebatuan yang terbentuk dari proses pembekuan (solidifikasi) dari magma cair. Beberapa batuan yang tergolong batuan beku adalah batuan: granit, basal, dan andesit. Batuan sediment adalah bebatuan yang terbentuk dari proses pemadatan (konsolidasi) dari endapan-endapan partikel yang terbawa oleh angina atau air di permukaan bumi. Beberapa batuan yang tergolong batuan sedimen adalah: batu kapur, batu pasir dan batu shale. Batuan metamorf adalah batuan beku atau batuan sedimen yang telah mengalami perubahan bentuk (transformasi) akibat adanya pengaruh perubahan suhu dan tekanan yang sangat tinggi. Bebeerapa batuan yang tergolong batuan sedimen adalah: batuan gneiss, batuan kwarsit, batuan schist, dan batuan marmer.

Sketsa perubahan bahan induk tanah mineral mulai dari magma menjadi batuan beku dan perubahan endapan hasil pelapukan batuan beku menjadi batuan sedimen serta perubahan dari batuan beku dan batuan sedimen menjadi batuan metamorf disajikan dalam Gambar 7 berikut.




Gambar 7. Sketsa dinamika perubahan tiga jenis bahan induk tanah mineral yaitu batuan beku, batuan sedimen dan batuan metamorf .


7.2.1 Jenis-Jenis Batuan Beku

Beberapa jenis batuan beku dibedakan berdasarkan:
(1) tempat pembekuan, dan
(2) kandungan SiO2.

Berdasarkan tempat pembekuan magma, batuan beku dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu:
(a) batuan beku dalam (flutonik),
(b) batuan beku gang (intrusi), dan
(c) batuan beku atas (ekstrusi atau batuan vulkanik).


Selain itu, berdasarkan kandungan SiO2, batuan beku dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu:

(a) batuan beku asam, yiatu: batuan beku dengan kandungan SiO2 tinggi atau lebih dari 65%.

(b) batuan beku intermedier, yaitu: batuan beku dengan kandungan SiO2 sedang atau berkisar antara 55% sampai dengan 65%.

(c) Batuan beku basa, yaitu: batuan beku dengan kandungan SiO2 rendah atau kurang dari 55%.



7.2.2 Jenis-Jenis Batuan Sedimen

Beberapa jenis batuan sedimen dibedakan berdasarkan jenis bahan asal endapan. Tiga jenis batuan sedimen, yaitu:
(1) batuan kapur dan dolomit, yaitu: batuan sedimen yang bahan asal endapan berupa kapur atau bahan dengan kandungan kalsium dan magnesium tinggi lebih dari 50%,

(2) batu pasir, yaitu: batuan sedimen yang bahan asalnya didominasi fraksi pasir atau kandungan pasir lebih dari 50%, dan
(3) batu shale atau batu serpih, yaitu: batuan sedimen yang bahan asal endapan didominasi fraksi liat (batu liat atau clay stone / clay shale) atau debu (siltstone). Salah satu contoh batuan sedimen disajikan dalam Gambar 8 bagian (A) berikut.


7.2.3 Jenis-Jenis Batuan Metamorf

Beberapa jenis batuan metamorf adalah:
(1) batuan schist, yaitu: batuan metamorf yang berbentuk lembar-lembar halus, contoh: schist mika,
(2) batuan gneis, yaitu: batuan metamorf yang berbentuk lembar-lembar kasar, contoh: granit gneis,
(3) batuan kuarsit, yaitu: batuan metamorf yang terbentuk dari batu pasir, contoh: kuarsit, dan
(4) batuan marmer, yaitu: batuan metamorf yang terbentuk dari batu kapur karbonat, contoh: batu marmer. Contoh salah satu jenis dari batuan metamorf disajikan dalam Gambar 8 bagian (B) berikut.




Gambar 8. Batuan sedimen (A) dan batuan metamorf (B)



7.2.4 Bahan Induk Organik

Bahan induk organik berasal dari proses akumulasi atau penimbunan dari vegetasi rawa yang terjadi secara berulang-ulang. Tanah yang terbentuk dari bahan induk organik disebut: tanah organik atau tanah gambut atau Histosol. Tanah ini dikelompokkan dalam tiga jenis berdasarkan tingkat kematangan bahan organik pembentuk tanah tersebut, yaitu:

(1) febrik, yaitu: tanah organik dengan kandungan bahan organik halus kurang dari 33% dan dicirikan dengan masih banyak terlihatnya bentuk asal dari bahan organik tersebut karena kandungan bahan organik kasar lebih dari 66%.

(2)hemik, yaitu: tanah organik dengan kandungan bahan organik halus sedang atau berkisar antara 33% sampai dengan 66%.

(3)safrik, yaitu: tanah organik dengan kandungan bahan organik halus tinggi lebih dari 66% atau sudah mengalami pelapukan lanjut.



7.3 Iklim (Cuaca)

Dua unsur cuaca yang mempengaruhi proses pembentukan tanah adalah:
(1) curah hujan dan
(2) temperatur.

Daerah tropis seperti Indonesia khususnya Indoensia bagian Barat memiliki curah hujan tinggi 2000 mm sampai dengan 2500 mm per tahun dengan suhu udara berkisar 28 derajat celsius sampai dengan 32 derajat celsius akan memacu percepatan rekasi kimia dalam tanah dan mempercepat proses pelapukan batuan serta proses pencucian lebih intensif. Kondisi tersebut akan menghasilkan jenis tanah dengan perkembangan horison lebih lengkap dengan kandungan kation asam yang lebih tinggi, sehingga memiliki tingkat kesuburan tanah sedang sampai rendah. Beberapa jenis tanah mineral yang ditemukan mendominasi jenis tanah di pulau Sumatera dan Kalimantan adalah: jenis podsolik merah kuning dan latosol.



7.4 Organisme / Jasad Hidup

Faktor organisme / jasad hidup yang mempengaruhi proses pembentukan tanah adalah: vegetasi (makroflora), hewan (makrofauna) dan mikroorganisme tanah. Jasad hidup ini mempengaruhi terjadinya:
(1) akumulasi bahan organik,
(2) siklus hara tanah,
(3) proses pembentukan struktur tanah,
(4) kandungan nitrogen tanah,
(5) peningkatan infiltrasi tanah, dan
(6) penurunan erosi tanah.

Tanah yang ditumbuhi vegetasi yang berbeda akan menghasilkan tanah dengan tingkat kesuburan yang berbeda. Sebagai contoh:

(a) tanah yang ditumbuhi tanaman pinus yang berdaun sempit akan mengalami proses pencucian yang intensif sehingga membentuk tanah tidak subur. Peristiwa ini karena sempitnya penutupan tajuk tanaman menyebabkan daya rusak tanah akibat air hujan tinggi, sehingga erosi yang terjadi juga tinggi. Selain itu, bentuk daun yang sempit menyebabkan kandungan hara di daun rendah, maka siklus hara dari proses dekomposisi daun yang gugur juga rendah, sehingga tanah yang terbentuk kurang subur, dan

(b) tanah yang ditumbuhi tanaman jati yang berdaun lebar, akan memiliki penutupan tajuk tanaman yang lebih luas, sehingga mengurangi daya rusak tanah akibat butir hujan yang jatuh, sehingga menyebabkan erosi yang terjadi rendah. Daun jati yang lebar mengandung hara yang banyak dan saat jatuh akan terdekomposisi dan membebaskan hara lebih banyak, sehingga siklus hara yang terjadi lebih tinggi dan tanah yang terbentuk akan lebih subur.

19.10

Dasar-Dasar Ilmu Tanah (7 dari 25)

7.5 Topografi atau Relief atau Kelerengan Lahan

Faktor topografi atau relief yang mempengaruhi proses pembentukan tanah adalah:
(1) kecuraman lereng, dan
(2) bentuk lereng.

Tanah yang berada pada lahan berlereng curam lebih peka terhadap terjadinya erosi, karena infiltrasi yang terjadi lebih rendah dan aliran permukaan (run off) lebih besar, sehingga daya rusak air hujan dan aliran permukaan lebih tinggi. Tanah yang terbentuk pada lereng yang lebih curam akan lebih dangkal, karena terkikis secara terus menerus saat terjadi hujan. Sedangkan tanah yang berada pada lahan yang berlereng landai sampai datar terbentuk lebih dalam, karena memiliki laju infiltrasi dan laju perkolasi yang lebih besar serta proses pembentukan horison berkembang lebih lanjut, sehingga membentuk profil tanah yang lebih dalam.

Faktor kecuraman lereng ini mempengaruhi proses pembentukan tanah dengan 4 cara, yaitu:
(1) jumlah air hujan yang dapat meresap atau disimpan massa tanah,
(2) kedalaman air tanah,
(3) besarnya erosi yang dapat terjadi, dan
(4) arah pergerakan air yang membawa bahan-bahan terlarut dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah.

Interaksi keempat mekanisme ini mempengaruhi proses pembentukan tanah antara lain: (1) ketebalan solum tanah,
(2) ketebalan dan kandungan bahan organik horison A,
(3) kandungan air tanah,
(4) warna tanah,
(5) tingkat perkembangan horison (pada tanah tergenang dan tanah berlereng terjal membentuk solum dangkal, sedangkan pada tanah cekungan dan datar membentuk solum dalam) ,
(6) reaksi tanah atau pH (pada tanah dengan air tanah dangkal mengalami salinisasi sehingga pH tanah netral sampai basa, sedangkan pada tanah dengan air tanah dalam mengalami proses pencucian intensif sehingga pH tanah rendah atau bereaksi asam),
(7) kejenuhan basa tanah, dan (8) kandungan garam mudah larut.

Relief atau bentuk permukaan tanah dapat dikelompokkan menjadi:
(1) berbentuk cembung yang terdapat pada puncak bukit atau gunung,
(2) berbentuk lereng yang curam yang terdapat pada punggung bukit dan gunung,
(3) berbentuk cekungan dan datar pada kaki dan dasar bukit.

Perbedaan relief atau bentuk permukaan tanah mempengaruhi proses pembentukan tanah. Sketsa bentuk permukaan lahan disajikan dalam Gambar 9 dan gambaran visual dari permukaan lahan disajikan dalam Gambar 10 berikut.





Gambar 9. Sketsa bentuk permukaan tanah atau relief yang mempengaruhi proses pembentukan tanah.





Gambar 10. Kenampakan visual dari bentuk permukaan tanah atau relief yang terdiri dari bagian puncak yang berbentuk cembung, bagian punggung yang curam, dan bagian kaki dan dasar bukit yang cekung dan datar.


7.6 Waktu

Faktor waktu juga mempengaruhi tingkat perkembangan tanah dan umur tanah. Berdasarkan lamanya waktu dalam proses pembentukan tanah, maka tanah dikelom-pokkan menjadi:
(1) tanah muda dengan lamanya waktu pembentukan berkisar 100 tahun,
(2) tanah dewasa dengan lamanya waktu pembentukan berkisar antara 1.000 tahun sampai dengan 10.000 tahun, dan
(3) tanah tua dengan lamanya waktu pembentukan lebih dari jutaan tahun.

Waktu juga mempengaruhi tingkat perkembangan tanah, yaitu mulai dari fase:
(1) awal,
(2) juvenil,
(3) viril,
(4) senil, dan
(5) fase akhir.

Fase awal ditandai baru terbentuk horison C. Fase juvenil ditandai dengan sudah terbentuk horison A diatas horison C, pada fase ini sering disebut tanah muda. Fase viril atau disebut tanah dewasa, dicirikan dengan sudah terbentuknya horison A, horison B, dan horison C. Fase senil atau disebut tanah tua, dicirikan proses pembentukan horison yang lengkap, meliputi: horison A1, horison A2, horison B1, horison B2, dan horison C. Fase akhir atau disebut tanah sangat tua dicirikan dengan mulai berkurangnya proses pelapukan dari system tanah tersebut. Contoh tanah muda adalah Entisol atau Aluvial atau Regosol. Contoh dari tanah dewasa adalah Inceptisol, Vertisol, dan Mollisol. Contoh dari tanah tua adalah Ultisol atau Podsolik Merah Kuning, dan Oxisol atau Laterit.



VIII. PROSES PELAPUKAN

Proses pelapukan batuan terjadi akibat tiga mekanisme, yaitu:
(1) proses pelapukan fisik,
(2) proses pelapukan kimia, dan
(3) proses pelapukan biologi.

Ketiga proses ini saling terintegrasi satu sama lain sehingga mempercepat proses pelapukan batuan. Proses pelapukan fisik merupakan proses mekanik yang menyebabkan bebatuan masif pecah dan hancur serta terfragmentasi menjadi partikel-partikel kecil tanpa ada perubahan sifat kimia. Proses ini terjadi akibat dari:
(1) perubahan suhu yang drastis seperti sangat dingin atau sangat panas,
(2) hantaman air hujan,
(3) penetrasi akar, dan
(4) aktivitas makhluk hidup lainnya.

Perbedaan kecepatan proses pelapukan fisik dipengaruhi:
(1) tingkat kontraksi dan ekspansi dari komponen penyusun batuan, sehingga memicu proses pecah dan hancurnya bebatuan,
(2) tingkat kekasaran permukaan bebatuan, makin kasar permukaan bebatuan akan mengalami proses pelapukan yang lebih cepat, dan
(3) warna gelap dan terangnya bebatuan, makin gelap warna bebatuan akan memiliki daya menyerap cahaya yang lebih banyak dan mempercepat proses pemuaian atau kontraksi dan ekspansi, sehingga mempercepat proses pelapukan.


Proses pelapukan kimia merupakan proses pelapukan yang diikuti terjadinya perubahan sifat kimia. Beberapa proses kimia dari pelapukan adalah:
(1) pelarutan atau solubilitas,
(2) hidrasi atau proses pengikatan molekul air, sehingga volume meningkat dan kekuatan melemah serta menjadi mudah mengalami proses pelapukan,
(3) hidrolisis atau proses pergantian kation-kation dengan ion hidrogen dan saat terjadi ionisasi menyebabkan kondisi melemah, sehingga mudah mengalami proses pelapukan,
(4) oksidasi atau terjadinya penambahan muatan positif, seoperti perubahan besi dalam batuan dari bentuk ferro menjadi bentuk ferri dan ukurannya bertambah, sehingga mudah mengalami proses pelapukan, dan
(5) reduksi atau peristiwa penurunan muatan positif,
(6) karbonatasi atau proses yang menyebabkan bereaksinya asam karbonat dengan basa-basa membentuk basa karbonat, dan
(7) asidifikasi atau proses pengasaman bebatuan, sehingga mempercepat proses pelapukan, seperti: pengasaman akibat asam nitrat yang terkandung dalam air hujan, dan pengasaman akibat asam sulfat hasil dekomposisi protein, kedua asam ini mempercepat proses pelapukan.

Proses pelapukan biologi dapat diakibatkan oleh aktivitas kehidupan:
(1) mikroorganisme tanah,
(2) akar tumbuhan, dan
(3) hewan.
Proses pelapukan biologi senantiasa mengiringi dari kedua proses sebelumnya.

Sebagai contoh: bebatuan yang mengalami proses suhu ektrim (sangat panas atau sangat dingin) sehingga mulai terjadi retakan-retakan. Selanjutnya saat terjadi hujan maka air hujan akan masuk ke dalam retakan-retakan tersebut dan makin mempercepat proses pelapukan, selain itu biasanya diiringi juga dengan mulai tumbuhnya tanaman tingkat rendah dan mulai berkembangnya mikroorganisme tanah sehingga lebih mempercepat proses pelapukan. Makin hari tanah yang terbentuk makin dalam dan selalu diikuti dengan perubahan vegetrasi yang tumbuh diatasnya yang dikenal dengan istilah suksesi vegetasi, yaitu dari vegetasi yang berakar dangkal sampai ke vegetasi berakar dalam. Tiga proses pelapukan tersebut satu sama lain saling terintegrasi secara utuh dan saling berintekasi dalam mempercepat proses pelapukan bebatuan menjadi tanah.

Gambar proses pelapukan fisik batuan disajikan dalam Gambar 11. Sketsa proses pelapukan bahan induk tanah sampai menjadi mineral liat, oksida besi, oksida aluminium, dan ion hara disajikan dalam Gambar 12.




Gambar 11. Proses pelapukan fisik batuan induk yang mengalami retakan-retakan akibat pengaruh suhu dingin yang ekstrim dan suhu panas yang ekstrim.





Gambar 12. Sketsa proses pelapukan bahan induk tanah menjadi tanah.

10.49

Dasar-Dasar Ilmu Tanah (8 dari 25)

IX. BAHAN ORGANIK TANAH

Tanah tersusun dari: (a) bahan padatan, (b) air, dan (c) udara. Bahan padatan tersebut dapat berupa: (a) bahan mineral, dan (b) bahan organik. Bahan mineral terdiri dari partikel pasir, debu dan liat. Ketiga partikel ini menyusun tekstur tanah. Bahan organik dari tanah mineral berkisar 5% dari bobot total tanah. Meskipun kandungan bahan organik tanah mineral sedikit (+5%) tetapi memegang peranan penting dalam menentukan kesuburan tanah. Bahan organik tanah bersumber dari hasil dekomposisi bahan organik dan organisme yang mati yang masuk ke sistem tanah. Karakterisitik bahan organik tanah dipengaruhi dari karakteristik bahan organik asalnya.


9.1 Pengertian Bahan Organik

Bahan organik adalah kumpulan beragam senyawa-senyawa organik kompleks yang sedang atau telah mengalami proses dekomposisi, baik berupa humus hasil humifikasi maupun senyawa-senyawa anorganik hasil mineralisasi dan termasuk juga mikrobia heterotrofik dan ototrofik yang terlibat dan berada didalamnya.



9.2 Sumber Bahan Organik Tanah

Bahan organik tanah dapat berasal dari: (1) sumber primer, yaitu: jaringan organik tanaman (flora) yang dapat berupa: (a) daun, (b) ranting dan cabang, (c) batang, (d) buah, dan (e) akar; (2) sumber sekunder, yaitu: jaringan organik fauna, yang dapat berupa: kotorannya dan mikrofauna; (3) sumber lain dari luar, yaitu: pemberian pupuk organik berupa: (a) pupuk kandang, (b) pupuk hijau, (c) pupuk bokasi (kompos), dan (d) pupuk hayati.


9.3 Komposisi Biokimia Bahan Organik

Menurut Waksman (1948) dalam Brady (1990) bahwa biomass bahan organik yang berasal dari biomass hijauan, terdiri dari: (1) air (75%) dan (2) biomass kering (25%). Komposisi biokimia bahan organik dari biomass kering tersebut, terdiri dari:

(1) karbohidrat (60%),
(2) lignin (25%),
(3) protein (10%),
(4) lemak, lilin dan tanin(5%).

Karbohidrat penyusun biomass kering tersebut, terdiri dari:
(1) gula dan pati (1% s/d 5%),
(2) hemiselulosa (10% s/d 30%), dan
(3) selulosa (20% s/d 50%).

Berdasarkan kategori unsur hara penyusun biomass kering, terdiri dari:
(1) Karbon (C = 44%),
(2) Oksigen (O = 40%),
(3) Hidrogen (H = 8%), dan
(4) Mineral (8%).



9.4 Proses Dekomposisi Bahan Organik


Proses dekomposisi bahan organik melalui 3 reaksi, yaitu:
(1) reaksi enzimatik atau oksidasi enzimatik, yaitu: reaksi oksidasi senyawa hidrokarbon yang terjadi melalui reaksi enzimatik menghasilkan produk akhir berupa karbon dioksida (CO2), air (H2O), energi dan panas;

(2) reaksi spesifik berupa mineralisasi dan atau immobilisasi unsur hara essensial berupa hara nitrogen (N), fosfor (P), dan belerang (S);

(3) pembentukan senyawa-senyawa baru atau turunan yang sangat resisten berupa humus tanah.


Berdasarkan kategori produk akhir yang dihasilkan, maka proses dekomposisi bahan organik digolongkan menjadi 2, yaitu:
(1) proses mineralisasi, dan
(2) proses humifikasi.

Proses mineralisasi terjadi terutama terhadap bahan organik dari senyawa-senyawa yang tidak resisten, seperti: selulosa, gula, dan protein. Proses akhir mineralisasi dihasilkan ion atau hara yang tersedia bagi tanaman.

Proses humifikasi terjadi terhadap bahan organik dari senyawa-senyawa yang resisten, seperti: lignin, resin, minyak dan lemak. Proses akhir humifikasi dihasilkan humus yang lebih resisten terhadap proses dekomposisi.


Urutan kemudahan dekomposisi dari berbagai bahan penyusun bahan organik tanah dari yang terdekomposisi paling cepat sampai dengan yang terdekomposisi paling lambat, adalah sebagai berikut:
(1) gula, pati, dan protein sederhana,
(2) protein kasar (protein yang lebih kompleks),
(3) hemiselulosa,
(4) selulosa,
(5) lemak, minyak dan lilin, serta
(6) lignin.



9.5 Pengertian Humus

Humus dapat didefinisikan sebagai senyawa kompleks asal jaringan organik tanaman (flora) dan atau fauna yang telah dimodifikasi atau disintesis oleh mikrobia, yang bersifat agak resisten terhadap pelapukan, berwarna coklat, amorfus (tanpa bentuk/nonkristalin) dan bersifat koloidal.


9.6 Ciri-Ciri Humus

Beberapa ciri dari humus tanah sebagai berikut:
(1) bersifat koloidal (ukuran kurang dari 1 mikrometer), karena ukuran yang kecil menjadikan humus koloid ini memiliki luas permukaan persatuan bobot lebih tinggi, sehingga daya jerap tinggi melebihi liat. KTK koloid organik ini sebesar 150 s/d 300 me/100 g yang lebih tinggi daripada KTK liat yaitu 8 s/d 100 me/100g. Humus memiliki daya jerap terhadap air sebesar 80% s/d 90% dan ini jauh lebih tinggi daripada liat yang hanya 15% s/d 20%. Humus memiliki gugus fungsional karboksil dan fenolik yang lebih banyak.

(2) daya kohesi dan plastisitas rendah, sehingga mengurangi sifat lekat tanah dan membantu granulasi aggregat tanah.

(3) tersusun dari lignin, poliuronida, dan protein kasar.

(4) berwarna coklat kehitaman, sehingga menyebabkan warna tanah menjadi gelap.



9.7 Peranan Bahan Organik Terhadap Tanah

Bahan organik dapat berpengaruh terhadap perubahan terhadap sifat-sifat tanah berikut:
(1) sifat fisik tanah,
(2) sifat kimia tanah, dan
(3) sifat biologi tanah.

Peranan bahan organik terhadap perubahan sifat fisik tanah, meliputi:
(1) stimulan terhadap granulasi tanah,
(2) memperbaiki struktur tanah menjadi lebih remah,
(3) menurunkan plastisitas dan kohesi tanah,
(4) meningkatkan daya tanah menahan air sehingga drainase tidak berlebihan, kelembaban dan temperatur tanah menjadi stabil,
(5) mempengaruhi warna tanah menjadi coklat sampai hitam,
(6) menetralisir daya rusak butir-butir hujan,
(7) menghambat erosi, dan
(8) mengurangi pelindian (pencucian/leaching).


9.8 Fungsi Bahan Organik

Bahan organik dalam tanah berfungsi memperbaiki beberapa sifat kimia tanah, meliputi:
(1) meningkatkan hara tersedia dari proses mineralisasi bagian bahan organik yang mudah terurai,
(2) menghasilkan humus tanah yang berperanan secara koloidal dari senyawa sisa mineralisasi dan senyawa sulit terurai dalam proses humifikasi,
(3) meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK) tanah 30 kali lebih besar ketimbang koloid anorganik,
(4) menurunkan muatan positif tanah melalui proses pengkelatan terhadap mineral oksida dan kation Al dan Fe yang reaktif, sehingga menurunkan fiksasi P tanah, dan
(5) meningkatkan ketersediaan dan efisiensi pemupukan serta melalui peningkatan pelarutan P oleh asam-asam organik hasil dekomposisi bahan organik.



Fungsi bahan organik dalam tanah memperbaiki sifat biologi tanah, antara lain adalah:

(1) meningkatkan keragaman organisme yang dapat hidup dalam tanah (makrobia dan mikrobia tanah), dan

(2) meningkatkan populasi organisme tanah (makrobia dan mikrobia tanah).



Peningkatan baik keragaman mupun populasi berkaitan erat dengan fungsi bahan organik bagi organisme tanah, yaitu sebagai:

(1) bahan organik sebagai sumber energi bagi organisme tanah terutama organisme tanah heterotropik, dan

(2) bahan organik sebagai sumber hara bagi organisme tanah.

10.37

Dasar-Dasar Ilmu Tanah (9 dari 25)

X. SIFAT FISIKA TANAH

Sifat fisika tanah merupakan salah satu sifat tanah yang penting diketahui karena mencakup beberapa sifat berikut: (1) tekstur tanah, (2) struktur tanah, (3) bobot tanah, (4) warna tanah, dan (5) kadar air tanah.


1. Tekstur Tanah

Tanah disusun dari butir-butir tanah dengan berbagai ukuran. Bagian butir tanah yang berukuran lebih dari 2 mm disebut bahan kasar tanah seperti kerikil, koral sampai batu. Bagian butir tanah yang berukuran kurang dari 2 mm disebut bahan halus tanah. Bahan halus tanah dibedakan menjadi:

(1) pasir, yaitu butir tanah yang berukuran antara 0,050 mm sampai dengan 2 mm.

(2) debu, yaitu butir tanah yang berukuran antara 0,002 mm sampai dengan 0,050 mm.

(3) liat, yaitu butir tanah yang berukuran kurang dari 0,002 mm.

Perbandingan ketiga ukuran butir tanah diilustrasikan seperti dalam Gambar 13 berikut ini.




Gambar 13. Perbandingan tiga ukuran butir tanah, yaitu: (a) pasir (sand) berukuran 0,05 mm s/d 2,00 mm, (b) debu (silt) berukuran 0,02 mm s/d 0,05 mm, dan (c) liat (clay) berukuran kurang dari 0,02 mm.


Menurut Hardjowigeno (1992) tekstur tanah menunjukkan kasar halusnya tanah. Tekstur tanah merupakan perbandingan antara butir-butir pasir, debu dan liat. Tekstur tanah dikelompokkan dalam 12 klas tekstur. Kedua belas klas tektur disajikan dalam Gambar 14. Kedua belas klas tekstur dibedakan berdasarkan prosentase kandungan pasir, debu dan liat.




Gambar 14. Diagram segi tiga tekstur tanah yang dibedakan menjadi 12 klas tektur tanah.


Tekstur tanah di lapangan dapat dibedakan dengan cara manual yaitu dengan memijit tanah basah di antara jari jempol dengan jari telunjuk, sambil dirasakan halus kasarnya yang meliputi rasa keberadaan butir-butir pasir, debu dan liat, dengan cara sebagai berikut:

(1) apabila rasa kasar terasa sangat jelas, tidak melekat, dan tidak dapat dibentuk bola dan gulungan, maka tanah tersebut tergolong bertekstur Pasir.

(2) apabila rasa kasar terasa jelas, sedikit sekali melekat, dan dapat dibentuk bola tetapi mudah sekali hancur, maka tanah tersebut tergolong bertekstur Pasir Berlempung.

(3) apabila rasa kasar agak jelas, agak melekat, dan dapat dibuat bola tetapi mudah hancur, maka tanah tersebut tergolong bertekstur Lempung Berpasir.

(4) apabila tidak terasa kasar dan tidak licin, agak melekat, dapat dibentuk bola agak teguh, dan dapat sedikit dibuat gulungan dengan permukaan mengkilat, maka tanah tersebut tergolong bertekstur Lempung.

(5) apabila terasa licin, agak melekat, dapat dibentuk bola agak teguh, dan gulungan dengan permukaan mengkilat, maka tanah tersebut tergolong bertekstur Lempung Berdebu.

(6) apabila terasa licin sekali, agak melekat, dapat dibentuk bola teguh, dan dapat digulung dengan permukaan mengkilat, maka tanah tersebut tergolong bertekstur Debu.

(7) apabila terasa agak licin, agak melekat, dapat dibentuk bola agak teguh, dan dapat dibentuk gulungan yang agak mudah hancur, maka tanah tersebut tergolong bertekstur Lempung Berliat.

(8) apabila terasa halus dengan sedikit bagian agak kasar, agak melekat, dapat dibentuk bola agak teguh, dan dapat dibentuk gulungan mudah hancur, maka tanah tersebut tergolong bertekstur Lempung Liat Berpasir.

(9) apabila terasa halus, terasa agak licin, melekat, dan dapat dibentuk bola teguh, serta dapat dibentuk gulungan dengan permukaan mengkilat, maka tanah tersebut tergolong bertekstur Lempung Liat Berdebu.

(10) apabila terasa halus, berat tetapi sedikit kasar, melekat, dapat dibentuk bola teguh, dan mudah dibuat gulungan, maka tanah tersebut tergolong bertekstur Liat Berpasir.

(11) apabila terasa halus, berat, agak licin, sangat lekat, dapat dibentuk bola teguh, dan mudah dibuat gulungan, maka tanah tersebut tergolong bertekstur Liat Berdebu.

(12) apabila terasa berat dan halus, sangat lekat, dapat dibentuk bola dengan baik, dan mudah dibuat gulungan, maka tanah tersebut tergolong bertekstur Liat.



Hubungan Tekstur Tanah dengan Daya Menahan Air dan Ketersediaan Hara

Tanah bertekstur liat mempunyai luas permukaan yasng lebih besar sehingga kemampuan menahan air dan menyediakan unsur hara tinggi. Tanah bertekstur halus lebih aktif dalam reaksi kimia daripada tanah bertekstur kasar. Tanah bertekstur pasir mempunyai luas permukaan yang lebih kecil sehingga sulit menyerap (menahan) air dan unsur hara.

10.29

Dasar-Dasar Ilmu Tanah (10 dari 25)

2. Struktur Tanah

Struktur tanah merupakan gumpalan kecil dari butir-butir tanah. Gumpalan struktur tanah ini terjadi karena butir-butir pasir, debu, dan liat terikat satu sama lain oleh suatu perekat seperti bahan organik, oksida-oksida besi, dan lain-lain.

Gumpalan-gumpalan kecil (struktur tanah) ini mempunyai bentuk, ukuran, dan kemantapan (ketahanan) yang berbeda-beda.

Struktur tanah dikelompokkan dalam 6 bentuk seperti yang disajikan dalam Gambar 15. Keenam bentuk tersebut adalah:

(1) Granular, yaitu struktur tanah yang berbentuk granul, bulat dan porous, struktur ini terdapat pada horison A.

(2) Gumpal (blocky), yaitu struktur tanah yang berbentuk gumpal membuat dan gumpal bersudut, bentuknya menyerupai kubus dengan sudut-sudut membulat untuk gumpal membulat dan bersudut tajam untuk gumpal bersudut, dengan sumbu horisontal setara dengan sumbu vertikal, struktur ini terdapat pada horison B pada tanah iklim basah.

(3) Prisma (prismatic), yaitu struktur tanah dengan sumbu vertical lebih besar daripada sumbu horizontal dengan bagian atasnya rata, struktur ini terdapat pada horison B pada tanah iklim kering.

(4) Tiang (columnar), yaitu struktur tanah dengan sumbu vertical lebih besar daripada sumbu horizontal dengan bagian atasnya membuloat, struktur ini terdapat pada horison B pada tanah iklim kering.

(5) Lempeng (platy), yaitu struktur tanah dengan sumbu vertikal lebih kecil daripada sumbu horizontal, struktur ini ditemukan di horison A2 atau pada lapisan padas liat.

(6) Remah (single grain), yaitu struktur tanah dengan bentuk bulat dan sangat porous, struktur ini terdapat pada horizon A.




Gambar 15. Beberapa bentuk struktur tanah, yaitu: (1) granular, (2) gumpal (blocky), (3) prisma (prismatic) , (4) tiang (colum-nar), (5) lempeng (platy), dan (6) remah (single grain),



Tanah yang terbentuk di daerah dengan curah hujan tinggi umumnya ditemukan struktur remah atau granular di tanah lapisan atas (top soil) yaitu di horison A dan struktur gumpal di horison B atau tanah lapisan bawah (sub soil). Akan tetapi, pada tanah yang terbentuk di daerah

10.18

Dasar-Dasar Ilmu Tanah (11 dari 25)

3. Bobot Isi Tanah

Menurut Hanafiah (2005) bahwa bobot tanah merupakan kerapatan tanah per satuan volume yang dinyatakan dalam dua batasan berikut ini:

(1) Kerapatan partikel (bobot partikel = BP) adalah bobot massa partikel padat per satuan volume tanah, biasanya tanah mempunyai kerapatan partikel 2,6 gram cm-3, dan

(2) Kerapatan massa (bobot isi = BI) adalah bobot massa tanah kondisi lapangan yang dikering-ovenkan per satuan volume. Nilai kerapatan massa tanah berbanding lurus dengan tingkat kekasaran partikel-partikel tanah, makin kasar akan makin berat.

Tanah lapisan atas yang bertekstur liat dan berstruktur granuler mempunyai bobot isi (BI) antara 1,0 gram cm-3 sampai dengan 1,3 gram cm-3, sedangkan yang bertekstur kasar memiliki bobot isi antara 1,3 gram cm-3 sampai dengan 1,8 gram cm-3.

Sebagai contoh pembanding adalah bobot isi air = 1 gram cm-3 = 1 ton gram cm-3 .
Contoh perhitungan dalam menentukan bobot tanah dengan menggunakan bobot isi adalah sebagai berikut:
1 hekar tanah yang diasumsikan mempunyai bobot isi (BI) = 1,0 gram cm-3 dengan kedalaman 20 cm, akan mempunyai bobot tanah sebesar:
= {(volume 1 hektar tanah dengan kedalaman 20 cm) x (BI)}
= {(100 m x 100 m x 0,2 m) x (1,0 gram cm-3 )}
= {(2.000 m3) x (1 ton m-3)}
= 2.000 ton

Apabila tanah tersebut mengandung 1% bahan organik, ini berarti terdapat 20 ton bahan organik per hektar..

10.05

Dasar-Dasar Ilmu Tanah (12 dari 25)

4. Warna Tanah

Warna tanah merupakan gabungan berbagai warna komponen penyusun tanah. Warna tanah berhubungan langsung secara proporsional dari total campuran warna yang dipantulkan permukaan tanah. Warna tanah sangat ditentukan oleh luas permukaan spesifik yang dikali dengan proporsi volumetrik masing-masing terhadap tanah. Makin luas permukaan spesifik menyebabkan makin dominan menentukan warna tanah, sehingga warna butir koloid tanah (koloid anorganik dan koloid organik) yang memiliki luas permukaan spesifik yang sangat luas, sehingga sangat mempengaruhi warna tanah. Warna humus, besi oksida dan besi hidroksida menentukan warna tanah. Besi oksida berwarna merah, agak kecoklatan atau kuning yang tergantung derajat hidrasinya. Besi tereduksi berwarna biru hijau. Kuarsa umumnya berwarna putih. Batu kapur berwarna putih, kelabu, dan ada kala berwarna olive-hijau. Feldspar berwarna merah. Liat berwarna kelabu, putih, bahkan merah, ini tergantung proporsi tipe mantel besinya.

Selain warna tanah juga ditemukan adanya warna karatan (mottling) dalam bentuk spot-spot. Karatan merupakan warna hasil pelarutan dan pergerakan beberapa komponen tanah, terutama besi dan mangan, yang terjadi selama musim hujan, yang kemudian mengalami presipitasi (pengendapan) dan deposisi (perubahan posisi) ketika tanah mengalami pengeringan. Hal ini terutama dipicu oleh terjadinya: (a) reduksi besi dan mangan ke bentuk larutan, dan (b) oksidasi yang menyebabkan terjadinya presipitasi. Karatan berwarna terang hanya sedikit terjadi pada tanah yang rendah kadar besi dan mangannya, sedangkan karatan berwarna gelap terbentuk apabila besi dan mangan tersebut mengalami presipitasi. Karatan-karatan yang terbentuk ini tidak segera berubah meskipun telah dilakukan perbaikan drainase.

Menurut Hardjowigeno (1992) bahwa warna tanah berfungsi sebagai penunjuk dari sifat tanah, karena warna tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor yang terdapat dalam tanah tersebut. Penyebab perbedaan warna permukaan tanah umumnya dipengaruhi oleh perbedaan kandungan bahan organik. Makin tinggi kandungan bahan organik, warna tanah makin gelap. Sedangkan dilapisan bawah, dimana kandungan bahan organik umumnya rendah, warna tanah banyak dipengaruhi oleh bentuk dan banyaknya senyawa Fe dalam tanah. Di daerah berdrainase buruk, yaitu di daerah yang selalu tergenang air, seluruh tanah berwarna abu-abu karena senyawa Fe terdapat dalam kondisi reduksi (Fe2+). Pada tanah yang berdrainase baik, yaitu tanah yang tidak pernah terendam air, Fe terdapat dalam keadaan oksidasi (Fe3+) misalnya dalam senyawa Fe2O3 (hematit) yang berwarna merah, atau Fe2O3. 3 H2O (limonit) yang berwarna kuning cokelat. Sedangkan pada tanah yang kadang-kadang basah dan kadang-kadang kering, maka selain berwarna abu-abu (daerah yang tereduksi) didapat pula becak-becak karatan merah atau kuning, yaitu di tempat-tempat dimana udara dapat masuk, sehingga terjadi oksidasi besi ditempat tersebut. Keberadaan jenis mineral kwarsa dapat menyebabkan warna tanah menjadi lebih terang.

Menurut Wirjodihardjo dalam Sutedjo dan Kartasapoetra (2002) bahwa intensitas warna tanah dipengaruhi tiga faktor berikut: (1) jenis mineral dan jumlahnya, (2) kandungan bahan organik tanah, dan (3) kadar air tanah dan tingkat hidratasi. Tanah yang mengandung mineral feldspar, kaolin, kapur, kuarsa dapat menyebabkan warna putih pada tanah. Jenis mineral feldspar menyebabkan beragam warna dari putih sampai merah. Hematit dapat menyebabkan warna tanah menjadi merah sampai merah tua. Makin tinggi kandungan bahan organik maka warna tanah makin gelap (kelam) dan sebaliknya makin sedikit kandungan bahan organik tanah maka warna tanah akan tampak lebih terang. Tanah dengan kadar air yang lebih tinggi atau lebih lembab hingga basah menyebabkan warna tanah menjadi lebih gelap (kelam). Sedangkan tingkat hidratasi berkaitan dengan kedudukan terhadap permukaan air tanah, yang ternyata mengarah ke warna reduksi (gleisasi) yaitu warna kelabu biru hingga kelabu hijau.

Selain itu, Hanafiah (2005) mengungkapkan bahwa warna tanah merupakan: (1) sebagai indikator dari bahan induk untuk tanah yang beru berkembang, (2) indikator kondisi iklim untuk tanah yang sudah berkembang lanjut, dan (3) indikator kesuburan tanah atau kapasitas produktivitas lahan. Secara umum dikatakan bahwa: makin gelap tanah berarti makin tinggi produktivitasnya, selain ada berbagai pengecualian, namun secara berurutan sebagai berikut: putih, kuning, kelabu, merah, coklat-kekelabuan, coklat-kemerahan, coklat, dan hitam. Kondisi ini merupakan integrasi dari pengaruh: (1) kandungan bahan organik yang berwarna gelap, makin tinggi kandungan bahan organik suatu tanah maka tanah tersebut akan berwarna makin gelap, (2) intensitas pelindihan (pencucian dari horison bagian atas ke horison bagian bawah dalam tanah) dari ion-ion hara pada tanah tersebut, makin intensif proses pelindihan menyebabkan warna tanah menjadi lebih terang, seperti pada horison eluviasi, dan (3) kandungan kuarsa yang tinggi menyebabkan tanah berwarna lebih terang.

Warna tanah ditentukan dengan membandingkan warna tanah tersebut dengan warna standar pada buku Munsell Soil Color Chart. Diagram warna baku ini disusun tiga variabel, yaitu: (1) hue, (2) value, dan (3) chroma. Hue adalah warna spektrum yang dominan sesuai dengan panjang gelombangnya. Value menunjukkan gelap terangnya warna, sesuai dengan banyaknya sinar yang dipantulkan. Chroma menunjukkan kemurnian atau kekuatan dari warna spektrum. Chroma didefiniskan juga sebagai gradasi kemurnian dari warna atau derajat pembeda adanya perubahan warna dari kelabu atau putih netral (0) ke warna lainnya (19).

Hue dibedakan menjadi 10 warna, yaitu: (1) Y (yellow = kuning), (2) YR (yellow-red), (3) R (red = merah), (4) RP (red-purple), (5) P (purple = ungu), (6) PB (purple-brown), (7) B (brown = coklat), (8) BG (grown-gray), (9) G (gray = kelabu), dan (10) GY (gray-yellow). Selanjutnya setiap warna ini dibagi menjadi kisaran hue sebagai berikut: (1) hue = 0 – 2,5; (2) hue = 2,5 – 5,0; (3) hue = 5,0 – 7,5; (4) hue = 7,5 – 10. Nilai hue ini dalam buku hanya ditulis: 2,5 ; 5,0 ; 7,5 ; dan 10.

Berdasarkan buku Munsell Saoil Color Chart nilai Hue dibedakan menjadi: (1) 5 R; (2) 7,5 R; (3) 10 R; (4) 2,5 YR; (5) 5 YR; (6) 7,5 YR; (7) 10 YR; (8) 2,5 Y; dan (9) 5 Y, yaitu mujlai dari spektrum dominan paling merah (5 R) sampai spektrum dominan paling kuning (5 Y), selain itu juga sering ditambah untuk warna-warna tanah tereduksi (gley) yaitu: (10) 5 G; (11) 5 GY; (12) 5 BG; dan (13) N (netral).

Value dibedakan dari 0 sampai 8, yaitu makin tinggi value menunjukkan warna makin terang (makin banyak sinar yang dipantulkan). Nilai Value pada lembar buku Munsell Soil Color Chart terbentang secara vertikal dari bawah ke atas dengan urutan nilai 2; 3; 4; 5; 6; 7; dan 8. Angka 2 paling gelap dan angka 8 paling terang. Chroma juga dibagi dari 0 sampai 8, dimana makin tinggi chroma menunjukkan kemurnian spektrum atau kekuatan warna spektrum makin meningkat. Nilai chroma pada lembar buku Munsell Soil Color Chart dengan rentang horisontal dari kiri ke kanan dengan urutan nilai chroma: 1; 2; 3; 4; 6; 8. Angka 1 warna tidak murni dan angka 8 warna spektrum paling murni. Nama warna tersebut dapat dilihat dari Buku Munsell Soil Color Chart yang disajikan dalam Gambar 16 dan foto detil halaman buku tersebut disajikan dalam Gambar 17.

Pencatatan warna tanah dapat menggunakan buku Munsell Soil Color Chart, sebagai contoh:

(1) Tanah berwarna 7,5 YR 5/4 (coklat), yang berarti bahwa warna tanah mempunyai nilai hue = 7,5 YR, value = 5, chroma = 4, yang secara keseluruhan disebut berwarna coklat.

(2) Tanah berwarna 10 R 4/6 (merah), yang berarti bahwa warna tanah tersebut mempunyai nilai hue =10 R, value =4 dan chroma = 6, yang secara keseluruhan disebut berwarna merah.

Selanjutnya, jika ditemukan tanah dengan beberapa warna, maka semua warna harus disebutkan dengan menyebutkan juga warna tanah yang dominannya. Warna tanah akan berbeda bila tanah basah, lembab, atau kering, sehingga dalam menentukan warna tanah perlu dicatat apakah tanah tersebut dalam keadaan basah, lembab, atau kering.




Gambar 16. Buku Munsell Soil Color Chart yang digunakan sebagai standar warna untuk penetapan warna tanah.




Gambar 17. Lembaran warna standar dari buku Munsell Soil Color Chart yang terdiri dari tiga variable, yaitu: hue, value, dan chroma. Nilai hue tertera sebelah kanan paling atas (10 YR). Nilai value tertera secara vertical disebelah kiri dengan nilai: 2; 3; 4; 5; 6; 7; dan 8 dari bawah ke atas. Nilai chroma tertera secara horisontal paling bawah dengan nilai: 1; 2; 3; 4; 6; dan 8 dari kiri ke kanan.