22.22

BAKTERI PELARUT FOSFAT SEBAGAI AGENTS PUPUK HAYATI (Bagian 1)

Bakteri Pelarut Fosfat sebagai Agents Pupuk Hayati*
Oleh: Nursanti** dan Madjid***
(Bagian 1 dari 5 Tulisan)

Keterangan:
* Makalah Mata Kuliah Teknologi Pupuk Hayati pada Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Bukit Besar, Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia.
** Program Studi Ilmu Tanaman, Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Bukit Besar, Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia.
*** Dosen Pengasuh Mata Kuliah Teknologi Pupuk Hayati, Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Bukit Besar, Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia.

(Bagian 1 dari 5 Tulisan)


I. PENDAHULUAN


1.1. Pupuk Hayati

Sejalan dengan perkembangan peningkatan sumberdaya manusia dan kesadaran akan kerusakan lingkungan dan munculnya berbagai penyakit yang disebabkan penggunaan bahan kimia secara berlebihan pada makanan, pertanian organik muncul sebagai sebuah alternative yang menjadi pilihan bagi banyak orang. Pertanian organik dapat dikatakan sebagai suatu system bertani selaras alam, mengembalikan siklus ekologi dalam suatu areal pertanian membentuk suatu aliran yang siklik dan seimbang.

Secara perlahan tapi pasti system pertanian organik mulai berkembang di berbagai belahan bumi, baik di Negara maju maupun Negara berkembang. Masyarakat mulai melihat berbagai manfaat yang dapat diperoleh dengan system pertanian organik , seperti lingkungan yang tetap terjaga kelestariannya dapat mengkonsumsi produk pertanian yang relative lebih sehat karena bebas dari bahan kimia yang dapat menimbulkan dampak negative bagi kesehatan .

Sutanto (2002) menjelaskan bahwa pertanian organik dapat didefenisikan sebagai system pengelolaan produksi pertanian yang holistik yang mendorong dan meningkatkan kesehatan agro-ekosistem, termasuk biodiversitas, siklus biologi dan aktivitas biologi tanah, dengan menekankan pada penggunaan input dari dalam dan menggunakan cara-cara mekanis, biologis dan cultural. Dalam system pertanian organic masukan atau input dari luar (eksternal) akan dikurangi dengan cara tidak menggunakan pupuk kimia buatan, pestisida dan bahan-bahan sintetis lainnya. Dalam system pertanian organic kekuatan hokum alam yang harmonis dan lestari akan dimanfaatkan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas hasil pertanian sekaligus meningkatkan ketahanan tanaman terhadap serangan hama dan penyakit.

Beberapa lembaga penelitian dan pihak perguruan tinggi juga turut memberikan andil dalam pengembangan pertanian organik melalui penelitian-penelitian dan juga penyampaian informasi teknologi budidaya yang dapat diterapkan pada system pertanian organik. Upaya yang mulai dilakukan adalah memperkenalkan bioteknologi dalam system pertanian organik yaitu dengan memanfaatkan beberapa mikroorganisme yang dapat membantu penyediaan hara dan pengendalian penyakit.

Pada dasarnya kesuburan tanah lokal merupakan kunci keberhasilan system pertanian organik, baik kesuburan fisik, kimia maupun biologi. Bila kesuburan tanah telah baik maka akan tercipta lingkungan pertanaman terutama untuk perakaran yang diinginkan, ketersediaan hara makro dan mikro terpenuhi dan aktivitas mikroorganisme tanah utnuk membantu kesuburan tanah juga terjaga.

Pemanfaatan mikroba tanah untuk meningkatkan dan mempertahankan kesuburan tanah dalam system pertanian organik sangat penting. Peran mikroba di dalam tanah antara lain adalah daur ulang hara, penyimpanan sementara dan pelepasan untuk dimanfaatkan tanaman.

Keberhasilan pemanfaatan mikroba untuk tujuan meningkatkan kesuburan tanah memerlukan pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu secara terpadu. Pakar mikrobiologi tanah mengawali dengan mempelajari dan mengidentifikasikasi ekologi mikroorganisme yang akan digunkan sebagai biofertilizer (pupuk hayati). Selanjutnya mokorganisme hasil isolasi dari tanah dikembangbiakkan pada kondisi laboratorium menggunakan media buatan. Setelah mikroorganisme tersebut berhasil dibiakkan, maka harus diperoleh galur yang dikehendaki, karena tidak semua spesies dari suatu populasi bersifat efektif. Selanjunya galur yang efektif diisolasi dan dilakukan pengujian di lapangan apakah hasil inokulasi dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman. Mikroorganisme yang diinokulasi harus sesuai dengan kondisi lingkungan tertentu, harus mampu menyesuaikan dengan fluktuasi kondisi lingungan dan tidak kalah bersaing atau dimangsa mikroorganisme asli (Yuwono,2006)

Apabila mikroorganisme yang diinokulasi cukup efektif dalam meningkatkan hasil tanaman, maka tugas selanjutnya adalah mengembangkan metode untuk memperbanyak dengan skala besar. Pada umumnya mikroorganisme akan tumbuh dan berkembang melalui proses fermentasi. Apabila populasi mikroorganisme mencapai ukuran tertentu, kemudian tahap berikutnya adalah memanen dan mengemas untuk tujuan komersil. Tugas selanjutnya adalah membuat formula cara kerja inokulan, termasuk cara memanfaatkan inokulan di lapangan (disemprotkan ke tanah atau dicampurkan dengan biji), termasuk memecahkan semua masalah yang mungkin dihadapi dalam mempertahankan inokulan tetap efektif. Terutama yang berhubungan dengan pengiriman, kemasan , penyimpanan dan pemanfaatan (Sutanto, 2002).

Dalam bidang pertanian mikrobia tanah dapat dikelompokkan menjadi mikrobia merugikan (mencakup virus, jamur, bakteri dan nematode pengganggu tanaman yang bertindak sebagai hama dan penyakit) dan mikrobia yang bermanfaat yaitu sejumlah jamur dan bakteri yang karena kemampuannya melaksanakan fungsi metabolisme menguntungkan bagi pertumbuhan dan produksi tanaman. Mikrobia tanah yang menguntungkan ini dapat dikategorikan sebagai biofertilizer atau pupuk hayati.

Secara garis besar fungsi menguntungkan tersebut dapat dibagi menjadi beberapa sebagai berikut ( Gunalan, 1996):
1. Penyedia hara
2. Peningkat ketersediaan hara
3. Pengontrol organisme pengganggu tanaman
4. Pengurai bahan organik dan pembentuk humus
5. Pemantap agregat tanah
6. Perombak persenyawaan agrokimia



1.2. Bakteri Pelarut Fosfat (BPF)

Mikroba yang berperanan dalam pelarutan fospat adalah bakteri, jamur dan aktinomisetes. Dari golongan bakteri antara lain: Bacillus firmus, B. subtilis, B. cereus, B. licheniformis, B. polymixa, B. megatherium, Arthrobacter, Pseudomonas, Achromobacter, Flavobacterium, Micrococus dan Mycobacterium. Pseudomonas merupakan salah satu genus dari Famili Pseudomonadaceae.

Bakteri ini adalah bakteri aerob khemoorganotrof ,berbentuk batang lurus atau lengkung, ukuran tiap sel bakteri 0.5-0.1 1μm x 1.5- 4.0 μm, tidak membentuk spora dan bereaksi negatif terhadap pewarnaan Gram.Di dalam tanah jumlahnya 3-15% dari populasi bakteri. Pseudomonas terbagi atas grup, diantaranya adalah sub-grup berpendarfluor (Fluorescent) yang dapat mengeluarkan pigmen phenazine. Kebolehan menghasilkan pigmen phenazine juga dijumpai pada kelompok tak berpendarfluor yang disebut sebagai spesies Pseudomonas multivorans. Sehubungan itu maka ada empat spesies dalam kelompok Fluorescent yaitu Pseudomonas aeruginosa, P. fluorescent, P. putida, dan P. multivorans (Hasanudin,2003).

Bakteri pelarut fospat merupakan bakteri decomposer yang mengkonsumsi senyawa carbon sederhana, seperti eksudat akar dan sisa tanaman. Melalui proses ini bakteri mengkonversi energi dalam bahan organik tanah menjadi bentuk yang bermanfaat untuk organisme tanah lain dalam rantai makanan tanah. Bakteri ini dapat merombak pemcemar tanah, dapat menahan unsur hara di dalam selnya.

Aktivitas bakteri pelarut posfat akan tinggi pada suhu 30oC – 40oC (bakteri mesophiles) , kadar garam tanah <>Struktur Tambahan Bakteri :

1. Kapsul atau lapisan lendir adalah lapisan di luar dinding sel pada jenis bakteri tertentu, bila lapisannya tebal disebut kapsul dan bila lapisannya tipis disebut lapisan lendir. Kapsul dan lapisan lendir tersusun atas polisakarida dan air.

2. Flagelum atau bulu cambuk adalah struktur berbentuk batang atau spiral yang menonjol dari dinding sel.

3. Pilus dan fimbria adalah struktur berbentuk seperti rambut halus yang menonjol dari dinding sel, pilus mirip dengan flagelum tetapi lebih pendek, kaku dan berdiameter lebih kecil dan tersusun dari protein dan hanya terdapat pada bakteri gram negatif. Fimbria adalah struktur sejenis pilus tetapi lebih pendek daripada pilus.


4. Klorosom adalah struktur yang berada tepat dibawah membran plasma dan mengandung pigmen klorofil dan pigmen lainnya untuk proses fotosintesis. Klorosom hanya terdapat pada bakteri yang melakukan fotosintesis.

5. Vakuola gas terdapat pada bakteri yang hidup di air dan berfotosintesis.

6. Endospora adalah bentuk istirahat (laten) dari beberapa jenis bakteri gram positif dan terbentuk didalam sel bakteri jika kondisi tidak menguntungkan bagi kehidupan bakteri. Endospora mengandung sedikit sitoplasma, materi genetik, dan ribosom. Dinding endospora yang tebal tersusun atas protein dan menyebabkan endospora tahan terhadap kekeringan, radiasi cahaya, suhu tinggi dan zat kimia. Jika kondisi lingkungan menguntungkan endospora akan tumbuh menjadi sel bakteri baru.


1.3 Senyawa Fosfat Tanah

Fosfor di dalam tanah dapat dibedakan dalam dua bentuk yaitu P-organik dan P-anorganik.Kandungannya sangat bervariasi tergantung pada jenis tanah, tetapi pada umumnya rendah , Gambar 20 menunjukkan bagian dunia yang kekuranagn P (Handayanto dan Hairiyah,2007)

Posfor organik di dalam tanah terdapat sekitar 50% dari P total tanah dan bervariasi sekitar 15-80% pada kebanyakan tanah. Bentuk-bentuk fospat ini berasal dari sisa tanaman, hewan dan mikrobia. Di sini terdapat sebagai senyawa ester dari asam orthofospat yaitu inositol , fosfolipid, asam nukleat, nukleotida, dan gula posfat. Tiga senyawa yaitu inositol fospolopid dan asam nukleat amat dominan dalam tanah.

Inositol fospat dapat mempunyai satu sampai enam atom P setiap unitnya, dan senyawa ini dapat ditemukan dalam tanah atau organisme hidup (bakteri) yang dibentuk secara enzimatik. Asam nukleat sebagai DNA dan RNA menyusun 1-10% P-organik total (Elfiati,2005). Sel-sel mikrobia (bakteri) sangat kaya dengan asam nukleat. Jika organisme tersebut mati maka asam nukleatnya siap untuk dimineralisasi.

Ketersediaan P-organik bagi tanaman sangat tergantung pada aktivitas mikrobia untuk memineralisasikannya. Namun seringkali hasil mineralisasi ini segera bersenyawa dengan bagian-bagian anorganik untuk membentuk senyawa yang relatif sukar larut. Enzim fostafase berperan utama dalam melepaskan P dari ikatan P-organik. Enzim ini banyak dihasilkan dari mikrobia tanah,terutama yang bersifat heterotrof. Aktivitas fosfatase dalam tanah meningkat dengan meningkatnya C-organik,tetapi juga dipengaruhi oleh pH , kelembaban temperatur dan faktor lain.

Dalam kebanyakan tanah total P-organik sangat berkorelasi dengan C-organik tanah, sehingga mineralisasi P meningkat dengan meningkatnya C-organik. Semakin tinggi C-organik dan semakin rendah P-organik semakin meningkat immobilisasi P. Fosfat anorganik dapat diimmobilisasi menjadi P-organik oleh mikrobia dengan jumlah yang bervariasi antara 25-100%.

Bentuk P-anorganik dapat dibedakan menjadi P aktif yang meliputi Ca-P, Al-P, Fe-P dan P tidak aktif, yang meliputi occhided-P , reductant-P , dan mineral P primer.Fospor anorganik di dalam tanah pada umumnya berasal dari mineral fluor apatit. Dalam proses hancuran iklim dihasilkan berbagai mineral P sekunder seperti hidroksi apatit, karbonat apatit, klor apatit dan lainnya sesuai dengan lingkungannya. Selain itu ion-ion fospat dengan mudah dapat bereaksi ion Fe3+,Al3+,Mn2+ dan Ca2+, ataupun terjerap pada permukaan oksida-oksida hidrat besi, aluminium dan hidrat.

P-anorganik berupa senyawa 3Ca(PO4)CaF Fluor apatit, 3Ca3(PO4)2CaCO3 Carbonat apatit, 3Ca2(PO4)2Ca(HO)2 Hidroksi apatit, 3Ca3(PO4)2CaO Oksi apatit, Ca(PO4)2CaCO3 Tri kalsium Phosfat, Ca3(PO4)2 Dikalsium phosfat, AlPO42H2O Variscit, FePO42H2O Strengit.


1.4 Peranan Fosfat pada Tanaman

Fospor merupakan unsur hara esensial makro yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman. Tanaman memperoleh unsur P seluruhnya berasal dari tanah atau dari pemupukan serta hasil dekomposisi dan mineralisasi bahan organik. Jumlah P total dalam tanah cukup banyak, namun yang tersedia bagi tanaman jumlahnya rendah hanya 0,01 – 0,2 mg/kg tanah (Handayanto dan Hairiyah,2007).

Fospor yang diserap tanaman tidak direduksi, melainkan berada di dalam senyawa organik dan organik dalam bentuk teroksidasi. Fospor organik banyak terdapat di dalam cairan sel sebagai komponen sistim penyangga tanaman. Dalam bentuk anorganik, P terdapat sebagai fosfolipid yang merupakan komponen membran sitoplasma dan kloroplas. Fitin merupakan simpanan fospat dalam biji, gula fospat merupakan senyawa antara dalam berbagai proses metabolisme tanaman. Nukleoprotein merupakan komponen utama DNA dan RNA inti sel. ATP, ADP dan AMP merupakan senyawa berenergi tinggi untuk metabolisme.

Peranan P pada tanaman penting untuk pertumbuhan sel, pembentukan akar halus dan rambut akar, memperkuat tegakan batang agar tanaman tidak mudah rebah,pembentukan bunga , buah dan biji serta memperkuat daya tahan terhadap penyakit. Tanaman jagung menghisap unsur P dalam bentuk ion sebanyak 17 kg/ha untuk menghasilkan berat basah tanaman 4200 kg/ha (Premono,2002).

Kekurangan P pada tanaman akan mengakibatkan berbagai hambatan metabolisme, diantaranya dalam proses sintesis protein, yang menyebabkan terjadinya akumulasi karbohidrat dan ikatan-ikatan nitrogen. Kekurangan P tanaman dapat diamati secaa visual, yaitu daun-daun yang lebih tua akan berwarna kekuningan atau kemerahan karena terbentuknya pigmen antisianin. Pigmen ini terbentuk karena akumulasi gula di dalam daun sebagai akibat terhambatnya sintesa protein. Gejala lain adalah nekrotis atau kematian jaringan pada pinggir atau helai daun diikuti melemahnya batang dan akar terhambat pertumbuhannya.

Buntan (1992) menjelaskan fosfor merupakan bahan makanan utama yang digunakan oleh semua organisme untuk energi dan pertumbuhan. Secara geokimia, fosfor merupakan 11 unsur yang sangat melimpah di kerak bumi. Seperti halnya nitrogen, fosfor merupakan unsur utama di dalam proses fotosintesis. Fosfor biasanya berasal dari pupuk buatan yang kandungannya berdasarkan rasio N-P-K. Sebagai contoh 15-30-15, mengindikasikan bahwa berat persen fostor dalam pupuk buatan adalah 30% fosfor oksida (P2O5). Fosfor yang dapat dikonsumsi oleh tanaman adalah dalam bentuk fosfat, seperti diamonium fosfat ((NH4)2HPO4) atau kalsium fosfat dihidrogen(Ca(H2PO4)2).

Fosfat merupakan salah satu bahan galian yang sangat berguna untuk pembuatan pupuk. Sekitar 90% konsumsi fosfat dunia dipergunakan untuk pembuatan pupuk, sedangkan sisanya dipakai oleh industri ditergen dan makanan ternak. Mineral-mineral fosfat adalah batuan dengan kandungan fosfor yang ekonomis. Kandungan fosfor pada batuan dinyatakan dengan BPL (bone phosphate of lime) atau TPL (triphosphate of lime) yang didasarkan atas kandungan P2O5. Sebagian besar fosfat komersial yang berasal dari mineral apatit {Ca5 (PO4)3 (F,Cl,OH)} adalah kalsium fluo-fosfat dan kloro-fosfat dan sebagian kecil wavelit (fosfat aluminium hidros). Sumber lainnya berasal dari jenis slag, guano, krandalit (CaAl3(PO4)2(OH)5 .H2O), dan milisit {(Na,K) CaAl6 (PO4)4 (OH)9 3H2O}.

Apatit memiliki struktur kristal heksagonal dan biasanya dalam bentuk kristal panjang prismatik. Sifat fisik yang dimilikinya: warna putih atau putih kehijauan, hijau, kilap kaca sampai lemak, berat jenis 3,15 3,20, dan kekerasan 5. Apatit merupakan mineral asesori dari semua jenis batuan.beku, sedimen, dan metamorf. Ini juga ditemukan pada pegmatit dan urat-urat hidrotermal. Selain sebagai bahan pupuk, mineral apatit yang transparan dan berwarna bagus biasanya digunakan untuk batu permata.

Reservoir fosfor berupa lapisan batuan yang mengandung fosfor dan endapan fosfor anorganik dan organik. Fosfat biasanya tidak atau sulit terlarut dalam air, sehingga pada kasus ini tidak dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Kehadiran mikroorganisme dapat memicu percepatan degradasi fosfat. Sumber fosfor organik dalah perbukitan guano. Di dunia, cadangan fosfat berjumlah 12 milyar ton dengan cadangan dasar sebesar 34 milyar ton. Cadangan fosfat yang ada di Indonesia adalah sekitar 2,5 juta ton endapan guano (0,17 - 43% P2O5) dan diperkirakan sekitar 9,6 juta ton fosfat marin dengan kadar 20 - 40% P2O5. Masuknya fosfor ke laut sebesar 3,3 x 1011 mol P th. Jika aktivitas manusia (anthropogenic), seperti perusakan hutan dan penggunaan pupuk dimasukkan, maka jumlah fosfor yang masuk ke laut akan meningkat sebesar 3 kali lipat, yaitu 7,4 - 15,6 x 1011 mol P th . Siklus P pada Gambar 21 (Buntan, 1992).


Bersambung ke bagian 2 yang dapat dilihat pada pustaka dibawah:


Pustaka:

Madjid, A. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Bahan Ajar Online. Fakultas Pertanian Unsri & Prodi Ilmu Tanaman, Program S2, Program Pascasarjana, Universitas Sriwijaya. Propinsi Sumatera Selatan. Indonesia. Http://dasar2ilmutanah.blogspot.com.

22.16

BAKTERI PELARUT FOSFAT SEBAGAI AGENTS PUPUK HAYATI (Bagian 2)

Bakteri Pelarut Fosfat sebagai Agents Pupuk Hayati*
Oleh: Nursanti** dan Madjid***
(Bagian 2 dari 5 Tulisan)

Keterangan:
* Makalah Mata Kuliah Teknologi Pupuk Hayati pada Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Bukit Besar, Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia.
** Program Studi Ilmu Tanaman, Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Bukit Besar, Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia.
*** Dosen Pengasuh Mata Kuliah Teknologi Pupuk Hayati, Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Bukit Besar, Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia.

(Bagian 2 dari 5 Tulisan)


II. PEMANFAATAN BAKTERI PELARUT FOSFAT

2.1. Bakteri Pelarut Fosfat dan Ketersediaan P

Reaksi yang terjadi selama proses pelarutan P dari bentuk tak tersedia adalah reaksi khelasi antara ion logam dalam mineral tanah dengan asam-asam organik. Khelasi adalah reaksi keseimbangan antara ion logam dengan agen pengikat, yang dicirikan dengan terbentuknya lebih dari satu ikatan antara logam tersebut dengan molekul agen pengikat, yang menyebabkan terbentuknya struktur cincin yang mengelilingi logam tersebut. Mekanisme pengikatan Al+++ dan Fe++ oleh gugus fungsi dari komponen organik adalah karena adanya satu gugus karboksil dan satu gugus fenolik, atau dua gugus karboksil yang berdekatan bereaksi dengan ion logam.Besarnya P yang terlarut memiliki korelasi dengan Ca dan Mg yang dilepaskan, hal ini membuktikan bahwa P tersebut semula terikat oleh Ca dan Mg. Pelarutan P dalam tanah dapat ditingkatkan pada suasana pH rendah .

Fospor relatif tidak mudah tercuci, tetapi karena pengaruh lingkungan maka statusnya dapat berubah dari P yang tersedia bagi tanaman menjadi tidak tersedia, yaitu dalam bentuk Ca-P, Mg-P, Al-P, Fe-P atau occluded-P.

Menurut Buntan (1992) dalam aktivitasnya bakteri pelarut P akan menghasilkan asam-asam organik diantaranya asam sitrat, glutamat, suksinat, laktat, oksalat, glioksalat, malat, fumarat, tartarat dan alfa ketobutirat. Meningkatnya asam-asam organik tersebut biasanya diikuti dengan penurunan pH, sehingga mengakibatkan pelarutan P yang terikat oleh Ca.Penurunan pH juga disebabkan terbebasnya asam sitrat dan nitrat pada oksidasi kemoautotropik sulfur dan amonium berturut-turut oleh bakteri Thiobacillus dan Nitrosomonas. Reaksi pelarutan atau pelepasan P oleh penurunan pH dan terdapatnya gugus karboksilat secara sederhana dapat digambarkan sebagai berikut :
Ca10(PO4)6(OH)2 + 14H+ --> 10 Ca2+ + 6H2O + 6H2PO4-

OH OH
M- OH + R-COO- ---> M OH + H2PO4-
H2PO4 - OC-R

M = Al3+ atau Fe3+

Reaksi pengikatan P sebagai berikut :
Al + H2PO4 + 2 H2O --> Al(OH)2H2PO4 + 2 H+
Al(OH)3 + H2PO4 --> AL(OH)2H2PO4 + OH-
Ca(H2PO4) + CaCO3 --> Ca3(PO4)2 + 2CO2 +2H2O

Asam organik yang dihasilkan bakteri pelarut posfat mampu meningkatkan ketersediaan P di dalam tanah melalui beberapa mekanisme, diantara adalah : (a) anion organik bersaing dengan orthofosfat pada permukaan tapak jerapan koloid yang bermuatan positif ; (b) pelepasan orthofosfat dari ikatan logam P melalui pembentukan komplek logam organik ; (c) modifikasi muatan tapak jerapan oleh ligan organik (Elfianti,2005)

Asam sitrat dan oksalat digolongkan sangat efektif dalam menurunkan retensi P dari kaolinit dan gipsit, sedangkan asam malonat, tartarat dan malat berefektivitas sedang, asam asetat dan suksinat digolongkan kurang efektif. Pada tanah vulkanik yang kaya alovan asam-asam organik (benzoat, salisilat dan ptalat) tidak mampu menurunkan retensi P. Havlin et al dalam Elfianti(2005) menjelaskan juga bahwa tanpa anion organik maka Fe menjerap P dalam jumlah yang sangat banyak. Asam sitrat menjerap Fe jauh lebih banyak dibanding tartarat, demikian pula dalam hal mengurangi P terjerap. Tetapi jumlah Al yang diikat kedua asam tersebut tidak berbeda. Asam asetat tidak efektif dalam menurunkan retensi, karena asetat kurang kuat dalam membentuk komplek dengan Al maupun Fe.

Disamping meningkatkan P tersedia, beberapa asam organik berbobot molekul rendah ini juga dapat mengurangi daya racun Al yang dapat dipertukarkan (Al-dd). Kemampuan detoksifikasi asam organik terhadap Al-dd dalam tiga kelompok yaitu kuat (sitrat, oksalat, tartarat); sedang (malat, malonat, salisilat); dan lemah (suksinat,laktat, asetat dan ptalat). Hasil penelitian Pramono et al.(1992) menunjukkan bahwa bakteri pelarut posfat secara nyata mampu mengurangi Fe, Mn dan Cu yang terserap oleh tanaman jagung yang ditanam pada tanah masam, sehingga berada pada tingkat kandungan yang normal.

Terdapatnya asam-asam organik sitrat, oksalat, malat, tartarat dan malonat di dalam tanah sangat penting artinya dalam mengurangi pengikatan P oleh unsur-unsur penjerapnya dan mengurangi daya racun aluminium pada tanah masam.

Asam-asam organik yang mempunyai berat molekul rendah meliputi: asam alifatik sederhana, asam amino dan asam fenolik. Asam alifatik terdapat pada tanaman yang banyak mengandung selulosa, asam amino dihasilkan dari tanaman yang banyak mengandung N (misalnya legum), sedang asam fenolik dihasilkan dari tanaman golongan herba (berbatang basah seperti bayam). Asam-asam organik tersebut antara lain: laktat, glikolat, suksinat, alfa ketoglutarat, asetat, sitrat, malat, glukonat, oksalat, butirat dan malonat akan terbentuk selama proses perombakan bahan organik oleh mikrobia, merupakan bentuk antara (transisi). Meskipun jumlahnya sangat kecil yaitu sekitar 10 mM, namun karena terus menerus terbentuk maka peranannya menjadi penting. Sebagian besar asam tersebut merupakan asam lemah. Konsentrasi yang agak besar dapat ditemukan pada mintakat (zone) tempat aktivitas mikrobia tinggi seperti rhizosphere atau pada longgokan seresah tanaman yang sedang mengalami proses perombakan. Lokasi keberadaan bakteri di daerah perakaran. Jumlah bakteri yang terdapat di daerah perakaran dan tanah pada Tabel 1, dan jumlah mikrobia yang terbanyak di daerah perakaran adalah bakteri pada Tabel 2 (Vega, 2007).

Tabel 1. Jumlah Bakteri CFU x 106 g-1 tanah
-----------------------------------------------------------------
Plant Species Rhizoplane Rhizosphere Bulk Soil R/S Ratio
-----------------------------------------------------------------
Red Clover 3844 3255 134 24
Oats 3588 1090 184 6
Flax 2450 1015 184 5
Wheat 4119 710 120 6
Maize 4500 614 184 3
Barley 3216 505 140 3
-----------------------------------------------------------------
Sumber: Rouat dan Katznelson, 1961.


Tabel 2 Jumlah Mikrobia di Daerah Perakaran
----------------------------------------------------------
Microorganisms Rhizosphere Soil Bulk Soil R/S Ratio
----------------------------------------------------------
Bacteria 1,2 x 10^9 5,3 x 10^7 23
Actinomycetes 4,6 x 10^7 7,0 x 10^6 7
Fungi 1,2 x 10^6 1,0 x 10^5 12
Protozoa 2,4 x 10^3 1,0 x 10^3 2
Algae 5,0 x 10^3 2,7 x 10^4 0,2
Ammonifiers 5,0 x 10^8 4,0 x 10^5 125
Denitrifiers 1,26 x 10^8 1,0 x 10^5 1260
----------------------------------------------------------
Sumber: Hasil modifikasi dari Gray dan Williams, 1971.

Urutan kemampuan asam organik dalam melarutkan fosfat adalah: asam sitrat > asam oksalat = asam tartrat= asam malat > asam laktat = asam format = asam asetat. Asam organik yang membentuk komplek yang lebih mantap dengan kation logam akan lebih efektif dalam melepas Ca, Al dan Fe mineral tanah sehingga akan melepas P yang lebih besar. Demikian juga asam aromatik dapat melepas P lebih besar dibandingkan asam alifatik.

Menurut Yuwono (2006) bahwa kecepatan pelarutan P dari mineral P oleh asam organik ditentukan:
(1) kecepatan difusi asam organik dari larutan tanah,
(2) waktu kontak antara asam organik dan permukaan mineral,
(3) tingkat dissosiasi asam organik,
(4) tipe dan letak gugus fungsi asam organik,
(5) affinitas kimia agen pengkhelat terhadap logam dan
(6) kadar asam organik dalam larutan tanah.

Menurut Alexander (1986) mikrobia dapat ditumbuhkan dalam media yang mengandung Ca3(PO4)2, FePO4, AlPO4, apatit, batuan P dan komponen P-anorganik lainnya sebagai sumber P. Sastro (2001) menunjukkan bahwa jamur Aspergilus niger dapat dipeletkan bersama dengan serbuk batuan fosfat dan bahan organik membentuk pupuk batuan fosfat yang telah mengandung jasad pelarut fosfat. Aspergillus niger tersebut dapat bertahan hidup setelah masa simpan 90 hari dalam bentuk pelet.

Elfianti (2005) menggunakan fosfobakteri galur fosfo 24, Bacillus substilis, Bacterium mycoides dan Bacterium mesenterricus untuk melarutkan P organik (glisero fosfat, lesitin, tepung tulang) dan P anorganik (Ca-p, Fe-P) yang dilakukan secara in vitro. Hasilnya menunjukkan bahwa bakteri tersebut mampu melarutkan FePO4, Ca3(PO4)2, gliserofosfat, lesitin dan tepung tulang berturut-turut sebayak 4,5 , 6, 8, 13 dan 14%. Banin (1982) memanfaatkan Bacillus sp dan dua galur Bacillus firmus, yang menunjukkan bahwa ketiga bakteri tersebut masing-masing hanya mampu melarutkan berturut-turut 0,3, 0,9 dan 0,3% dari senyawa Ca3(PO4)2 yang diberikan dan tidak mampu melarutkan ALPO4 dan FePO4.

Supadi (1962) mengidentifikasikan beberapa bakteri pelarut P dari lapisan perakaran tanaman jagung, mikrobia tersebut adalah Bacillus megaterium, Bacillus sp, Escherechia freundii dan Escherechia intermedia. Bakteri tersebut dapat meningkatkan P tersedia sebanyak 0,8 – 3,7 ppm pada tanah sterl dan 0,1 – 3,6 ppm pada tanah steril.

Premono et al (1991) yang menggunakan Pseudomonas putida, Citrobacter intermedium dan Serratia mesenteroides, mendapatkan bahwa bakteri tersebut mampu meningkatkan P larut yang ada dalam medium ALPO4 dan batuan fospat sebanyak 6-19 kali lipat, tetapi tidak mampu melarutkan FePO4 . Selanjutnya Premono (1994) menunjukkan bahwa Pseudomonas fluorescens dan P. Puptida mampu meningkatkan P terekstrak pada tanah masam sampai 50%, sedangkan pada tanah bereaksi basa P . puptida mampu meningkatkan P yang terekstrak sebesar 10%. Penelitian Buntan (1992) memperlihatkan bahwa bakteri pelarut P (Pseudomonas puptida dan Enterobacter gergoviae) mampu meningkatkan kelarutan P pada tanah ultisol. Hasil penelitian Setiawati (1998) menunjukkan bahwa Pseudomonas fluorescens yang digunakan mampu meningkatkan kelarutan P dari fospat alam dari 16,4 ppm menjadi 59,9 ppm, meningkatkan kelarutan P dari ALPO4 dari 28,5 ppm menjadi 30,6 ppm dan meningkatkan P tersedia tanah dari 17,7 ppm menjadi 34,8 ppm.

Ada beberapa metode uji untuk memilih mikroba pelarut fosfat sebagai bahan aktif biofertilizer. Uji pertama yang sering dilakukan adalah mengukur indek pelarutan fosfat dan kemudian dilanjutkan dengan uji invitro. Bagian Pertama ini akan mejelaskan tentang indek pelarutan fosfat.

Indek pelarutan fosfat ini berdasarkan pada metode yang dijelaskan oleh Premono, Moawad, dan Vlek (1996). Secara aseptis 1 ose (untuk bakteri) atau satu cuplikan kecil dengan diameter 8 mm untuk fungi diinokulasikan ke atas media Pikovskaya. Setiap perlakuan dilakukan dengan beberapa ulangan, minimal duplo. Isolat diinkubasi selama beberapa hari. Indeks pelarutan fosfat adalah perbandingan antara diameter zona jernih dibagi dengan diameter koloni.

Indek pelarutan fosfat sesuai digunakan untuk screening awal mikroba pelarut fosfat. Metode ini mudah dan murah untuk dilakukan. Tetapi jika tidak hati-hati metode ini bisa menimbulkan bias. Variasi indek pelarutan fosfat dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain:
(1) Konsentrasi fosfat. AlPO4 tidak larut dalam air; untuk menuang medium ini ke dalam cawan petri perlu digoyang-goyang terlebih dahulu. Ada kemungkinan bahwa konsentrasi AlPO4 tidak seragam, sehingga zona jernihnya juga terpengaruh
(2) Ketebalan agar. Ketebalan agar di dalam cawan juga akan mempengaruhi zona jernih. AlPO4 di agar yang lebih tebal tentunya lebih sulit untuk dilarutkan daripada di agar yang tipis.
(3) Kecepatan pertumbuhan mikroba. Ada mikroba yang tumbuh dengan cepat dan ada mikroba yang tumbuh lambat. Misalnya, Penicillium sp umumnya memiliki diamater koloni yang lebih kecil daripada Aspergillus sp. Indek Penicillium sp lebih besar dari Aspergillus sp, tetapi kemampuannya melarutkan fosfat in vitro Penicillium sp lebih kecil daripada Aspergillus sp.
(4) Sesuai untuk membadingkan satu kelompok mikroba. Indek pelarutan fosfat kurang sesuai untuk membandingkan antar kelompok mikroba, misalnya: fungi, bakteri, dan aktinomicetes.

Data-data indek pelarutan fosfat umumnya di analisis dengan metode statistik. Statistik tidak bisa memisahkan variabel-variabel ini. Beberapa hal di atas akan sangat mempengaruhi hasil analisa statistik oleh karena itu harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh agar tidak salah dalam mengambil kesimpulan.


2.2. Bakteri Pelarut Fosfat dan Tanaman

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terbukti bahwa perlakuan pemberian bakteri pelarut fosfat (BPF) sebagai pupuk hayati peningkat ketersediann P dalam tanah mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman jagung pada tanah masam, yang tampak pada parameter tinggi tanaman 10 dan 45 HST, berat basah trubus, berat kering trubus, berat basah akar, berat kering akar, luas daun serta kadar P trubus.

Pada tanaman jagung, Citrobacter intermedium dan Pseudomonas putida (Premono et al, 1991) mampu meningkatkan serapan P dan bobot kering tanaman sampai 30%. Pada percobaan yang lain P. Putida mampu meningkatkan bobot kering tanaman jagung sampai 20% dan mikrobia ini stabil sampai lebih dari 14 bulan pada media pembawa zeolit, tanpa kehilangan kemampuan genetisnya dalam melarutkan batuan posfat. Inokulasi dengan Enterobacter gergoviae pada tanaman jagung dapt meningkatkan bobot kering tanaman jagung sebesar 29%. Sedangkan Lestari (1994) menguji Aspergillus niger menunjukkan bahwa mikrobia tersebut sangat baik dalam memperbaiki penampilan pertumbuhan tanaman jagung sampai 8 minggu pertama.

Berdasarkan hasil penelitian Hasanuddin (2002) menunjukkan bahwa perlakuan inokulasi Bakteri pelarut posfat 15 ml per inokulum tanaman dapat meningkatkan ketersediaan P 62,21% dan meningkatkan berat kering tanaman Kedelai.

Pada Tanaman Tebu penggunaan bakteri pelarut P (Pseudomonas puptida dan Pseudomonas fluorescens) dapat meningkatkan bobot kering tanaman sampai 40% dan meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk TSP sebesar 60-135% (Elfiati,2005).

Beberapa peneliti mengemukakan bahwa efektifnya bakteri pelarut P tidak hanya disebabkan oleh kemampuannya dalam meningkatkan ketersediaan P tetapi juga disebabkan karena kemampuannya dalam menghasilkan ZPT, terutama pada Bakteri yang hidup di permukaan akar seperti Pseudomonas fluorescens, P putida dan P. Striata. Bakteri tersebut dapat menghasilkan zat pengatur tumbuh seperti asam indol asetat (IAA) dan asam giberelin (GA3).

Beberapa bakteri pelarut posfat juga dapat berperan sebagai biokontrol yang dapat meningkatkan kesehatan akar dan pertumbuhan tanaman melalui proteksinya terhadap penyakit. Strain tertentu dari Pseudomonas sp dapat mencegah tanaman dari patogen fungi yang berasal dari tanah. Pseudomonas fluorescens dapat mengontrol perkembangan penyakit dumping-off tanaman. Kemampuan bakteri ini terutama karena menghasilkan 2,4-diacethylphloroglucinol yang dapat menghalangi pertumbuhan cendawan dumping-off Phytium ultium (Hadiyanto,2007).


Bersambung ke bagian 3 yang dapat dilihat pada pustaka dibawah:

Pustaka:

Madjid, A. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Bahan Ajar Online. Fakultas Pertanian Unsri & Prodi Ilmu Tanaman, Program S2. Program Pascasarjana, Universitas Sriwijaya. Propinsi Sumatera Selatan. Indonesia. http://dasar2ilmutanah.blogspot.com.

22.09

BAKTERI PELARUT FOSFAT SEBAGAI AGENTS PUPUK HAYATI (Bagian 3)

Bakteri Pelarut Fosfat sebagai Agents Pupuk Hayati*
Oleh: Nursanti** dan Madjid***
(Bagian 3 dari 5 Tulisan)

Keterangan:
* Makalah Mata Kuliah Teknologi Pupuk Hayati pada Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Bukit Besar, Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia.
** Program Studi Ilmu Tanaman, Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Bukit Besar, Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia.
*** Dosen Pengasuh Mata Kuliah Teknologi Pupuk Hayati, Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Bukit Besar, Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia.

(Bagian 3 dari 5 Tulisan)


III. TEKNOLOGI PUPUK HAYATI BAKTERI PELARUT FOSFAT

3.1. Teknik Identifikasi Bakteri

Identifikasi bakteri sangat diperlukan untuk menentukan atau mengetahui jenis bakteri yang diinginkan. Teknik identifikasi populasi bakteri dapat dilakukan dengan metode tidak langsung , yaitu berdasarkan jumlah koloni pada media yeast mannitol agar (YMA) + congored ataupun YMA + bromthymol blue (BTB). Bahan dan alat yang diperlukan adalah penangas air, mortir penumbuk steril, neraca, pipet steril, air steril, lampu bunsen,contoh tanah, petridish dan mikroskop.

Selanjutnya menurut Syarifuddin (2002) pengambilan contoh tanah dilakukan dengan cara pengamatan tanah di lapangan untuk mengetahui morfologi, klasifikasi dan penyebarannya. Pengamatan dapat dilakukan dengan sistem grade dengan jarak 250x250m atau disesuaikan dengan perubahan landscape. Selain contoh tanah profil diambil juga contoh tanah komposit pada kedalaman 0-50 cm . Contoh tanah komposit merupakan campuran homogen dari beberapa tempat pengambilan dari satuan lahan yang sama, setelah diaduk rata kemudian diambil 500gr . Tanah diupayakan dalam keadaan lembab untuk keperluan analisis di laboratorium.Alat – alat labor yang digunakan pada Gambar 24 sampai dengan Gambar 29).

Prosedur identifikasi dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :
(1) Pada bagian petridish diberi tanda sesuai dengan tingkat pengenceran yaitu10-1, 10-2, 10-3 dan seterusnya.
(2) Sebanyak 1gr contoh tanah ditumbuk dalam mortir steril kemudian dimasukkan secara aseptik bersama 9cc air steril ke dalam erlenmeyer (pengenceran 10-2), selanjutnya dikocok dengan hati-hati sampai homogen.
(3) Inokulasi secara aseptik 1cc masing-masing contoh tanah yang telah homogen ke dalam petridish steril dan tabung gelas yang berisi 9 cc air steril (pengenceran 10-3) kemudian kocok dilakukan seperti no 2.
(4) Media YMA+congored atau BTB steril yang telah diencerkan pada suhu lebih krang 500C dituangkan secara aseptik ke dalam masing-masing petridish yang telah diinokulasi, kemudian digoyang-goyang secukupnya dan biarkan sampai membeku.
(5) Inokulasi pada suhu 280C selama 8 hari dengan posisi petridish terbalik.
(6) Populasi koloni dihitung pada umur 4 hari dan 8 hari dengan menggunakan mikroskop pembesaran 1000 kali.

Jangan pernah menyangka kalau di bawah tanah adalah dunia yang sepi, khususnya di daerah akar tanaman. Sesungguhnya wilayah ini adalah wilayah yang sangat ramai, sibuk, dan hirup pikuk. Kalau kita cabut akar tanaman, lalu kita bersihkan sisa-sisa tanahnya, maka di akar itu ada milyaran ‘mahluk-mahluk halus’ yang sedang sibuk bekerja (Gambar 32 dan 33). Mahluk-mahluk itu disebut makhluk halus karena tidak bisa dilihat dengan mata telanjang. Mahluk ini super kecil, untuk melihatnya perlu bantuan mikroskop dengan pembesaran kurang lebih 1000x. Karena ukurannya yang super kecil, mahluk ini juga disebut mahluk mikro atau mikroba atau mikrobia (mikro = kecil, bio : mahluk hidup). Dalam secuil tanah saja terdapat milyaran mahluk-mahluk halus ini.

Mikroba pelarut fosfat (MPF) umumnya diisolasi dari contoh tanah, contoh pada Gambar 30 , 31 dan 34. MPF yang umum didapatkan antara lain dari kelompok fungi, bakteri, dan actinomicetes. Prosedur umum untuk mengisolasi MFP adalah sebagai berikut:
(1) Satu gram contoh tanah dimasukkan ke dalam 99 ml larutan garam fisiologis (0.85% NaCl) steril dan dikocok selama 24 jam atau semalam. Dari pengenceran ini diperoleh seri pengenceran 10 ext-2. Tujuan pengocokan ini agar diperoleh lebih banyak isolat, khususnya isolat fungi.
(2) Satu ml larutan dari pengenceran 10 ext. -2 ditambahkan ke dalam 99 ml larutan garam fisiologis dan dikocok/diaduk hingga tercampur merata. Langkah ini diperoleh pengenceran 10 ext. -4. Pengenceran terus dilakukan hingga seri pengencera 10 ext. - 6 s/d 10 ext. - 8.
(3) Buat medium agar Pikovskaya (5 g Ca3(PO4)2, 10 g glukosa, 0,2 gNaCl, 0,2 g KCl, 0,1 g MgSO4.7H2O, 0,5 g NH4SO4, 0,5eksrak ragi, sedikit MnSO4 dan FeSO4 dilarutkan dalam 1liter H2O, pH = 6,8)
(4) Satu ml dari setiap seri pengenceran yang telah dibuat dimasukkan ke dalam cawan petri steril. Medium agar Pikovskaya yang masih cair (suhu kurang lebih 50oC) dituangkan ke dalam cawan. Cawan digoyang agar sample dan media tercampur merata.
(6) Ulangi langkah di atas secukupnya.
(7) Inkubasi dalam posisi terbalik selama beberapa hari.
(8) Mikroba yang dapat melarutkan fosfat akan membentuk zona bening di dalam medium Pikovskaya.
(9) Setelah diperoleh MPF segera dipisahkan dan dimurnikan di dalam medium Pikovskaya yang lain.

Isolat bakteri dan actinomicetes biasanya segera tumbuh pada umur 2 - 3 hari, sedangkan fungi baru mulai tumbuh setelah 1 - 2 minggu.


3.2. Teknologi Produksi dan Aplikasi

Mikrobia tanah banyak yang berperan dalam penyediaan maupun penyerapan unsur hara bagi tanaman. Tiga unsur hara penting tanaman Nitrogen Fosfat dan Kalium keseluruhannya melibatkan aktivitas mikrobia.

Isroi (2004) menjelaskan beberapa jenis bakteri mampu menghasilkan hormon tanaman yang dapat merangsang pertumbuhan tanaman. Hormon yang dihasilkan oleh bakteri akan diserap oleh tanaman sehingga tanaman akan tumbuh lebih cepat. Mikrobia atau bakteri tersebut diformulasikan dalam bahan pembawa khusus dan digunakan sebagai bahan biofertilizer. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh BPBPI mendapatkan bahwa biofertilizer setidaknya dapat menyuplai lebih dari setengah kebutuhan hara tanaman.

Aplikasi biofertilizer pada pertanian organik dapat menyuplai kebutuhan hara tanaman yang selama ini dipenuhi dari pupuk-pupuk kimia sepanjang bioteknologi berbasis mikroba selalu dikembangkan .

Teknologi penyubur tanah dan tanaman, dengan menggunakan pupuk hayati SMS Agrobost yang dibuat dengan teknologi Agricultural Growth Promoting Inoculant (AGPI) Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bogor, suatu inokulan campuran yang berbentuk cair, mengandung hormon tumbuh indole acetic acid serta mikroba indigenous (mikroba tanah setempat) asli indonesia, yang sangat dibutuhkan dalam proses penyuburan tanah secara biologi antara lain Azospirillum sp, Azotobacter sp, mikroba pelarut P, Lactobacillus sp, dan mikroba pendegradasi selulosa dan Pseudomonas Sp.

Goenadi (2004) menjelaskan pada prinsipnya aktivitas mikroba tanah dapat ditingkatkan untuk kurun waktu tertentu dan bermanfaat bagi tanaman melalui introduksi mikrobia unggul yang dimaksud secara khusus diisolasi dari tanah dan dikemas dalam bahan pembawa (carrier) yang mampu menjaga reaktifitasnya dalam periode yang memadai. Agar dapat disimpan lebih lama (lebih dari setahun) maka formulasi biofertilizer ini perlu menyediakan lingkungan yang nyaman dan makanan yang cukup bagi mikroba termaksud. Kemasan dalam bentuk butiran (diameter 2-3mm) akan mempermudah aplikasinya dilapangan, tetapi pada umumnya dalam kemasan bubuk (powder).

Untuk mempertahankan kehidupan bakteri di dalam formulasi biofertilizer maka diperlukan beberapa bahan sebagai nutrisi dan tempat bertahan (Tabel 3).

Tabel 3 Formulasi Biofertilizer untuk mempertahankan inokulan bakteri
-----------------------------------------------------------
No. Formulasi Kandungan (g L-1)
-----------------------------------------------------------
(1) Glukosa 5 - 30
(2) Ca3(PO4) 2 1 - 20
(3) MgCl2.6H2O 0,5 - 20
(4) MgSO4.7H2O 0,05 - 5
(5) KCl 0,025 - 5
(6) (NH4)2SO4 0,01 - 2
(7) Bromophenol Blue 0,01 - 0,1
-----------------------------------------------------------

Selanjutnya dijelaskan juga bahwa untuk mencapai produksi yang sama dengan teknologi konvensional , penggunaan teknologi biofertilizer menghemat penggunaan pupuk kimia hingga 50% , berkurangnya pencemeran lingkungan dan dampak lebih lanjut adalah menjamin kapasitas keberlanjutan kapasitas produksi lahan.


3.3. Produk Pupuk Hayati Pelarut Fosfat

Salah satu produk pupuk hayati bakteri pelarut fosfat adalah pupuk biophos (Gambar 35) yang dapat digunakan langsung pada peningkatan pertumbuhan tanaman. Biofertilizer lain yang tersedia di pasaran antara lain Agrobost, Tiens Golden Harvest ,Miza Pluss.

Miza Plus adalah pupuk hayati berbasis mikoriza arbuskula dan telah diformulasi dengan memadukan sinergisme antara mikroba simbiotik dan non simbiotik. Secara fungsional mikroba tersebut bersinergi dalam penyediaan unsur makro P, N, dan zat pengatur tumbuh tanaman. Perbaikan rhizosfer tanaman dibuktikan dapat memperbaiki akar dan daerah perakaran tanaman sehingga pemberian Miza Plus disamping secara aktif menyediakan hara tanaman juga memperbaiki lingkungan tumbuh tanaman secara berkesinambungan. Mikroba terseleksi yang terkandung dalam Miza Plus adalah bakteri penambat N non simbiotik, bakteri pelarut fosfat, dan bakteri pemacu pertumbuhan tanaman. Mikoriza di samping membantu meningkatkan status hara tanaman juga membantu meningkatkan toleransi tanaman terhadap patogen seperti patogen tular tanah.

Spesifikasi formulasi miza pluss adalah Bahan aktif : Mikoriza arbuskula, bakteri penambat N, bakteri pelarut fosfat, dan bakteri pemacu pertumbuhan tanaman. Warna : Putih-abu abu Bentuk : Granul ,Kemasan : 5 dan 25 kg, Masa simpan : 12 bulan.


Bersambung ke bagian 4 yang dapat dilihat pada pustaka dibawah:


Pustaka:

Madjid, A. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Bahan Ajar Online. Fakultas Pertanian Unsri & Prodi Ilmu Tanaman, Program S2, Program Pascasarjana, Universitas Sriwijaya. Propinsi Sumatera Selatan. Indonesia. http://dasar2ilmutanah.blogspot.com.

22.02

BAKTERI PELARUT FOSFAT SEBAGAI AGENTS PUPUK HAYATI (Bagian 4)

Bakteri Pelarut Fosfat sebagai Agents Pupuk Hayati*
Oleh: Nursanti** dan Madjid***
(Bagian 4 dari 5 Tulisan)

Keterangan:
* Makalah Mata Kuliah Teknologi Pupuk Hayati pada Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Bukit Besar, Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia.
** Program Studi Ilmu Tanaman, Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Bukit Besar, Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia.
*** Dosen Pengasuh Mata Kuliah Teknologi Pupuk Hayati, Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Bukit Besar, Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia.

(Bagian 4 dari 5 Tulisan)


IV. PERKEMBANGAN PENELITIAN BAKTERI PELARUT FOSFAT

Sen dan Paul dalam Elfiati (2005) menggunakan fosfobakterin galur fosfo 24, Bacillus subtilis , Bacterium mycoides dan B. Mesenerricus untuk melarutkan P organik (glisero fosfat, lesitin, tepung tulang) dan P anorganik (Ca-P, Fe-P) yang dilakukan secara in vitro. Hasilnya menunjukkan bahwa bakteri tersebut mampu melarutkan FePO4, Ca3(PO4)2, gliserofosfat, lesitin dan tepung tulang berturut-turut sebanyak 2-7, 3-9, 3-13, 5-21 dan 14%.Banik (1982) memanfaatkan Bacillus sp dan dua galur Bacillus firmus, hasil percobaannya menunjukkan bahwa ketiga bakteri tersebut masing-masing hanya mampu melarutkan berturut-turut 0,3 , 0,9 dan 0,3 % dari senyawa Ca(PO4)2 yang diberikan dan tidak mampu melarutkan AlPO4 dan FePO4.

Rao dan Sinha (1962) mengidentifikasikan beberapa mikroba pelarut P dari lapisan perakaran tanaman gandum. Mikroba tersebut adalah Bacillus megaterium, Bacillus sp, Escherechia freundii dan E. Intermedia . Supadi (1991) juga mendapatkan anggota-anggota Escherechia yang dapat melarutkan P dari lapisan perakaran tanaman jagung. Bakteri-bakteri tersebut meningkatkan P tersedia sebanyak 0,8-3,7 ppm pada tanah non steril dn 0,1-3,6 ppm pada tanah steril.

Premono et al (1991) yang menggunakan Pseudomonas puptida, Citrobacter intermedium dan Serratia mesenteroides mendapatkan bahwa bakteri tersebut mampu meningkatkan P larut yang ada dalam medium AlPO4 dan batuan fosfat sebanyak 6-19 kali lipat, tetapi tidak mampu melarutkan FePO4. Selanjutnya hasil penelitian Premono (1994) menunjukkan bahwa Pseudomonas fluorescens dan P.puptida mampu meningkatkan P terekstrak pada tanah masam sampai 50%, sedangkan pada tanah berreaksi basa P. Puptida mampu meningkatkan P yang terekstrak sebesar 10%. Penelitian Buntan (1992) memperlihatkan bahwa bakteri pelarut fosfat (Pseudomonas puptida dan Enerobacter gergoviae) mampu meningkatkan kelarutan P pada tanah ultisol. Hasil penelitian Setiawati (1998) menunjukkan bahwa Pseudomonas fluorescens yang digunakannya mampu meningkatkan kelarutan P dari fosfat alam dari 16,4 ppm menjadi 59,9 ppm, meningkatkan kelarutan P dari AlPO4 dari 28,5 ppm menjadi 30,6 ppm dan meningkatkan P tersedia tanah dari 17,7 ppm menjadi 34,8 ppm.

Beberapa tanaman yang pernah digunakan sebagai bahan percobaan untuk menguji pengaruh mikroba pelarut P antara lain adalah : gandum, bit gula, kubis, tomat, barlei, jagung, kentang, padi, kedelai, kacang panjang dan tebu. Ahmad dan Jha (1982) mencoba Bacillus megaterium dan B. Circulans pada tanaman kedelai. Bacillus megaterium mampu meningkatkan serapan P pada tanaman kedelai, sedangkan kedua bakteri tersebut dapat meningkatkan produksi kedelai berturut-turut sebanyak 7 dan 10% jika digunakan pupuk TSP, serta meningkatkan 34% dan 18% jika digunakan batuan fosfat.

Kundu dan Gaur (1980) mengkombinasikan bakteri pelarut fosfat ( Bacillus polymixa dan Pseudomonas striata) dengan bakteri penambat N2 udara (Azotobacter chroococcum) pada tanaman gandum. Ternyata bakteri pelarut P dapat menstimulir pertumbuhan bakteri Azotobacter chroococcum, tetapi bakteri penambat N tidak mempengaruhi pertumbuhan bakteri pelarut P. Kombinasi ketiga inokulan tersebut mampu meningkatkan hasil gandum dua sampai lima kali lipat.

Pada tanaman jagung, Citrobacter intermedium dan Pseudomonas puptida mampu meningkatkan serapan P tanaman dan bobot kering tanaman sampai 30% (Premono et al, 1991). Pada percobaab lain (Buntan, 1992; Premono dan Widyastuti, 1993) Pseudomonas puptida mampu meningkatkan bobot kering tanaman jagung sampai 20%, dan mikroba ini stabil sampai lebih dari 4 bulan pada media pembawa zeolit, tanpa kehilangan kemampuan genetisnya dalam melarutkan batuan fosfat. Inokulasi dengan Enterobacter gergoviae pada tanaman jagung dapat meningkatkan bobot kering tanaman jagung sebesar 29% (Buntan, 1992).

Pada tanaman tebu penggunaan bakteri pelarut fosfat ( Pseudomonas puptida dan P fluorescens) dapat meningkatkan bobot kering tanaman sebesar 5-40% dan meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk P asal TSP sebanyak 60-135% (premono, 1994). Penelitian Setiawati (1998) mengisolasikan bakteri pelarut P dapat meningkatkan serapan P dan bobot kering tanaman tembakau.

Pal (1998) melaporkan bahwa bakteri pelarut P (Bacillus sp) pada tanah yang dipupuk dengan batuan fosfat dapat meningkatkan jumlah dan bobot kering bintil akar serta hasil biji tanaman pada beberapa tanaman yang toleran masam (jagung, bayam dan kacang panjang). Menurut Dubay (1997) inokulasi dengan Pseudomonas striata dengan penambahan superfosfat maupun batuan fosfat dapat meningkatkan pembentukan bintil dan serapan N pada tanaman kedelai dan bakteri ini dapat dikulturkan dengan Bradyrhizobium japonicum tanpa efek yang merugikan.

Patten dan Glick (1996) mengemukakan bahwa efektifnya bakteri pelarut P tidak hanya disebabkan oleh kemampuannya dalam meningkatkan ketersediaan P tetapi juga disebabkan kemampuannya dalam menghasilkan zat pengatur tumbuh, terutama mikroba yang hidup pada permukaan akar seperti Pseudomonas fluorescens, P. Puptida dan P. Striata. Mikroba tersebut dapat menghasilkan zat pengatur tumbuh seperti asam indol asetat (IAA) dan asam giberelin (GA3).

Beberapa bakteri pelarut posfat juga dapat berperan sebagai biokontrol yang dapat meningkatkan kesehatan akar dan pertumbuhan tanaman melalui proteksinya terhadap penyakit. Strain tertentu dari Pseudomonas sp dapat mencegah tanaman dari patogen fungi yang berasal dari tanah. Pseudomonas fluorescens dapat mengontrol perkembangan penyakit dumping-off tanaman. Kemampuan bakteri ini terutama karena menghasilkan 2,4-diacethylphloroglucinol yang dapat menghalangi pertumbuhan cendawan dumping-off Phytium ultium (Hadiyanto,2007).

Hasil penelitian Wulandari (2001) menjelaskan bahwa inokulasi bakteri pelarut fosfat jenis Pseudomonas diminuta dan Pseudomonas cepaceae yang diikuti dengan pemberian pupuk fosfat dapat meningkatkan ketersediaan fosfat dan meningkatkan produksi tanaman kedelai serta meningkatkan efisiensi pupuk P yang digunakan. Pelarutan fosfat oleh Pseudomonas didahului dengan sekresi asam-asam organik, diantaranya asam sitrat, glutamat, suksinat, laktat, oksalat, glioksilat, malat, fumarat. Hasil sekresi tersebut akan berfungsi sebagai katalisator, pengkelat dan memungkinkan asam-asam organik tersebut membentuk senyawa kompleks dengan kationkation Ca2+, Mg2+, Fe2+, dan Al3+ sehingga terjadi pelarutan fosfat menjadi bentuk tersedia yang dapat diserap oleh tanaman.

Widawati dan Suliasih (2005) meneliti tentang Augmentasi Bakteri Pelarut Fosfat (BPF) Potensial sebagai Pemacu Pertumbuhan Caysin (Brasica caventis Oed.) di Tanah Marginal.

Dari hasil penelitiannya didapat bahwa Empat isolat BPF jenis Bacillus pantotheticus, Klebsiella aerogenes, Chromobacterium lividum dan B. Megaterium sebagai inokulan padat, mampu memacu pertumbuhan tanaman caysin. Inokulan yang berisi 4 isolat BPF jenis Bacillus pantotheticus, Klebsiella aerogenes, Chromobacterium lividum, dan B. megaterium merupakan inokulan terbaik sebagai biofertilizer dan menghasilkan berat daun segar 1 tanaman terbesar dari 4 tanaman perpot (g), berat daun segar 4 tanaman per pot, dan berat tanaman segar seluruh tanaman per pot (daun + batang + akar) sebesar 139,22 g, 575,48 g, dan 606,42 g atau ada kenaikan 877,67%; 903,63%; 930,63 dari tanaman kontrol 3/R = tanaman tanpa pupuk/inokulan; 354,67%; 208,30%; 217,23% dari tanaman kontrol 2/Q = tanaman dengan pupuk kompos; dan 61,81%; 203,75%; 207,84% dari tanaman kontrol 1/P = tanaman dipupuk kimia. Ada kenaikan pada tanaman segar seluruh tanaman per pot (daun + batang + akar) sebesar 32,87% dari tanaman yang diinokulasi dengan isolat BPF tunggal maupun campuran 2-3 isolat BPF.

Selanjutnya hasil penelitian Widawati dan Suliasih (2006) menyimpulkan bahwa ketinggian area, pH tanah, vegetasi hutan dan habitat mikroba (rhizosfer dan lantai hutan) yang berbeda bukan merupakan faktor penghambat keanekaragaman jenis BPF dan kemampuan BPF dalam melarutkan P terikat, tetapi cenderung merupakan faktor penghambat bagi pertumbuhan populasi BPF. Populasi tertinggi dijumpai di area rhizosfer tanaman Altingia exelsa Norona dan Schima wallichii (Dc.) Korth (107 sel/g tanah) di Cikaniki pada ketinggian 1100 m dpl. dan di tanah lantai hutan (108 sel/g tanah) di Gunung Botol pada ketinggian 1000 m dpl. Daerah Cikaniki, Gunung Botol, dan Ciptarasa didominansi oleh BPF jenis Pseudomonas sp., Bacillus sp., Bacillus megaterium, dan Chromobacterium sp. yang rata-rata mempunyai kemapuan melarutkan P terikat di media Pikovskaya padat dengan diameter sebesar 1,5-2,5 cm.

Hasanudin dan Gonggo (2004) meneliti tentang pemanfaatan mikrobia pelarut fosfat dan mikoriza untuk perbaikan fosfor tersedia, serapan fosfor tanah ultisol dan hasil jagung. Dari hasil penelitiannya terdapat pengaruh tunggal dan interaksi dari pemberian mikrobia pelarut fosfat dan mikoriza terhadap serapan P dan hasil jagung. Nilai tertinggi terdapat pada perlakuan mikrobia pelarut fosfat 15 ml tanaman-1 dan mikoriza 20 g tanaman-1 terhadap serapan P dan hasil jagung masing-masing sebesar 0,3881 ppm dan 280,15 g tanaman-1.

Hasil penelitian Junkazayama (2009) menunjukkan bakteri pelarut fosfat yang diinokulasikan pada biji dapat meningkatkan umur berbunga, umur pembentukan polong, umur panen, jumlah bunga, jumlah polong, jumlah biji, ukuran biji dan produksi biji pada tanaman kedelai. Bakteri pelarut fosfat yang digunakan dalam penelitian ini dapat meningkatkan produksi biji lebih dari 100 % dan mengefisienkan pemakaian pupuk P anorganik lebih dari 50 % pada tanaman kedelai.

Noor (2003) meneliti tentang pengaruh fosfat alam dan kombinasi bakteri pelarut fosfat dengan pupuk kandang terhadap P tersedia dan pertumbuhan kedelai pada ultisol. Dari hasil penelitiannya di dapat bahwa fosfat alam dan kombinasi bakteri pelarut fosfat dengan pupuk kandang mampu meningkatkan P tersedia tanah , jumlah dan bobot kering bintil akar dan bobot kering tanaman kedelai. Pemberian bakteri pelarut fosfat dan pupuk kandang secara sendiri-sendiri maupun kombinasinya meningkatkan P tersedia berturut-turut 26%, 34% dan 48% dibandingkan dengan kontrol. Kombinasi bakteri pelarut fosfat dengan pupuk kandang meningkatkan bobot kering tanaman kedelai 29% dibandingkan kontrol.


Bersambung ke bagian 5 pada pustaka dibawah:


Pustaka:

Madjid, A. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Bahan Ajar Online. Fakultas Pertanian & Prodi Ilmu Tanaman, Program Pascasarjana. Universitas Sriwijaya. Propinsi Sumatera Selatan. Indonesia. Http://dasar2ilmutanah.blogspot.com.

21.58

BAKTERI PELARUT FOSFAT SEBAGAI AGENTS PUPUK HAYATI (Bagian 5)

Bakteri Pelarut Fosfat sebagai Agents Pupuk Hayati*
Oleh: Nursanti** dan Madjid**
(Bagian 5 dari 5 Tulisan)

Keterangan:
* Makalah Mata Kuliah Teknologi Pupuk Hayati pada Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Bukit Besar, Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia.
** Program Studi Ilmu Tanaman, Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Bukit Besar, Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia.
*** Dosen Pengasuh Mata Kuliah Teknologi Pupuk Hayati, Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Bukit Besar, Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia.

(Bagian 5 dari 5 Tulisan)


V. KESIMPULAN

(1) Ketersediaan P didalam tanah sangat rendah karena P terjerap oleh mineral tanah dan senyawa organik serta terfiksasi Al,Fe,Mn,Ca dan proses pelapukan yang rendah .

(2) Bakteri Pelarut Fospat merupakan salah satu pupuk hayati yang dapat berperan sebagai amelioran,penyedia unsur hara dan tidak terjadi pencemaran lingkungan.

(3) Pemberian Bakteri Pelarut Posfat menghasilkan asam organik yang dapat meningkatkan ketersediaan P dan meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk Fosfat.

(4) Jenis-jenis bakteri pelarut posfat: Bacillus substilis, Bacterium mycoides, Bacterium mesenterricus,Bacillus firmus, Bacillus megaterium, Escherechia freundii, Escherechia intermedia Pseudomonas putida, Citrobacter intermedium , Serratia mesenteroides Pseudomonas fluorescens, dan Enterobacter gergovia


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, N and K.K Jha. 1982. Effect of phosphate solubilizer on dry matter yield of and phosphorus uptake by soybean.J.Indian Soc.Soil Sci.30:105-106.

Banik, S. 1982. Available phosphate content of an alluvial soils as influenced by inoculation of some isolated phosphate solubilizing mikroorganism. Plant Soil . 60:353-364.

Buntan,A.1992. Efektivitas Bakteri Pelarut Fospat dan Kompos terhadap Peningkatan Serapan P dan Efisiensi Pemupukan P pada Tanaman Jagung IPB Bogor.

Dubey, S.K, 1997. Co-inoculation of phosphorus bacteria with Bradyrhizobium japoniucum to increase phosphate availability to rainfed soybean on vertisol.J. Indian Soc.Soil Sci. 45: 506-509.

Elfiati,D.2005. Peranan Mikroba Pelarut P terhadap Pertumbuhan Tanaman. Fakultas Pertanian USU.Medan

Gunalan, 1996. Penggunaan Mikroba Bermanfaat pada Bioteknologi Tanah Berwawasan Lingkungan. Majalah Sriwijaya Vol.32.No.2.Universitas Sriwijaya.

Hasanudin.2003.Peningkatan Kesuburan Tanah dan Hasil Kedelai akibat inokulasi Mikrobia Pelarut Fospat dan Azotobacter pada Ultisol.Faperta Universitas Bengkulu.

Hasanudin dan Ganggo, B. 2004. Pemanfaatan mikrobia pelarut fospat dan mikoriza untuk perbaikan fospor tersedia, serapan fospor tanah ultisol dan hasil jagung. Universitas Bengkulu. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia. 6(1) : 8-13.

Handayanto,E dan Hairiyah,K.2007. Biologi Tanah Landasan Pengelolaan Tanah Sehat. Edisi 3. Pustaka Adipura.

Kundu, B.S and A.C. Gaur . 1980. Establishment of nitrogen fixing and phosphate solubilizing bacteria in rhizosphere and their effect on yield and nutrient uptake of wheat crop. Plant Soil 57 : 223-230.

Noor A. 2003. Pengaruh fosfat alam dan kombinasi bakteri pelarut fosfat dengan pupuk kandang terhadap P tersedia dan pertumbuhan kedelai pada ultisol. Buletin Agronomi. 31 (3): 100-106.

Pal, S.S. 1998. Interaction of an acid tolerant strain of phosphate solubilizing bacteria with a few acid tolerant crops. Plant Soil. 198 : 169-177.

Patten, C.L and B.R Glick. 1996. Bacterial biosyntesis of indole-3-acetic. Can.J. Microbiol 42: 207-220.

Premono.Widyastuti,R. 1992. Pengaruh BPF terhadap Serapan kationunsur mikro Tanaman Jagung pada Tanah Masam.Bandung

Rao,N. and Sinha, S. 1962. Soil Microorganisms and Plant Growth. Oxford and IBM Publishing Co. (Terjemahan Susilo.H. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. UI Press).

Sutanto,R..2002.Penerapan Pertanian Organik. Edisi 3.Kanisus Jakarta.

Supadi,T.H. 1991. Bakteri pelarut fosfat asal beberapa jenis tanah dan efeknya terhadap pertumbuhan jagung.Disertasi. Universitas Pajajaran. Bandung.

Setiawati,T.C. 1998. Efektifitas mikroba pelarut P dalam meningkatkan ketersediaan P dan pertumbuhan tembakau. Tesis.Program Pascasarjana IPB.Bogor.

Vega, N.W. 2007. A review on benefical effects of rhizosphere bacteria on soil nutrient availability and plant nutrient uptake.Agr.Medellín vol.60 no.1

Wulandari, S. 2001. Efektifitas bakteri pelarut fosfat Pseudomonas sp pada pertumbuhan tanaman kedelai pada tanah podsolik merah kuning. Jurnal Nature Indonesia. 4(1) : 1-5.

Widawati, S dan Suliasih . 2005. Augmentasi Bakteri Pelarut Fosfat (BPF) Potensial sebagai Pemacu Pertumbuhan Caysin (Brasica caventis Oed.) di Tanah Marginal.Biodiversitas. 7(1):10-14.

Widawati, S dan Suliasih . 2006. Populasi Bakteri Pelarut Fosfat (BPF) di Cikaniki, Gunung Botol, dan Ciptarasa, serta Kemampuannya Melarutkan P Terikat di Media Pikovskaya Padat.Biodiversitas. 7(2):109-113.

Yuwono,NW. 2006.Pupuk Hayati . Edisi 2 . UGM.Yogyakarta.

21.35

TEKNOLOGI PUPUK HAYATI FUNGI PELARUT FOSFAT (Bagian 1)

Teknologi Pupuk Hayati Fungi Pelarut Fosfat (FPF)*
Oleh: Rodiah** dan Madjid***
(Bagian 1 dari 6 Tulisan)

Keterangan:
* Makalah Mata Kuliah Teknologi Pupuk Hayati pada Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Bukit Besar, Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia.
** Program Studi Ilmu Tanaman, Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Bukit Besar, Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia.
*** Dosen Pengasuh Mata Kuliah Teknologi Pupuk Hayati, Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Bukit Besar, Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia.


(Bagian 1 dari 6 Tulisan)



I. PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

Tanah adalah suatu komponen dari keseluruhan ekosistem dan tidak dapat dilepaskan dari kesehatan ekosistem tersebut. Dibidang pertanian, tanah yang sehat memiliki kondisi fisik, kimia, dan biologis optimal untuk produksi tanaman dan memiliki kesanggupan untuk menjaga kesehatan tanaman serta kualitas ekosistem yang mencakup air dan tanah. Dalam sejumlah kondisi, tanah yang sehat mungkin saja tidak berfungsi sebagai komponen ekosistem yang sehat karena adanya penambahan komponen tanah yang tidak sehat dari luar itu sendiri (Elliot, 1998), misalnya penambahan bahan kimia yang berlebihan atau pembuangan limbah toksik. Hal ini berarti bahwa kehadiran suatu organisme akan mempengaruhi keberadaan organisme lain secara langsung maupun tidak langsung.

Tanah yang subur kaya akan keanekaragaman mikroorganisme, seperti bakteri, aktinomicetes, fungi, protozoa, alga dan virus, serta mengandung lebih dari 100 juta mikroba per gram tanah. Produktivitas dan daya dukung tanah tergantung pada aktivitas mikroba tersebut. Mikroba tanah berperan dalam proses penguraian bahan organik, melepaskan nutrisi ke dalam bentuk yang tersedia bagi tanaman, dan mendegradasi residu toksik (Sparling, 1998). Bioteknologi berbasis mikroba dikembangkan dengan memanfaatkan peran-peran penting mikroba tersebut. Manfaat mikroba tanah dalam usaha pertanian belum disadari sepenuhnya, bahkan sering diposisikan sebagai komponen habitat yang merugikan, karena pandangan umum terhadap mikroba lebih terfokus secara selektif pada mikroba patogen yang menimbulkan penyakit pada tanaman. Padahal sebagian besar spesies mikroba merupakan mikroflora yang bermanfaat, kecuali beberapa jenis spesifik yang dapat menyebabkan penyakit pada tanaman.

Cara pandang positif terhadap mikroba akan membangkitkan minat berpikir tentang potensi mikroba yang belum banyak diketahui. Baru sebagian kecil dari ribuan spesies mikroba yang telah diketahui memiliki manfaat bagi usaha pertanian, seperti bakteri fiksasi N2 udara pada tanaman kacang-kacangan, bakteri dan fungi pelarut fosfat, bakteri dan fungi perombak bahan organik, bakteri, cendawan, dan virus sebagai agensia hayati, serta bakteri yang berperan sebagai agen peningkat pertumbuhan tanaman (plant growth promoting agents) yang menghasilkan berbagai hormon tumbuh, vitamin dan berbagai asam-asam organik yang berperan penting dalam merangsang pertumbuhan bulu-bulu akar. Masih banyak lagi mikroba yang belum teridentifikasi dan diketahui manfaatnya. Saraswati et al. (2004) secara umum menggolongkan fungsi mikroba menjadi empat, yaitu (1) meningkatkan ketersediaan unsur hara tanaman dalam tanah, (2) sebagai perombak bahan organik dalam tanah dan mineralisasi unsur organik, (3) bakteri rhizosfer-endofitik untuk memacu pertumbuhan tanaman dengan membentuk enzim dan melindungi akar dari mikroba patogenik, (4) sebagai agensia hayati pengendali hama dan penyakit tanaman. Berbagai reaksi kimia dalam tanah juga terjadi atas bantuan mikroba tanah (Yoshida, 1978).

Fosfat merupakan unsur hara makro essensial untuk pertumbuhan tanaman kedua setelah N dan merupakan faktor pembatas dalam produksi tanaman. Kandungan P total tanah yang rendah di daerah tropik dan sub tropik berhubungan dengan bahan induk tanah dan telah lanjutnya pelapukan tanah. Selain itu kapasitas fiksasi P yang tinggi pada tanah menyebabkan P tersedia tanah menjadi rendah. Untuk meningkatkan produksi produksi tanaman pada tanah-tanah dengan ketersediaan P yang rendah diperlukan suatu usaha yang dapat meningkatkan kealrutannya seperti penggunaan mikroorganisme. Beberapa mikroorganisme seperti bakteri, fungi dan streptomyces diketahui mempunyai kemampuan melarutkan P. Penggunaan mikroba pelarut fosfat untuk meningkatkan kelarutan fosfat dalam rangka meningkatkan efektivitas penggunaannya dalam usaha pertanian.

Untuk itu perlu dikembangkan produk biologi yang terdiri dari mikroba pelarut fosfat yang berfungsi meningkatkan efisiensi pemupukan, kesuburan, dan kesehatan tanah disebut sebagai pupuk hayati (pupuk mikroba). Pupuk hayati yang telah terstandarisasi merupakan alternatif sumber penyediaan hara tanaman yang aman lingkungan. Pemanfaatan pupuk hayati yang bermutu diharapkan dapat meningkatkan efisiensi pemupukan dan meningkatkan produksi tanaman, menghemat biaya pupuk, dan meningkatkan pendapatan petani. Semakin mahalnya pupuk anorganik dan pestisida serta semakin dipahaminya manfaat pupuk hayati dalam menjaga keseimbangan hara dan produktivitas tanah, maka penggunaan pupuk hayati dan agensia hayati diharapkan akan lebih meningkat pada tahun-tahun mendatang.


B. Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk membahas pemanfaatan teknologi pupuk hayati fungi pelarut fosfat.


Bersambung ke bagian 2 yang dapat dilihat pada pustaka dibawah ini:


Pustaka:

Madjid, A. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Bahan Ajar Online. Fakultas Pertanian Unsri & Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pascasarjana, Universitas Sriwijaya. Http://dasar2ilmutanah.blogspot.com.

21.30

TEKNOLOGI PUPUK HAYATI FUNGI PELARUT FOSFAT (Bagian 2)

Teknologi Pupuk Hayati Fungi Pelarut Fosfat (FPF)*
Oleh: Rodiah** dan Madjid***
(Bagian 2 dari 6 Tulisan)

Keterangan:
* Makalah Mata Kuliah Teknologi Pupuk Hayati pada Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Bukit Besar, Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia.
** Program Studi Ilmu Tanaman, Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Bukit Besar, Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia.
*** Dosen Pengasuh Mata Kuliah Teknologi Pupuk Hayati, Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Bukit Besar, Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia.

(Bagian 2 dari 6 Tulisan)


II. Fosfat (P)

Fosfat (P) merupakan unsur hara esensial makro seperti halnya karbon (C) dan nitrogen (N). Tanaman memperoleh unsur P seluruhnya berasal dari tanah atau dari pemupukan serta hasil dekomposisi dan mineralisasi bahan organik. Jumlah P total dalam tanah cukup banyak, namun yang tersedia bagi tanaman jumlahnya rendah hanya berkisar 0,01-0,2 mg/kg tanah.

Didalam tanah P berada dalam bentuk P-organik dan P-anorganik. Bentuk P-anorganik dalam tanah umumnya berasal dari pelapukan mineral primer, pemupukan dan mineralisasi P-organik. Mineral primer tersebut misalnya apatit dengan rumus M10(PO4)6X2, dimana M sama dengan kalsium (Ca) dan X sama dengan F-, Cl-, OH- atau CO32-. Bentuk tersebut merupakan bentuk yang paling umum dipakai sebagai pupuk, yaitu fosfat alam yang kaya karbonat apatit. Pada tanah-tanah yang telah mengalami pelapukan lanjut, umumnya sumber P dari mineral primer sedikit sekali dijumpai, kecuali pada tanah pertanian yang memperoleh masukan P dari pupuk fosfat alam.

Berkenaan dengan ketersediaannya bagi tanaman, unsur P dibedakan menjadi (a) P-terlarut, bentuk ini labil yang tersedia dengan cepat bagi tanaman, (b) P-terikat pada kompleks permukaan koloid, misalnya Al-P dan Fe-P seperti yang dijumpai pada tanah-tanah masam, (c) P-terjerap kuat yang lambat atau sukar larut (P-stabil) dan P terselimuti oleh Fe2O3 atau Mn2O3 (occluded P). Ketiga bentuk P tersebut diatas saling berhubungan satu sama lain membentuk suatu keseimbangan yang dinamis.

Bentuk P-organik berada dalam bentuk senyawa organik kompleks yang berasal dari sisa tanaman, hewan dan organisme tanah. Bnetuk ini terdapat sebagai senyawa ester seperti inositol fosfat, fosfolipida, asam nukleat, nukleotida dan gula-gula fosfat; bentuk ini menyumbang 30-50% P-total tanah (Paul dan Clark, 1989; Subba Rao, 1977). Senyawa P-organik terdapat di dalam humus tanah dan berasosiasi dengan jaringan mikroba tanah. Ketersediaan P-organik bagi tanaman sangat tergantung pada aktivitas mikroorganisme melalui mineralisasi. Enzim fosfatase yang dihasilkan oleh mikroorganisme heterotrof berperan penting dalam pelepasan P ke dalam tanah.

Fosfat merupakan sumber energi primer bagi oksidasi mikroba. Organisme tanah berhubungan sangat erat dengan siklus P dalam tanah yaitu berperan dalam : (a) pelarutan P-anorganik dan pelepasan (mineralisasi) P-organik, (b) imobilisasi P-tersedia.

Di alam, fosfor terdapat dalam dua bentuk, yaitu senyawa fosfat organik (pada tumbuhan dan hewan) dan senyawa fosfat anorganik (pada air dan tanah). Fosfat organik dari hewan dan tumbuhan yang mati diuraikan oleh dekomposer (pengurai) menjadi fosfat anorganik. Fosfat anorganik yang terlarut di air tanah atau air laut akan terkikis dan mengendap di sedimen laut. Oleh karena itu, fosfat banyak terdapat di batu karang dan fosil. Fosfat dari batu dan fosil terkikis dan membentuk fosfat anorganik terlarut di air tanah dan laut. Fosfat anorganik ini kemudian akan diserap oleh akar tumbuhan lagi. Siklus ini berulang terus menerus.

Siklus P di dalam tanah cukup dinamis meliputi serapan P oleh tanaman, hanyut terbawa limpasan permukaan dan erosi, pengembalian melalui residu tanamandan hewan, pemupukan, pengembalian melalui mineralisasi-immobilisasi P-organik, reaksi pengikatan pada permukaan liat dan oksida Al dan Fe serta pelarutan mineral P oleh aktivitas mikroba (Buresh et al., 1997).

Pembentukan P-mineral primer berlangsung sangat lambat, sementara jerapan P dalam tanah terjadi lebih cepat. Jerapan P dalam tanah tersebut biasa dikenal dengan adsorpsi atau sorpsi. Jerapan P pada tanah sangat dipengaruhi oleh ph larutan tanah. Rendahnya nilai pH pada andisol menyebabkan meningkatnya jerapan P, karena menurunnya pH mengakibatkan aktivasi Al pada permukaan koloid mineral anorganik. Jerapan anion fosfat ini juga akan semakin menigkat dengan meningkatnya derajat pelapukan tanah. Hal ini kemungkinan disebabkan meningkatnya kandungan Al. Bila ion fosfat (HPO42- atau H2PO4-) diserap tanaman, keseimbangan P dalam tanah terganggu, P-labil bergerak menuju larutan tanah menajdi bentuk P-tersedia. Keseimbangan antara bentuk P-labil dan P-terjerap juga terganggu, dimana P bergerak lambat dari pool P-stabil menuju pool P-labil (Paul dan Clark, 1989). Pada sistem pola tanam yang terbuka, memungkinkan terjadinya limpasan air di permukaan tanah dan mengangkut tanah lapisan atas termasuk pula unsur P dan hara lainnya ke tempat lain sehingga menjadi tidak tersedia bagi tanaman.


Mineralisasi dan Immobilisasi Fosfat

Ketersediaan fosfat dikendalikan oleh mineralisasi dan immobilisasi melalui fraksi organik dan pealrutan serta presipitasi fosfat dalam bentuk anorganik. Sisa tanaman, hewan dan mikroba yang dikembalikan ke dalam tanah, secara aktif didekomposisi oleh mikroorganisme. Fosfat dalam sisa organik tersebut harus dilepaskan jika harus tersedia untuk tanaman dan mikroorganisme.

Mineralisasi fosfat merupakan proses enzimatik. Enzim yang terlibat disebut fosfatase yang mengkatalis berbagai reaksi yang melepaskan fosfat dari senyawa fosfat organik ke dalam larutan tanah. Fosfatase dilepaskan oleh mikroorganisme di luar sel ke dalam larutan tanah untuk mengkatalis reaksi-reaksi berikut ini :

Fosfomonoesterasi menghidrolisis fosfat dari bentuk monoester fosfat, seperti nukleotida atau fosfolipida.
1. Fosfodiesterase menghidrolisis fosfat dari bentuk diester fosfat seperti asam nukleat.
2. Fitase menghidrolisis fosfat dari fosfat inositol.

Jika fosfat dimineralisasi maka dapat diserap oleh tanaman atau diimmobilisasi kembali ke dalam sel mikroba, atau dapat membentuk kompleks anorganik tidak larut. Biomassa mikroba dapat mempengaruhi ketersediaan fosfat melalui immobilisasi, yaitu pengikatan ion ortofosfat menajdi bentuk organik yang terikat dalam organisme. Misalnya ortofosfat bereaksi dengan ADP (Adenosine diphosphate) dan masukan energi yang sesuai untuk membentuk ATP. Tingkat immobilisasi dipengaruhi oleh nisbah C/P bahan organik yang mengalami dekomposisi dan jumlah fosfat tersedia dalam larutan tanah. Nisbah C/P residu yang ditambahkan dapat menentukan tingkat fosfat anorganik dimineralisasi atau diimobilisasi. Jika fosfat tidak cukup tersedia dalam residu untuk asimilasi karbon yang ditambahkan, maka fosfat anorganik dari larutan tanah harus digunakan dan bisa terjadi net imobilisasi. Sebaliknya jika lebih banyak tersedia fosfat dalam residu jika dibandingkan dengan yang diperlukan untuk asimilasi karbon, maka terjadi net mineralisasi ortofosfat. Umumnya, nisbah C/P <> 300:1 menghasilkan imobilisasi. Nisbah antara 200-300 hanya menghasilkan perubahan kecil dalam konsentrasi fosfat daam larutan tanah. Proses ini sama dengan proses mineralisasi dan imobilisasi nitrogen. Selain kandungan fosfat dalam residu, variabel tanah dan lingkungan yang lain (misalnya pH, temperatur, aerasi, dan lengas tanah) mempengaruhi aktivitas mikroba dan mineralisasi fosfat. Unsur yang paling menjadi pembatas akan mengendalikan kecepatan mineralisasi fosfat dari residu. Jika mineralisasi karbon yang cepat terjadi pada residu dengan kandungan fosfat terbatas, maka terjadi imobilisasi fosfat dari tanah. Ketika karbon oragnik yang dapat dimineralisasi habis, bagian biomassa mikroba yang kaya fosfat juga akan dimineralisasi, menghasilkan pelepasan fosfat yang semua diimobilisasi.

Mineralisasi P-organik menjadi bentuk P-anorganik dilakukan oleh mikroba tanah. Indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui siklus transformasi P-organik menjadi P-anorganik adalah dengan mengetahui jumlah total mikroba dan biomassa mikroba (Buresh et al., 1997). Faktot-faktor yang mempengaruhi proses mineralisasi P di dalam tanah adalah temperatur, kelembaban, aerasi, pH tanah dan kualitas bahan organik yang ditambahkan. Aerasi tanah yang baik dengan kelembaban yang cukup serta temperatur tanah berkisar 30-40 oC menentukan jenis dan aktivitas mikroba tanah, selanjutnya dapat menentukan produk akhir dari proses metabolisme mikroba yang bersangkutan (Stevenson, 1986).

Pemilihan jenis tanaman sebagai sumber bahan organik untuk memperbaiki ketersediaan P tanah ditentukan oleh kualitasnya yaitu nisbah C/P. Nilai kritis C/P adalah 200, Bila C/P 200 maka akan terjadi mineralisasi, dan bila C/P 300 atau bila kandungan P pada bahan organik <0,2%>Pelarutan Fosfat Anorganik

Mineral fosfat anorganik umumnya dijumpai sebagai aluminium dan besi fosfat pada tanah-tanah masam, sedangkan kalsium fosfat mendominasi tanah-tanah basa. Senyawa yang kurang larut ini memasok ortofosfat ke larutan tanah tergantung tingkat kelarutan senyawa tersebut. Ortofosfat dipasok ke akar terutama melalui difusi. Akar tanaman dan mikroorganisme tanah dapat meamcu pelarutan senyawa fosfat melalui pelepasan karbon dioksida dan asam-asam organik ke larutan tanah. Asam karbonat dapat merangsang pelarutan asam pada senyawa kalsium dan magnesium fosfat. Hal yang sama, keasaman yang dihasilkan oleh bakteri nitrifikasi dan bakteri pelarut sulfur merangsang pelarutan garam-garam fosfat yang tidak larut. Berbagai jenis asam-asam organik yang dihasilkan oleh mikroorganisme dan tanaman dapat berperan sebagai bahan pengkhelat (chelating agents) untuk melarutkan aluminium, besi, kalsium dan magnesium fosfat, sehingga menghasilkan pelepasan ortofosfat ke dalam larutan tanah (Stevenson, 1986). Satu kelompok organisme yang penting adaalh jamur mikoriza, yang membentuk simbiosis dengan akar tanaman untuk memacu serapan fosfat dan unsur hara lainnya. Pada kondisi tergenang, hidrogen sulfida yang dihasilkan oleh bakteri pereduksi sulfat atau proses lainnya, dapat juga mengganti kation logam dari fosfat tidak larut, dengan melepaskan fosfat. Beberapa bakteri yang sangat efektif dalam melarutkan fosfat (bakteri pelarut fosfat) dari batuan fosfat. Salah satu contoh adalah Bacillus megaterium var. Phosphaticum. Bakteri ini telah dikemas dalam bentuk inokulum yang disebut fosfobakterin dan diaplikasikan ke tanah untuk memacu pelarutan mineral fosfat. Selain itu, pemberian bahan sumber karbon yang mudah dimineralisasi seeprti pupuk kandang, dapat memacu pelarutan fosfat melalui peningkatan aktivitas biologi. Peningkatan karbon organik juga berperan dalam mengkompleks aluminium pada tanah-tanah asam, jadi mengurangi peluang aluminium mengikat fosfat.


Aspek Lingkungan yang Mempengaruhi Ketersediaan P

Tanaman menyerap P dalam bentuk ion ortofosfat H2PO4-, H2PO42-, dan PO43-, yang ketersediaannya dalam tanah dipengaruhi oleh :


1. pH tanah.

Pada pH tanah agak masam hingga netral, H2PO42- lebih mendominasi. Untuk pH netral hingga agak basa (pH >7,2) H2PO42- lebih banyak dan pada pH sangat basa (>10) PO43- lebih mendominasi. Perubahan pH dalam larutan tanah maupun di dalam rhizosfer akan mempengaruhi kelarutan unsur Al, Fe, Mn, dan Ca. Ion Fe, Al, Mn, dan Ca dapat mengikat unsur P menjadi bentuk tidak larut dan tidak tersedia bagi tanaman.
Al3+ + H2PO4- + 2H2O ----> AlPO4.2H2O + 2H+
Fe3+ + H2PO4- + 2H2O ----> FePO4. 2H2O + 2H+
Al(OH)3 + H2PO4- ----> Al(OH)2 H2PO4- + OH-
Ca(H2PO4-)2 + 2Ca2+ ----> Ca3(PO4)2 + 2H+

Didaerah rhizosfer, pH tanah dapat berbeda dengan pH tanah diluar rhizosfer sebagai akibat dari tidak berimbangnya jumlah serapan kation dan anion.


2. Kandungan bahan organik tanah.

Keberadaan P-organik tanah berhubungan langsung dan tidak langsung dengan kandungan bahan organik tanah, yaitu pada proses dekomposisi dan mineralisasi bahan organik. Pada proses mineralisasi mikroba menguraikan senyawa P-organik menjadi bentuk P-anorganik yang tersedia bagi tanaman. Hubungan tidak langsung hubungan ketersediaan P dengan bahan organik tanah dapat dilihat dari peran bahan organik dalam mempertahankan struktur dan aerasi tanah sehingga menjamin kelangsungan proses-proses dekomposisi. Proses dekomposisi tersebut akan menghasilkan senyawa-senyawa organik yang akan membantu meningkatkan kealrutan mineral-mineral tanah yang mengandung P. Proses pencucian dan erosi menyebabkan konsentrasi P total dalam tanah menurun, selanjutnya diperbaharui oleh adanya pelepasan P-organik melalui proses mineralisasi, selanjutnya akan menjadi cadangan P tanah (P capital).


3. Adanya eksudasi asam organik oleh akar tanaman.

Adanya cekaman lingkungan di daerah perakaran (misalnya kekeringan) menyebabkan akar mengeksudasi beberapa macam asam organik seperti asam malat, asetat, laktat, suksinat yang dapat mengikat Al, Fe, Mn, dan Ca sehingga P lepas ke dalam larutan tanah (Handayanto dan Khairiah, 2007).


Bersambung ke bagian 3 yang dapat dilihat pada pustaka dibawah ini:


Pustaka:

Madjid, A. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Bahan Ajar Online. Fakultas Pertanian Unsri & Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pascasarjana. Universitas Sriwijaya. Http://dasar2ilmutanah.blogspot.com.

21.22

TEKNOLOGI PUPUK HAYATI FUNGI PELARUT FOSFAT (Bagian 3)

Teknologi Pupuk Hayati Fungi Pelarut Fosfat (FPF)*
Oleh: Rodiah** dan Madjid***
(Bagian 3 dari 6 Tulisan)

Keterangan:
* Makalah Mata Kuliah Teknologi Pupuk Hayati pada Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Bukit Besar, Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia.
** Program Studi Ilmu Tanaman, Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Bukit Besar, Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia.
*** Dosen Pengasuh Mata Kuliah Teknologi Pupuk Hayati, Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Bukit Besar, Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia.

(Bagian 3 dari 6 Tulisan)


III. Fungi

Fungi adalah organisme eukariot umumnya mempunyai berbagai bentuk dan ukuran, berkisar dari sel tunggal sampai sel berantai. Sekitar 70.000 spesies fungi telah dapat diidentifikasi dari jumlah spesies di alam diperkirakan ada 1,5 juta (Hawksworth, 1991; Hawksworth et al., 1995). Kebanyakan fungi dapat mirip tanaman, tetapi fungi tidak dapat membuat makanannya sendiri dari sinar matahari seperti yang dilakukan oleh tanaman. Fungi biasanya tumbuh baik pada lingkungan yang agak asam (pH sekitar 5), dan dapat tumbuh pada substrat dengan kadar air yang sangat rendah (Webster, 1970).

Fungi dicirikan oleh adanya tubuh yang tidak bergerak (thallus) tersusun dari filamen panjang berdinding disebut hifa dengan diameter 3-8 im. Hifa tunggal dapat bercabang memanjang dari beberapa sel menjadi beberapa sentimeter, kadang-kadang berkelompok membentuk miselium, seperti rhizomorf dan terlihat seperti akar tanaman. Komponen dinding selnya adalah khitin dan glukan. Reproduksi secara seksual, membentuk spora dari fusi dua nukleus. Pada stadium tertentu dalam siklus hidupnya, miselium menghasilkan spora, yang berkecambah untuk menghasilkan hifa baru. Jamur yang mengkoloni substrat segar akan tumbuh dalam waktu singkat, dan kemudian dapat menghasilkan satu atau beberapa spora aseksual, yaitu spora yang tidak dihasilkan dari fusi nukleus (Handayanto dan Khairiah, 2007).


Klasifikasi Fungi

Menurut Alexopoulos et al., (1996) dikenal 5 kelas fungi, yaitu:
(1) Oomycetes
(2) Zygomycetes
(3) Ascomycetes
(4) Deuteromycetes
(5) Basidiomycetes.

Oomycetes merupakan parasit obligat pada tanaman dan dapat bertahan selama siklus hidupnya dalam jaringan tanaman.

Zygomycetes adalah fungi daratan yang menghasilkan spora yang tidak dapat bergerak sendiri (non-motile) disebut zygospora.

Ascomycetes dijumpai pada berbagai habitat; beberapa diantaranya bersifat sparofit, sedangkan lainnya sebagai penyakit tanaman.

Deuteromycetes atau fungi imperfecti adalah fungi yang mempunyai hifa septa dan berkembang biak dengan cara aseksual.

Basidiomycetes merupakan kelas fungi yang terbesar yang menghuni berbagai macam habitat. Beberapa spesiesnya dapat berasosiasi dengan akar membentuk mikoriza. Beberapa Basidiomycetes berperan penting dalam pelapukan seresah hutan, baik berupa daun maupun kayu.


Sebaran dan Biomassa

Pada tanah-tanah beraerasi baik, fungi merupakan biomassa mikroba paling besar jumlahnya, dapat mencapai 2x104 sampai 1x106 propagul/gr tanah. Estimasi akurat tentang biomassa fungi sulit dilakukan karena adanya spora dan fragmentasi (Griffin, 1993). Sebaran fungi di dalam profil tanah sangat ditentukan oleh ketersediaan karbon organik. Jika fungi memerlukan karbon dan oksigen, fungi biasanya dijumpai pada profil tanah bagian atas (Isaac et al., 1993). Posisi spesies juga dipengaruhi oleh kepekaan CO2 (bagian atas, CO2 terhambat; bagian tengah, tidak peka; bagian bawah, tumbuh lebih baik dengan CO2 lebih tinggi). Terdapat hubungan antara fungi dengan vegetasi penutup tanah, sebagai contoh ; Aspergillus lebih banyak dijumpai dibawah tanaman oat, Pennicillium lebih banyak dijumpai dibawah tanaman gandum atau jagung. Pembentukan hubungan antara fungi dengan vegetasi terkait dengan populasi awal, eksudat akar, organisme rhizosfer, dan pengelolaan lahan.


Peran Ekologi

Fungi berperan penting dalam kaitannya dengan dinamika air, siklus hara, dan pengendalian penyakit. Bersama-sama dengan bakteri, fungi berperan penting sebagai organisme perombak di dalam rantai makanan (food web) tanah. Fungi mengkonversi bahan organik yang keras untuk dilumat menajdi bentuk yang dapat digunakan oleh organisme lainnya. Hifa fungi secara fisik mengikat partikel tanah, menghasilkan agregat stabil yang membantu meningkatkan infiltrasi air dan kapasitas tanah maupun air (Handayanto dan Khairiah, 2007).


Klasifikasi Fungi Berdasarkan Sifat Fungsional

Fungi dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok fungsional atas dasar memperoleh energi (Carroll dan Wicklow, 1992).

(1) Perombak (dekomposer)
Fungi dekomposer merupakan fungi saprofit yang mengkonversi bahan organik mati, karbon dioksida, dan molekul-molekul kecil seperti asam-asam organik. Fungi ini umumnya menggunakan substrat yang kompleks, seperti selulosa dan lignin dalam kayu, dan essensial dalam dekomposisi struktur rantai karbon dalam beberapa bahan pencemar. Beberapa fungi disebut ”fungi gula” karena fungi ini menggunakan substrat sederhana sama dengan yang digunakan oleh bakteri. Seperti bakteri, fungi ini penting dalam immobilisasi atau menahan hara dalam tanah. Selain itu, beberapa metabolit sekunder fungi adalah asam organik, sehingga membantu meningkatkan akumulasi bahan organik yang kaya humik yang resisten terhadap degradasi dan dapat tetap di dalam tanah sampai ratusan tahun.

(2) Mutualis
Fungi mutualis yang terkenal adalah fungi mikoriza yangmengkoloni akar tanaman. Sebagai timbal balik penggunaan karbon tanaman, fungi mikoriza membantu dalam melarutkan fosfat dan membawa unsur hara (fosfat, nitrogen, hara mikro, dan mungkin air) ke tanaman. Salah satu kelompok mikoriza adalah ektomikoriza yang tumbuh pada lapisan permukaan tanah dan umumnya berasosiasi dengan pohon. Kelompok mikoriza kedua adalah endomikoriza yang tumbuh di dalam sel akar dan umumnya berasosiasi dengan rumput, tanaman pangan, sayuran, dan semak. Fungi Mikoriza Arbuskular (MA) adalah tipe fungi endomikoriza, sedangkan fungi mikoriza Ericoid dapat sebagai ekto atau endomikoriza.

(3) Patogen atau parasit;
Fungi patogen atau parasit menyebabkan produksi tanaman menurun, atau tanaman mati jika fungi jenis ini mengoloni akar dan organisme lainnya. Fungi patogen akar seperti Verticillium, Phytium, dan Rhizoctonia, menyebabkan kerusakan besar tanaman pertanian. Namun demikian ada juga beberapa jenis fungi yang membantu mengendalikan penyakit, misalnya fungi penjebak nematoda dan fungi yang memakan insekta sangat bermanfaat dalam pengendalian penyakit secara biologi (Handayanto dan Khairiah, 2007).


Beberapan Fungi Penting Dalam Tanah

1. Aspergillus

Aspergillus adalah fungi saprofit berkonidia dan melepaskan banyak spora dalam proses reproduksinya. Beberapa spesies membentuk vesikula pada ujung konidiosporanya. Fungi ini dikenal menghasilkan miksotoksin yang menyebabkan kerusakan pada biji dan benih tanaman biji-bijian. Aspergillus dijumpai pada berbagai habitat dan kondisi lingkungan yang berbeda, serta banyak dijumpai dalam tanah, udara, dan lingkungan perairan (Dix dan Webster, 1995). Aspergillus tahan pada kondisi kelembaban rendah dan temperatur ekstrim. Oleh karena itu fungi ini berperan sebagai fungi gudang yang melapukkan berbagai produk pertanian dan makanan kering. Terdapat berbagai macam aplikasi spesies Aspergillus, untuk memproduksi antibiotika dan mekanis genetik yang bermanfaat. Aspergillus juga banyak digunakan dalam fermentasi makanan untuk tujuan komersial. Sebagai contoh A.niger digunakan untuk membuat asam sitrat yang banyak digunakan dalam pengawetan minuman ringan dan makanan kaleng. Namun demikian, Aspergillus juga menyebabkan kerusakan tanaman dan dapat mendekomposisi bahan lainnya seperti kayu, tekstil, cat, dan kulit (Hawksworth et al., 1995). Beberapa spesies dapat memberikan kerusakan pada tanaman pertanian, contohnya A.flavus dan A.parasiticus yang menghasilkan alfatoksin menyebabkan busuk pada selaput tongkol jagung.


2. Fusarium

Fusarium adalah fungi saprofit yang dapat tumbuh pada jaringan tanaman, jaringan hewan dan tanah. Kultur laboratorium yang menunjukkan adanya miselium seperi kapas berwarna jingga. Sporanya menyebar melalui pergerakan udara dan percikan hujan. Bentuk spesifik Fusarium adalah bentuk pisang pipih (Nelson, 1983). Ada beberapa spesies beracun yang dapat menyebabkan penyakit pada tanaman dan hewan, termasuk manusia. Pada tanaman, jamur ini menyebabkan berbagai penyakit busuk akar dan busuk batang (Joffe, 1986).


3. Pennicilium

Pennicilium adaalh fungi saprofit aerob dengan ukuran sel 0,75-5x 2-6im, membentuk lapisan konidiospora dan konidia pada permukaan koloni, sel berbentuk seperti tabung (Perbedy, 1987). Pennicilium dapat tumbuh pada temperatur 22-27 oC, tumbuh optimal pada pH netral sampai agak masam. Pennicilium banyak dijumpai pada tanah-tanah daerah sedang dan dapat bertahan hidup atau bahkan tumbuh pada lingkungan aktivitas air yang rendah. Fungi ini seringkali dijumpai pada tanah yang menagdnung bahan organik tinggi, terutama tanah-tanah hutan yang permukaannya tertutup oleh lapisan organik yang cukup tebal (Ramirez, 1982). Pennicilium dikenal menghasilkan penisilin.


4. Trichoderma

Trichoderma adaalh fungi saprofit atau parasit pada fungi lainnya. Fungi ini dikenal sebagai fungi penyerang akar dan berkembang dnegan cepat di lingkungan akar. Jamur ini tidak sepenuh hidupnya tergantung pada tanaman, hal ini karena kemampuannya menggunakan berbagai macam substrat. Fungi ini juga dikenal sebagai ascomycetes selulotik yang dapat mendegradasi selulosa. Trichoderma dijumpai hampir di semua tanah-tanah pertanian dan lingkungan lainnya seperti kayu yang melapuk. Trichoderma mampu tumbuh pada tanah dengan pH 2,5-9,5, tetapi lebih menyukai lingkungan yang agak asam. Trichoderma juga digunakan secara komersial untuk memproduksi enzim selulase, diantaranya T.harzianum dan T.koningii (merton dan Brotzman, 1979).


5. Saccharomyces

Saccharomyces adalah fungi bersel tunggal dengan diameter 5-10 im, selnya berbentuk oval atau sperikal (Dickinson dan Schweizer, 1999). Saccharomyces dikenal sebagai ”budding yeast” Saccharomyces cerevisiae dikenal sebagai ”Baker’s” atau yeast ”Brewer’s” (Phaff et al., 1968). Fungi ini telah lama digunakan untuk fermentasi gula dari beras, gandum, dan jagung untuk memproduksi minuman beralkohol, dan juga digunakan dalam industri roti sebagai bahan pengembang. Proses fermentasinya menghasilkan alkohol dan karbon dioksida. Karbon dioksida dijebak dalam gelembung kecil dan menghasilkan media yang mengembang (menggelembung). Saccharomyces mudah ditumbuhkan pada berbagai media yang mengandung karbon, nitrogen, vitamin, dan mineral lainnya. Saccharomyces tumbuh optimum pada temperatur 20-25 oC. Saccharomyces dapat dijumpai pada daun tanaman.


Bersambung ke bagian 4 yang dapat dilihat pada pustaka dibawah ini:


Pustaka:

Madjid, A. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Bahan Ajar Online. Fakultas Pertanian Unsri & Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pascasrjana. Universitas Sriwijaya. Http://dasar2ilmutanah.blogspot.com.

21.16

TEKNOLOGI PUPUK HAYATI FUNGI PELARUT FOSFAT (Bagian 4)

Teknologi Pupuk Hayati Fungi Pelarut Fosfat (FPF)*
Oleh: Rodiah** dan Madjid***
(Bagian 4 dari 6 Tulisan)

Keterangan:
* Makalah Mata Kuliah Teknologi Pupuk Hayati pada Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Bukit Besar, Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia.
** Program Studi Ilmu Tanaman, Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Bukit Besar, Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia.
*** Dosen Pengasuh Mata Kuliah Teknologi Pupuk Hayati, Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Bukit Besar, Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia.

(Bagian 4 dari 6 Tulisan)


IV. Perkembangan Penelitian Fungi Pelarut Fosfat

Reaksi yang terjadi selama proses pelarutan P dari bentuk tak tersedia adalah reaksi khelasi antara ion logam dalam mineral tanah dengan asam-asam organik. Khelasi adalah reaksi keseimbangan antara ion logam dengan agen pengikat, yang dicirikan dengan terbentuknya lebih dari satu ikatan antara logam tersebut dengan molekul agen pengikat, yang menyebabkan terbentuknya struktur cincin yang mengelilingi logam tersebut. Mekanisme pengikatan Al+++ dan Fe++ oleh gugus fungsi dari komponen organik adalah karena adanya satu gugus karboksil dan satu gugus fenolik, atau dua gugus karboksil yang berdekatan bereaksi dengan ion logam. Percobaan Kpomblekou & Tabatabai (1994) menunjukkan bahwa besarnya P yang terlarut memiliki korelasi dengan Ca dan Mg yang dilepaskan, hal ini membuktikan bahwa P tersebut semula terikat oleh Ca dan Mg. Pelarutan P dalam tanah dapat ditingkatkan pada suasana pH rendah, kadar Ca dapat ditukar rendah dan kadar P dalam larutan tanah rendah.

Asam-asam organik yang mempunyai berat molekul rendah meliputi: asam alifatik sederhana, asam amino dan asam fenolik. Asam alifatik terdapat pada tanaman yang banyak mengandung selulosa, asam amino dihasilkan dari tanaman yang banyak mengandung N (misalnya legum), sedang asam fenolik dihasilkan dari tanaman golongan herba (berbatang basah seperti bayam). Asam-asam organik tersebut antara lain: laktat, glikolat, suksinat, alfa ketoglutarat, asetat, sitrat, malat, glukonat, oksalat, butirat dan malonat akan terbentuk selama proses perombakan bahan organik oleh mikrobia, merupakan bentuk antara (transisi). Meskipun jumlahnya sangat kecil yaitu sekitar 10 mM, namun karena terus menerus terbentuk maka peranannya menjadi penting. Sebagian besar asam tersebut merupakan asam lemah. Konsentrasi yang agak besar dapat ditemukan pada mintakat (zone) tempat aktivitas mikrobia tinggi seperti rhizosphere atau pada longgokan seresah tanaman yang sedang mengalami proses perombakan (Yuwono, 2006).

Urutan kemampuan asam organik dalam melarutkan fosfat adalah: asam sitrat > asam oksalat = asam tartrat= asam malat > asam laktat = asam format = asam asetat. Asam organik yang membentuk komplek yang lebih mantap dengan kation logam akan lebih efektif dalam melepas Ca, Al dan Fe mineral tanah sehingga akan melepas P yang lebih besar. Demikian juga asam aromatik dapat melepas P lebih besar dibandingkan asam alifatik. Sedangkan kemudahan fosfat terlepas mengikuti urutan Ca3(PO4)2 > AlPO4 > FePO4. Kecepatan pelarutan P dari mineral P oleh asam organik ditentukan oleh: (1) kecepatan difusi asam organik dari larutan tanah, (2) waktu kontak antara asam organik dan permukaan mineral, (3) tingkat dissosiasi asam organik, (4) tipe dan letak gugus fungsi asam organik, (5) affinitas kimia agen pengkhelat terhadap logam dan (6) kadar asam organik dalam larutan tanah (Yuwono, 2006).


Mikrobia yang berperanan dalam pelarutan fosfat adalah bakteri, jamur dan aktinomisetes. Dari golongan bakteri antara lain: Bacillus firmus, B. subtilis, B. cereus, B. licheniformis, B. polymixa, B. megatherium, Arthrobacter, Pseudomonas, Achromobacter, Flavobacterium, Micrococus dan Mycobacterium. Dari golongan jamur antara lain: Aspergillus niger, A. candidus, Fusarium, Penicillum, Schlerotium & Phialotobus. Sedangkan dari golongan aktinomisetes adalah Streptomyces sp.. Menurut Alexander (1986) mikrobia dapat ditumbuhkan dalam media yang mengandung Ca3(PO4)2, FePO4, AlPO4, apatit, batuan P dan komponen P-anorganik lainnya sebagai sumber P. Sastro (2001) menunjukkan bahwa jamur Aspergilus niger dapat dipeletkan bersama dengan serbuk batuan fosfat dan bahan organik membentuk pupuk batuan fosfat yang telah mengandung jasad pelarut fosfat. Aspergillus niger tersebut dapat bertahan hidup setelah masa simpan 90 hari dalam bentuk pelet.

Terdapat lebih kurang 2000 jenis bakteri dan 50 jenis fungi yang terkait dengan proses perombakan selulosa pada pengomposan (Subba-Rao, 1994). Proses pembuatan kompos merupakan sistem kerjasama beberapa mikroba pemecah selulosa yang mempunyai ragam sifat fisiologis. Beberapa mikroba tersebut dapat dijumpai di alam, khususnya fungi jenis Aspergillus niger, Trichoderma viridae, Penicillium sp., dan Chaetomium sp. Kompos yang baik sebagai penyubur tanah dan dapat memperbaiki struktur tanah, harus mengandung 8 macam nutrisi, yaitu: karbon (C) sebesar 19,0-40,0%, nitrogen (N) sebesar 2,0-2,5%, fosfor (P) sebesar 0,01-0,14%, kalium (K) sebesar 0,039-1,35%, magnesium (Mg) sebesar 0,04-0,21% dan C/N ratio sebesar 9,0-20% (Gaur, 1986). Seperti dikemukakan oleh Sastraatmadja dkk. (2001), bahwa kompos sebagai salah satu pupuk alam akan merupakan bahan subtitusi yang penting terhadap pupuk kandang dan pupuk hijau.

Penelitian jasad renik pelarut fosfat banyak dilakukan di India, kanada, dan mesir, dengan tujuan untuk mealrutkan endapan-endapan Ca-fosfat (Sen dan Paul, 1957 ; Kundu dan Gaur, 1980 ; Subba Rao, 1977 ; 1982). Pemanfaatan jamur tanh yang lebih dominan pada pH rendah juga memperoleh perhatian peneliti tersebut. DAS (1963) melaporkan bahwa beberapa Aspergillus sp dan Pennicillium sp mampu melarutkan Al-P dan Fe-P. Jenis jamur yang lain adalah Sclerotium dan Fusarium (Alexander, 1978).

Penelitian dengan jamur sebagai mikroba pelarut fosfat telah banyak dilakukan, jenis jamur yang paling banyak diteliti adalah Aspergillus sp dan Pennicillium sp mampu melarutkan 26-40 % Ca3(PO4)2, sedangkan Aspergillus sp melarutkan 18 % (Chonkar dan Subba Rao, 1967). Asam sitrat yang dihasilkan oleh Aspergillus awamori berperanan dalam pealrutan Ca-P, Aspergillus fumigatus dan Aspergillus candidus yang diteliti oleh Banik (1982) menunjukkan kemampuan yang jauh melebihi fosfobakterin dalam melarutkan Ca3(PO4)2, AlPO4, dan FePO4, sedangkan Aspergillus niger yang diteliti oleh Anas et al (1993) dan Lestari (1994) sangat baik dalam meningkatkan P larutan dari media batuan fosfat, yakni lebih dari 10 kali lipat. Aspergillus ficum yang diteliti oleh Premono (1964)mampu meningkatkan ketersediaan P pada tanah sebesar 25 % dan mampu melarutkan bentuk-bentuk Ca-P dan Fe-P. Hasil penelitian Maningsih dan Anas (1996) menunjukkan jamur Aspergillus niger dapat meningkatkan kelarutan P dari AlPO4 sebesarn 135 % dan dapat meningkatkan P larut pada tanah ultisol sebesar 30,4 % dibandingkan kontrol. Indikasi tersebut menunjukkan bahwa kemampuan jamur yang mempunyai spektrum lebar dalam melarutkan beberapa bentuk senyawa P yang ada di dalam tanah. Lestari (1994), menguji Aspergillus niger menunjukkan bahwa mikroba tersebut sangat baik dalam memperbaiki penampilan pertumbuhan tanaman jagung sampai 8 minggu pertama.

Hutami et al., (1996) melakukan penelitian pendahuluan dilaksanakan pada bulan Januari 1995 sampai Juli 1995. Digunakan rancangan acak lengkap dengan tiga ulangan. Sebagai perlakuan adalah: (1) inokulasi Rhizobium japonicum, (2) inokulasi R. japonicum dan fungi pelarut fosfat Aspergillus niger, (3) inokulasi R. japonicum dan mikoriza Gigaspora margarita; (4) inokulasi R. japonicum, A. niger, dan G. margarita. Penelitian kedua dilakukan pada bulan September 1995 sampai dengan Januari 1996. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok dengan pola faktorial dan tiga ulangan. Sebagai perlakuan adalah: (1) pemupukan dengan bantuan fosfat (50 kg P2O5/ha dan 100 kg P2O5/ha); (2) fungi pelarut fosfat (tanpa fungi dan dengan A. niger strain NHJ2 1 ml per biji; (3) inokulasi mikoriza (tanpa mikoriza dan dengan Glomus manihotis 59 g per pot). Hasil penelitian menunjukkan bahwa inokulasi fungi pelarut fosfat dicampur dengan mikoriza meningkatkan pertumbuhan kedelai, aktivitas penambatan N, dan serapan N dan P berturut-turut 7,8 kali, 1,3 kali, 8 kali, dan 10 kali. Tidak ada perbedaan yang nyata antara perlakuan P 50 kg P205/ha dengan 100 kg P2O5/ha pada pertumbuhan kedelai, aktivitas fiksasi N, dan serapan N dan P. Sehingga penggunaan fungi pelarut P dan mikoriza dapat menghemat 50 persen pemupukan P.

Berdasarkan hasil penelitian Edson (2006), Aspergillus sp. merupakan fungi pelarut fosfat yang paling efektif dalam melarutkan fosfat. Populasi fungi pelarut fosfat terbesar diisolasi pada media tumbuh GAGES dan GES. Mikroorganisme pelarut fosfat mampu mengubah senyawa fosfat anorganik tidak larut menjadi bentuk terlarut yaitu Aspergillus awamori, Pennicillium digitatum, aspergillus niger, scwanniomycetes occidentalis, Aspergillus niger, Trichoderma viridae, Penicillium sp., dan Chaetomium sp.

Berdasarkan hasil penelitian Goenadi et al., (2000), uji in vitro lebih sensiftif daripada uji indek pelarutan fosfat. Namun uji ini memerlukan bahan dan biaya yang lebih mahal daripada uji indek pelarutan fosfat. Uji in vitro menggunakan medium Pikovskaya tanpa agar. Oleh karena itu uji ini dilakukan setelah uji indek pelarutan fosfat dengan isolat yang lebih sedikit. Satu ose isolat mikroba pelarut fosfat diinokulasikan ke dalam 50 ml medium Pikovskaya cair secara aseptis. Selanjutnya kultur diinkubasi selama waktu tertentu (15 hari untuk fungi), dikocok denggan kecepatan 80 rpm pada suhu kamar. Di akhir masa inkubasi kultur disentrifuse dengan kecepatan 72000 rpm selama 20 menit atau disaring dengan kertas saring Whatman No. 42. Kadar P terlarut diukur dengan metode spektofotometer. Parameter lain yang juga penting untuk diukur adalah pH dan bobot kering biomassa. Kemampuan melarutkan fosfat diukur berdasarkan peningkatan kadar P terlarut dibanding kontrol (Goenadi et al., 2000).

Penelitian yang dilakukan oleh menggunakan percobaan faktorial dengan tiga faktor yang disusun dengan Rancangan Acak Lengkap. Faktor pertama adalah inokulum fungi pelarut fosfat (Aspergillus niger) yaitu tanpa fungi pelarut fosfat (F0), fungi pelarut fosfat 1x109 spora/kg (F1) dan fungi pelarut fosfat 2x109 spora/kg (F2). Faktor kedua adalah macam sumber C yaitu tanpa sumber C (B1), Chromolaena odorata 50 g/kg (B2), Grilicidia sepium 50 g/kg (B3) dan jerami padi 50 g/kg (B4). Faktor ketiga adalah waktu inkubasi yaitu dua minggu pertama (W1), dua minggu kedua (W2) dan dua minggu ketiga (W3). Tiap kombinasi diulang tiga kali. Pengamatan dilakukan per dua minggu selama enam minggu inkubasi meliputi pH H2O, bahan organik, populasi fungi pelarut fosfat dan P tersedia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dosis inokulum fungi pelarut fosfat, sumber C dan waktu inkubasi berpengaruh sangat nyata terhadap peningkatan ketersediaan P. Sedangkan interaksi antara faktor yaitu inokulum fungi pelarut fosfat, sumber C dan waktu inkubasi berpengaruh sangat nyata terhadap P tersedia selama inkubasi enam minggu. Kombinasi perlakuan terbaik yang mampu meningkatkan ketersediaan P tertinggi adalah pada perlakuan fungi pelarut fosfat 2x109 spora/kg dan Chromolaena odorata pada dua minggu ketiga yaitu sebesar 41,78 ppm (Baratha, 2004).

Aplikasi Trichoderma harzianum dan Aspergillus sp pada tanaman dapat meningkatkan pertumbuhan/produktivitas tanaman terutama di tanah-tanah marginal. Terdapat beberapa koleksi fungi unggul. Salah satunya adalah Trichoderma harzianum DT 38. T. harzianum DT 38 ini memiliki beberapa keistimewaan, antara lain yang paling menarik adalah kemampuannya untuk merangsang pertumbuhan tanaman. Selain daripada itu T. harzianum DT 38 juga dapat digunakan untuk agen pendedali hayati penyakit yang disebabkan oleh Gonoderma. Isolat unggul lainya adalah Aspergillus sp yang merupakan fungi pelarut fosfat. Aspergillus sp ini sudah terbukti dapat melarutkan fosfat dari sumber-sumber yang sukar larut.

Pada awal-awal ujicoba kami menggunakan tanaman jagung. Tanah yang kami gunakan adalah tanah-tanah marginal (ultisol) yang kami ambil dari Cikopomayak, kab. Bogor. Tanah ini memiliki karakteristik antara lain: bersifat masam, kandungan bahan organik rendah, dan kapasitas tukar kationnya rendah. Tanah ini terkenal sangat miskin, tanaman apapun yang ditanam sulit tumbuh dan produktivitasnya pun sangat rendah. Meskipun sudah diberi pupuk yang cukup. Perlakuan antara lain: (1) kontrol tanpa pemupukan sama sekali, (2) pemupukan standar dengan pupuk kimia, (3) pemupukan dengan pupuk organik Posmanik (produk dari PG Subang), dan (4) pemupukan Posmanik + inokukum mikroba (T. harzianum DT 38 dan Aspergillus sp). Sebenarnya kami juga melakukan perlakuan kontrol untuk masing-masing mikroba.Perlakuan kontrol untuk menguji tanah yang digunakan. Dari pertumbuhannya sangat jelas bahwa tanah yang digunakan adalah tanah yang sangat sangat miskin. Tanaman jagung seperti hidup segan mati tak hendak. Tumbuhnya lebih mirip rumput daripada tanaman jagung.

Tanaman jagung yang diberi pupuk kimia standar terlihat tumbuh lebih baik daripada kontrol. Namun demikian, pertumbuhan tanaman ini sangat tidak optimal. Ini juga mengindikasikan bahwa tanah tersebut memang tanah yang sangat marginal, terutama kandungan bahan organiknya yang rendah. Meskipun dosis pupuk ditingkatkan saya duga pertumbuhan tanaman tetap tidak optimal.Perlakuan ketiga dengan menggunakan Posmanik memperlihatkan bahwa penambahan bahan organik dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman. Posmanik ini adalah salah satu pupuk organik yand dibuat dari limbah pabrik gula. Meskipun demikian pertumbuhannya juga belum optimal. Perlakuan keempat dengan menambahkan T. harzianum dan Aspergillus sp pada perlakuan A ternyata mampu meningkatkan pertumbuhan jagung. Tanaman tampak lebih tinggi dan lebih segar daripada perlakuan-perlakuan yang lain.


Bersambung ke bagian 5 yang dapat dilihat pada pustaka dibawah ini:


Pustaka:

Madjid, A. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Bahan Ajar Online. Fakultas Pertanian Unsri & Program Studi Ilmu Tanaman. Program Magister (S2). Program Pascasarjana. Universitas Sriwijaya. Http://dasar2ilmutanah.blogspot.com.