01.28

Pengelolaan Kesuburan Tanah Sulfat Masam (Bagian 3)

Pengelolaan Kesuburan Tanah Sulfat Masam*

Oleh: Masayu Rodiah** dan Abdul Madjid Rohim***

(Bagian 3 dari 5 Tulisan)

Keterangan:

* : Makalah Pengelolaan Kesuburan Tanah, Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pascasarjana, Universitas Sriwijaya. Palembang, Propinsi Sumatera Selatan, Indonesia.

** : Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pascasarjana, Universitas Sriwijaya. Palembang, Propinsi Sumatera Selatan, Indonesia.

*** : Dosen Mata Kuliah Pengelolaan Kesuburan Tanah, Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pascasarjana, Universitas Sriwijaya. Palembang, Propinsi Sumatera Selatan, Indonesia.


(Bagian 3 dari 5 Tulisan)


III. RINGKASAN HASIL-HASIL PENELITIAN TANAH SULFAT MASAM

Salah satu tipologi lahan yang dijumpai di lahan rawa pasang surut, adalah lahan sulfat masam. Dicirikan dengan terdapatnya lapisan sulfida (pirit-FeS2) yang kadarnya >2% di dalam tanah dengan kedalaman bervariasi, sifat kimia tanahnya kurang menguntungkan bagi usaha pertanian, diantaranya kemasaman tanah sangat tinggi (pH tanah <4,0),>Ada tiga komponen teknologi yang harus diterapakan secara bersama-sama, yakni penataan lahan, pengelolaan tanah dan air, dan penanaman tanaman varietas toleran (Simatupang, 2006).

Lahan sulfat masam di mana kandungan besinya cukup tinggi dan ditemukan pada lapisan tanah tidak terlalu dalam (<50>Pirit tidak berbahaya apabila tidak terekspos ke permukaan tanah dan tidak memgalami oksidasi, oleh karena itu pirit di dalam tanah di upayakan tetap stabil dengan cara penerapan teknologi olah lahan konservasi. Terjadinya oksidasi pirit akan memasamkan tanah sehingga pH tanah turun sampai di bawah 3,0 dan menghasilkan besi ferro (Fe 2+) yang bersifat racun bagi tanaman padi. Penyiapan lahan sistem olah tanah konservasi merupakan teknologi yang dapat mengendalikan dan mengkonservasi pirit yang terdapat pada lapisan tanah. Olah tanah konservasi merupakan salah satu teknologi yang dapat menjawab atau mengatasi masalah yang berpeluang muncul dalam pengembangan kawasan lahan eks-PLG di Kalteng sebagai lahan produksi pangan (Simatupang, 2006).

Olah tanah konservasi merupakan teknologi penyiapan lahan yang menganut kepada prinsip konservasi tanah dan air. Bertujuan untuk mengatasi dan mengendalikan terjadinya degradasi kesuburan tanah terutama pada lahan-lahan marginal seperti lahan rawa pasang surut sehingga produktivitas lahan dapat dipertahankan dan berkelanjutan (Simatupang, 2006).

Sistem olah tanah konservasi dapat diterapkan sebagai pengganti sistem olah tanah yang mengguanakan banyak tenaga kerja, dilain pihak tenaga kerja sulit diperoleh (langka) dan upahnya relatif mahal. Di kawasan lahan rawa pasang surut, tenaga kerja merupakan salah satu kendala dalam sistem usahatani sehingga untukk mengatasi masalah tersebut sistem penyiapan lahan tanpa olah tanah merupakan cara yang lebih tepat (Simatupang, 2006).

Sistem olah tanah konservasi di lahan sulfat masam sangat erat hubungnannya dengan terdapatnya lapisan sulfidik (pirit) di dalam tanah hendaknya dipertahankan tetap dalam keadaan stabil, tadak terekspos (terangkat ke permukaan tanah) sehingga pirit tidak mengalami oksidasi (Simatupang, 2006).

Teknologi olah tanah konservasi erat kaitannya dengan pengelolaan gulma, dilain pihak gulma tumbuh cepat dan subur di lahan pasang surut, oleh karenannya dalam penerapannya berkaitan dengan penggunaan herbisida sebagai komponen utama untuk untuk mengendalikan gulma sehingga lahan menjadi siap untuk ditanami. Herbisida digunakan bertujuan untuk lahan menjadi siap untuk ditanam dan sekaligus untuk mengendalikan pertumbuhan gulma di areal pertanaman sebagai lahan ditanami (Simatupang, 2006).

Tahapan kegiatan dalam penerapan sistem penyiapan tanpa olah tanah: vegetasi (gulma dan sisa tanaman sebelumnya) disemprot dengan herbisida (glyfostat, paraquat, dan sulfo sat). Selanjutnya, setelah gulma mati kemudian direbabkan menggunakan alat bantu (seperti drum, batang pisang atau kelapa, digilas dengan roda traktortanagn) sampai rata dengan permukaan tanah untuk memudahkan pelaksanaan tanam padi (Simatupang, 2006).

Berdasarkan penelitian berlokasi SP-I Palingkau di kawasan lahan eks-PLG, ternyata penerapan teknologi tanpa olah tanah menggunakan herbisida dapat meningkatkan hasil padi 30-47% dibanding hasil padi yang didapat dengan teknologi yang diterapkan oleh petani umumnya. R/C-ratio 1,24-1,28, meningkat pendapatan petani, mengurangi penggunaan tenaga kerja sampai 28% dan teknologi tanpa olah tanah mampu mengendalikan keracunan besi pada tanaman padi. Selain itu, teknologi TOT ini juga dapat mendukung sistem usahatani yang berkelanjutan (Simatupang, 2006).

Maka untuk memacu usaha peningkatan produksi dan untuk mengendalikan kegagalan usahatani padi karena timbulnya keracunan besi, penerapan teknologi tanpa olah tanah merupakan langkah yang strategis. Melalui penerapan teknologi ini revitalisasi pembangunan pertanian di kawasan lahan eks-PLG diharapkan memberikan hasil yang optimal, dan memberikan kontribusi yang besar dalam usaha peningkatan produksi dan penyediaan pangan nasional (Simatupang, 2006).

Sistem mekanisasi pada pengolahan tanah akan menyebabkan pengusikan tanah yang juga akan memperlancar difusi oksigen ke dalam tanah. Difusi oksigen akan memperbaiki aerasi tanah yang berdampak pada perubahan suasana tanah. Tata air yang berfungsi sebagai saluran pengatus tanpa keberadaan sistem pengatur muka air tanah dapat menyebabkan tanah rawa menjadi over drain sehingga status tanah yang semula reduktif berubah menjadi oksidatif. Proses perubahan suasana ini selalu menyebabkan pemasaman pada tanah, terlebih lagi bila dalam tanah tersebut terkandung bahan sulfidik. Untuk itu perlu dilakukanlah penelitian hubungan antara potensi kemasaman dengan laju pengeluaran asam pada berbagai ayunan kondisi air oleh Sutanto (2001), guna mengurangi kontak antara asam yang timbul dengan tanah, maka pembilasan perlu segera dilaksanakan. Pembilasan dapat dikerjakan dengan air biasa ataupun air yang mengandung ion.

Tujuan penelitian ini adalah: (a) mengetahui peran gambut dalam memperbaiki sifat fisik tanah, (b) melihat pengaruh air laut, kapur, atau pupuk kandang sebagai bahan amelioran pada tanah sulfat masam, (c) melihat pengaruh pengolahan tanah secara mekanisasi terhadap evolusi kejenuhan aluminium di tanah sulfat masam potensial pada sistem sawah dan palawija.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa:

(a) Tanah sulfat masam paling cocok digunakan untuk padi sawah, akan lestari bila kadar pirit awal <1%>

(b) Perbaikan sifat fisika tanah dapat dikerjakan dengan pemberian bahan gambut hingga takaran yang mampu mencegah tanah bersifat kohesif bila kering. Takaran gambut sampai 10% belum mampu melonggarkan tanah atau memperbaiki laju perembihannya,

(c) Air laut dapat berfungsi sebagai amelioran dengan jalan menukarkan sumber kemasaman dalam kompleks pertukaran dengan kation basa (Ca dan Mg serta K) yang ada dalam air laut tersebut. Pembilasan sisa air laut sangat dibutuhkan untuk menghindari plasmolisis akar tanaman,

(d) Pembilasan garam terlarutkan, hasil oksidasi pirit yang bersifat masam sangat diperlukan sebelum tanah sulfat masam diberi amelioran dan pupuk,

(e) Kejituan pemberian amelioran sangat ditentukan oleh tingkat reaktifitas tanah, tanah tidak reaktif lebih tanggap daripada tanah reaktif, bahan penukar atau penetral sangat efisien bila hanya untuk sumber kemasaman yang berada dalam kompleks pertukaran.


Tahana (status) hara pada tanah sulfat masam tergolong rendah bahkan sangat rendah. Gejala kahat hara N, P, K, dan terutama P dan B sering dialami tanaman budidaya (lahan kering) merana dan kerdil akibat kemasaman dan keracunan ion Al3+ dan Fe3+ yang tinggi. Pada kondisi tergenang tanaman (seperti padi) mengalami keracunan Fe2+, H2S, CO2, dan asam-asam organik.

Hasil-hasil pertanian di tanah sulfat masam menunjukkan pemberian pupuk berpengaruh positif terhadap hasil tanaman. Keragaan tanaman yang diberi pupuk lengkap (N, P, dan K) menunjukkan lebih baik. Pengaruh ppuk lebih sangkil apabila kombinasi dengan pemberian bahan amelioran seperti kapur, dolomit, batuan fosfat alam, atau sejenis lainnya.

Prinsip dasar pemberian kapur pada tanah sulfat masam adalah untuk menekan kemasaman tanah terutama akibat kelarutan Al3+ yang tinggi dan juga untuk kemepanan pemupukan. Pemberian kapur, dolomit, atau batuan fosfat alam banyak disarankan untuk menetralisir kondisi kemasaman dan keracunan oleh H+, Al3+, dan atau Fe3+. Pemberian dolomit atau kapur tidak mesti untuk mencapai pH 5,5, karena apabila ditujukan untuk menaikkan pH mencapai 5,5 diperlukan jumlah kapur yang besar sekali antara 15-20 ton kapur/ha. Berdasarkan kadar pirit, untuk menetralkan 1 % pirit yang apabila terdegradasi menghasilkan potensi kemasaman setara dengan 35 cmol (+)/kg, diperlukan sekitar 50 ton kapur/ha. Padahal kadar pirit tertinggi di tanah sulfat masam antara 5-7 % sehingga untuk menetralkannya diperlukan 200-400 ton kapur (Sutrisno, 1990; Maas, 2000). Hasil Simposium internasional tanah sulfat masam kedua di bangkok, Thailand (1982) merekomendasikan bahwa pemberian kapur cukup hanya beberapa ton saja untuk perbaiakn kondisi kemasaman dan tahanan hara tanah yang rendah.

Laporan-laporan penelitian tentang pengaruh kapur menunjukkan hasil beragam. Pemberian kapur pada lahan budidaya yang telah mantap pada Kebun Percobaan Unit Tatas, Kapuas sampai dengan 1,5 ton kapur/ha memberikan respon yang linier mengikuti persamaan :

Y = 1,336 + 1,862 X,

Dimana:

Y = hasil padi (dalam ton gabah/ha) dan

X = takaran kapur (dalam ton kapur/ha)

Rangkaian penelitian di alhan sulfat masam tipe luapan B, Unit Tatas, kalimantan tengah menunjukkan pemberian kapur 1,5 ton CaO/ha dapat meningkatkan hasil padi sebesar 30 % berturut-turut hasil pada MH 89/90, MK 90, MK 90/91 mencapai 3,14; 2,00 dan 3,28 ton GKG/ha). Penelitian lain di lahan sulfat masam tipe C, Barambai, kalimantan Selatan dengan pemberian kapur 2 ton CaCO3/ha dapat meningkatkan hasil padi sebesar 20 % (4,65 ton GKG/ha) yang apabila dipadukan dengan pelumpuran hasil padi meningkat 52 % (5,83 ton GKG/ha). Dalam rangkaian penelitian ini juga ditunjukkan bahwa pengaruh residu kapur dapat diperoleh sampai masa tanam ketiga.

Dengan kata lain, pemberian kapur tidak diperlukan setiap musim tanam (Noor, 1996; Noor dan Saragih, 1997). Penelitian di lahan sulfat masam, Vietnam menunjukkan pemberian kapur hingga sebesar 3 ton kapur/ha tidak berpengaruh terhadap pH tanah, Al dapat ditukar, serapan N, P dan Ca pada tanam ke 1, tetapi sebaliknya pada tanam ke 2 terjadi peningkatan pH, penurunan Al, peningkatan serapan serapan N, P, dan Ca dan penurunan serapan Fe. Pengaruh pemberian kapur hingga takaran 3 ton/ha berhasil meningkatkan hasil padi sampai tanam ke empat, tetapi pada takaran 6-10 ton/ha hanya dapat meningkatkan hasil sampai pada tanam kedua selanjutnya menurun untuk tanam ketiga dan keempat. Tambahan kapur susulan/ulangan sampai takaran 10 ton/ha setiap musim tanam secara terus-menerus berhasil meningkatkan hasil padi hingga mencapai 4,8 ton gabah/ha. Pemberian kapur susulan/ulangan lebih sangkil dibandingkan secara tunggal dalam jumlah kapur yang sama, tetapi perbedaan hasil sangat kecil.

Banyak laporan yang menyatakan munculnya gejala kahat P pada tanaman yang dibudidayakan di lahan sulfat masam. Hal ini sebagaimana dikemukakan diatas, terkait dengan sifat kimia tanah sulfat masam yang tinggi dalam menyemat (fixation) P, terutama oleh Al3+, Fe3+. Hasil penelitian di lahan sulfat masam pada sistem reklamasi garpu Unit Tatas, Kalimantan Tengah menunjukkan tanggapan P muncul secara jelas pada pemberian bersaam dengan kapur, teapi pada takaran >2 ton kapur/ha pengaruh pemberian P tidak muncul secara jelas. Pemberian 90 kg P2O5/ha yang dikombinasikan dengan 1,50 ton kapur/ha dapat meningkatkan hasil padi sebesar 90 % (2,38 ton GKG/ha) dibandingkan dengan kontrol (1,22 ton GKG/ha). Pemberian P saja hanya meningkatkan hasil padi sebesar 25 % (1,50 ton GKG/ha) dan kapur saja hanya meningkatkan hasil padi sebesar 60 % (2,06 ton KG/ha). Hasil penelitia menunjukkan juga bahwa pengaruh residu P masih tampak sampai dengan tanam ketiga (Noor, 1996). Hasil penelitian di lahan sulfat masam pada sistem jaringan tat air Samuda Kedah, Semenanjung Malaysia menunjukkan pemberian fosfat alam setara 100 kg P2O5/ha yang dikombinasikan dengan kapur 2 ton/ha dapat meningkatkan hasil padi sebesar 15 % (4,09 GKG/ha) dan tanpa kapur meningkatkan hasil padi hanya sebesar 5 % (3,76 ton GKG/ha) (Arulando dan Pheng, 1982).

Pemberian P dalam bentuk fosfat alam menunjukkan lebih unggul dibandingkan dengan bentuk superfosfat (TSP atau SP-36). Pupuk fosfat alam adalah bahan galian yang sebagian besar mengandung kalsium fosfat yang disebut apatit (Ca10(PO4)6F2) berbentuk serbuk (prill) yang dapat digunakan langsung. Selain kandungan unsur ikutan yang tinggi seperti Ca, Mg, dan sebagainya, fosfat alam bersifat pelepas P lambat (slow release) sehingga cocok untuk tanah-tanah masam. Pengaruh fosfat alam selain tergantung pada mutu dan kadar P-nya, juga sifat reaksi yang ditimbulkannya. Berdasarkan kuat lemahnya reaksi, fosfat alam dapat dipilah antara yang bereaksi lemah (soft), sedang dan kuat (strong). Dalam simposium internasional tanah sulfat masam di Bangkok, Thailand (1982) banyak dikemukakan tentang pengaruh pemberian fosfat alam terhadap perubahan kimia dan hasil padi di lahan sulfat masam.


Bersambung ke bagian 4 yang dapat dilihat pada pustaka dibawah ini:


Pustaka:

Madjid, A. R. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Bahan Ajar Online untuk mata kuliah: (1) Dasar-Dasar Ilmu Tanah, (2) Kesuburan Tanah, dan (3) Pengelolaan Kesuburan Tanah Lanjut. Fakultas Pertanian Unsri & Program Pascasarjana Unsri. http://dasar2ilmutanah.blogspot.com/.