22.16

BAKTERI PELARUT FOSFAT SEBAGAI AGENTS PUPUK HAYATI (Bagian 2)

Bakteri Pelarut Fosfat sebagai Agents Pupuk Hayati*
Oleh: Nursanti** dan Madjid***
(Bagian 2 dari 5 Tulisan)

Keterangan:
* Makalah Mata Kuliah Teknologi Pupuk Hayati pada Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Bukit Besar, Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia.
** Program Studi Ilmu Tanaman, Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Bukit Besar, Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia.
*** Dosen Pengasuh Mata Kuliah Teknologi Pupuk Hayati, Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Bukit Besar, Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia.

(Bagian 2 dari 5 Tulisan)


II. PEMANFAATAN BAKTERI PELARUT FOSFAT

2.1. Bakteri Pelarut Fosfat dan Ketersediaan P

Reaksi yang terjadi selama proses pelarutan P dari bentuk tak tersedia adalah reaksi khelasi antara ion logam dalam mineral tanah dengan asam-asam organik. Khelasi adalah reaksi keseimbangan antara ion logam dengan agen pengikat, yang dicirikan dengan terbentuknya lebih dari satu ikatan antara logam tersebut dengan molekul agen pengikat, yang menyebabkan terbentuknya struktur cincin yang mengelilingi logam tersebut. Mekanisme pengikatan Al+++ dan Fe++ oleh gugus fungsi dari komponen organik adalah karena adanya satu gugus karboksil dan satu gugus fenolik, atau dua gugus karboksil yang berdekatan bereaksi dengan ion logam.Besarnya P yang terlarut memiliki korelasi dengan Ca dan Mg yang dilepaskan, hal ini membuktikan bahwa P tersebut semula terikat oleh Ca dan Mg. Pelarutan P dalam tanah dapat ditingkatkan pada suasana pH rendah .

Fospor relatif tidak mudah tercuci, tetapi karena pengaruh lingkungan maka statusnya dapat berubah dari P yang tersedia bagi tanaman menjadi tidak tersedia, yaitu dalam bentuk Ca-P, Mg-P, Al-P, Fe-P atau occluded-P.

Menurut Buntan (1992) dalam aktivitasnya bakteri pelarut P akan menghasilkan asam-asam organik diantaranya asam sitrat, glutamat, suksinat, laktat, oksalat, glioksalat, malat, fumarat, tartarat dan alfa ketobutirat. Meningkatnya asam-asam organik tersebut biasanya diikuti dengan penurunan pH, sehingga mengakibatkan pelarutan P yang terikat oleh Ca.Penurunan pH juga disebabkan terbebasnya asam sitrat dan nitrat pada oksidasi kemoautotropik sulfur dan amonium berturut-turut oleh bakteri Thiobacillus dan Nitrosomonas. Reaksi pelarutan atau pelepasan P oleh penurunan pH dan terdapatnya gugus karboksilat secara sederhana dapat digambarkan sebagai berikut :
Ca10(PO4)6(OH)2 + 14H+ --> 10 Ca2+ + 6H2O + 6H2PO4-

OH OH
M- OH + R-COO- ---> M OH + H2PO4-
H2PO4 - OC-R

M = Al3+ atau Fe3+

Reaksi pengikatan P sebagai berikut :
Al + H2PO4 + 2 H2O --> Al(OH)2H2PO4 + 2 H+
Al(OH)3 + H2PO4 --> AL(OH)2H2PO4 + OH-
Ca(H2PO4) + CaCO3 --> Ca3(PO4)2 + 2CO2 +2H2O

Asam organik yang dihasilkan bakteri pelarut posfat mampu meningkatkan ketersediaan P di dalam tanah melalui beberapa mekanisme, diantara adalah : (a) anion organik bersaing dengan orthofosfat pada permukaan tapak jerapan koloid yang bermuatan positif ; (b) pelepasan orthofosfat dari ikatan logam P melalui pembentukan komplek logam organik ; (c) modifikasi muatan tapak jerapan oleh ligan organik (Elfianti,2005)

Asam sitrat dan oksalat digolongkan sangat efektif dalam menurunkan retensi P dari kaolinit dan gipsit, sedangkan asam malonat, tartarat dan malat berefektivitas sedang, asam asetat dan suksinat digolongkan kurang efektif. Pada tanah vulkanik yang kaya alovan asam-asam organik (benzoat, salisilat dan ptalat) tidak mampu menurunkan retensi P. Havlin et al dalam Elfianti(2005) menjelaskan juga bahwa tanpa anion organik maka Fe menjerap P dalam jumlah yang sangat banyak. Asam sitrat menjerap Fe jauh lebih banyak dibanding tartarat, demikian pula dalam hal mengurangi P terjerap. Tetapi jumlah Al yang diikat kedua asam tersebut tidak berbeda. Asam asetat tidak efektif dalam menurunkan retensi, karena asetat kurang kuat dalam membentuk komplek dengan Al maupun Fe.

Disamping meningkatkan P tersedia, beberapa asam organik berbobot molekul rendah ini juga dapat mengurangi daya racun Al yang dapat dipertukarkan (Al-dd). Kemampuan detoksifikasi asam organik terhadap Al-dd dalam tiga kelompok yaitu kuat (sitrat, oksalat, tartarat); sedang (malat, malonat, salisilat); dan lemah (suksinat,laktat, asetat dan ptalat). Hasil penelitian Pramono et al.(1992) menunjukkan bahwa bakteri pelarut posfat secara nyata mampu mengurangi Fe, Mn dan Cu yang terserap oleh tanaman jagung yang ditanam pada tanah masam, sehingga berada pada tingkat kandungan yang normal.

Terdapatnya asam-asam organik sitrat, oksalat, malat, tartarat dan malonat di dalam tanah sangat penting artinya dalam mengurangi pengikatan P oleh unsur-unsur penjerapnya dan mengurangi daya racun aluminium pada tanah masam.

Asam-asam organik yang mempunyai berat molekul rendah meliputi: asam alifatik sederhana, asam amino dan asam fenolik. Asam alifatik terdapat pada tanaman yang banyak mengandung selulosa, asam amino dihasilkan dari tanaman yang banyak mengandung N (misalnya legum), sedang asam fenolik dihasilkan dari tanaman golongan herba (berbatang basah seperti bayam). Asam-asam organik tersebut antara lain: laktat, glikolat, suksinat, alfa ketoglutarat, asetat, sitrat, malat, glukonat, oksalat, butirat dan malonat akan terbentuk selama proses perombakan bahan organik oleh mikrobia, merupakan bentuk antara (transisi). Meskipun jumlahnya sangat kecil yaitu sekitar 10 mM, namun karena terus menerus terbentuk maka peranannya menjadi penting. Sebagian besar asam tersebut merupakan asam lemah. Konsentrasi yang agak besar dapat ditemukan pada mintakat (zone) tempat aktivitas mikrobia tinggi seperti rhizosphere atau pada longgokan seresah tanaman yang sedang mengalami proses perombakan. Lokasi keberadaan bakteri di daerah perakaran. Jumlah bakteri yang terdapat di daerah perakaran dan tanah pada Tabel 1, dan jumlah mikrobia yang terbanyak di daerah perakaran adalah bakteri pada Tabel 2 (Vega, 2007).

Tabel 1. Jumlah Bakteri CFU x 106 g-1 tanah
-----------------------------------------------------------------
Plant Species Rhizoplane Rhizosphere Bulk Soil R/S Ratio
-----------------------------------------------------------------
Red Clover 3844 3255 134 24
Oats 3588 1090 184 6
Flax 2450 1015 184 5
Wheat 4119 710 120 6
Maize 4500 614 184 3
Barley 3216 505 140 3
-----------------------------------------------------------------
Sumber: Rouat dan Katznelson, 1961.


Tabel 2 Jumlah Mikrobia di Daerah Perakaran
----------------------------------------------------------
Microorganisms Rhizosphere Soil Bulk Soil R/S Ratio
----------------------------------------------------------
Bacteria 1,2 x 10^9 5,3 x 10^7 23
Actinomycetes 4,6 x 10^7 7,0 x 10^6 7
Fungi 1,2 x 10^6 1,0 x 10^5 12
Protozoa 2,4 x 10^3 1,0 x 10^3 2
Algae 5,0 x 10^3 2,7 x 10^4 0,2
Ammonifiers 5,0 x 10^8 4,0 x 10^5 125
Denitrifiers 1,26 x 10^8 1,0 x 10^5 1260
----------------------------------------------------------
Sumber: Hasil modifikasi dari Gray dan Williams, 1971.

Urutan kemampuan asam organik dalam melarutkan fosfat adalah: asam sitrat > asam oksalat = asam tartrat= asam malat > asam laktat = asam format = asam asetat. Asam organik yang membentuk komplek yang lebih mantap dengan kation logam akan lebih efektif dalam melepas Ca, Al dan Fe mineral tanah sehingga akan melepas P yang lebih besar. Demikian juga asam aromatik dapat melepas P lebih besar dibandingkan asam alifatik.

Menurut Yuwono (2006) bahwa kecepatan pelarutan P dari mineral P oleh asam organik ditentukan:
(1) kecepatan difusi asam organik dari larutan tanah,
(2) waktu kontak antara asam organik dan permukaan mineral,
(3) tingkat dissosiasi asam organik,
(4) tipe dan letak gugus fungsi asam organik,
(5) affinitas kimia agen pengkhelat terhadap logam dan
(6) kadar asam organik dalam larutan tanah.

Menurut Alexander (1986) mikrobia dapat ditumbuhkan dalam media yang mengandung Ca3(PO4)2, FePO4, AlPO4, apatit, batuan P dan komponen P-anorganik lainnya sebagai sumber P. Sastro (2001) menunjukkan bahwa jamur Aspergilus niger dapat dipeletkan bersama dengan serbuk batuan fosfat dan bahan organik membentuk pupuk batuan fosfat yang telah mengandung jasad pelarut fosfat. Aspergillus niger tersebut dapat bertahan hidup setelah masa simpan 90 hari dalam bentuk pelet.

Elfianti (2005) menggunakan fosfobakteri galur fosfo 24, Bacillus substilis, Bacterium mycoides dan Bacterium mesenterricus untuk melarutkan P organik (glisero fosfat, lesitin, tepung tulang) dan P anorganik (Ca-p, Fe-P) yang dilakukan secara in vitro. Hasilnya menunjukkan bahwa bakteri tersebut mampu melarutkan FePO4, Ca3(PO4)2, gliserofosfat, lesitin dan tepung tulang berturut-turut sebayak 4,5 , 6, 8, 13 dan 14%. Banin (1982) memanfaatkan Bacillus sp dan dua galur Bacillus firmus, yang menunjukkan bahwa ketiga bakteri tersebut masing-masing hanya mampu melarutkan berturut-turut 0,3, 0,9 dan 0,3% dari senyawa Ca3(PO4)2 yang diberikan dan tidak mampu melarutkan ALPO4 dan FePO4.

Supadi (1962) mengidentifikasikan beberapa bakteri pelarut P dari lapisan perakaran tanaman jagung, mikrobia tersebut adalah Bacillus megaterium, Bacillus sp, Escherechia freundii dan Escherechia intermedia. Bakteri tersebut dapat meningkatkan P tersedia sebanyak 0,8 – 3,7 ppm pada tanah sterl dan 0,1 – 3,6 ppm pada tanah steril.

Premono et al (1991) yang menggunakan Pseudomonas putida, Citrobacter intermedium dan Serratia mesenteroides, mendapatkan bahwa bakteri tersebut mampu meningkatkan P larut yang ada dalam medium ALPO4 dan batuan fospat sebanyak 6-19 kali lipat, tetapi tidak mampu melarutkan FePO4 . Selanjutnya Premono (1994) menunjukkan bahwa Pseudomonas fluorescens dan P. Puptida mampu meningkatkan P terekstrak pada tanah masam sampai 50%, sedangkan pada tanah bereaksi basa P . puptida mampu meningkatkan P yang terekstrak sebesar 10%. Penelitian Buntan (1992) memperlihatkan bahwa bakteri pelarut P (Pseudomonas puptida dan Enterobacter gergoviae) mampu meningkatkan kelarutan P pada tanah ultisol. Hasil penelitian Setiawati (1998) menunjukkan bahwa Pseudomonas fluorescens yang digunakan mampu meningkatkan kelarutan P dari fospat alam dari 16,4 ppm menjadi 59,9 ppm, meningkatkan kelarutan P dari ALPO4 dari 28,5 ppm menjadi 30,6 ppm dan meningkatkan P tersedia tanah dari 17,7 ppm menjadi 34,8 ppm.

Ada beberapa metode uji untuk memilih mikroba pelarut fosfat sebagai bahan aktif biofertilizer. Uji pertama yang sering dilakukan adalah mengukur indek pelarutan fosfat dan kemudian dilanjutkan dengan uji invitro. Bagian Pertama ini akan mejelaskan tentang indek pelarutan fosfat.

Indek pelarutan fosfat ini berdasarkan pada metode yang dijelaskan oleh Premono, Moawad, dan Vlek (1996). Secara aseptis 1 ose (untuk bakteri) atau satu cuplikan kecil dengan diameter 8 mm untuk fungi diinokulasikan ke atas media Pikovskaya. Setiap perlakuan dilakukan dengan beberapa ulangan, minimal duplo. Isolat diinkubasi selama beberapa hari. Indeks pelarutan fosfat adalah perbandingan antara diameter zona jernih dibagi dengan diameter koloni.

Indek pelarutan fosfat sesuai digunakan untuk screening awal mikroba pelarut fosfat. Metode ini mudah dan murah untuk dilakukan. Tetapi jika tidak hati-hati metode ini bisa menimbulkan bias. Variasi indek pelarutan fosfat dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain:
(1) Konsentrasi fosfat. AlPO4 tidak larut dalam air; untuk menuang medium ini ke dalam cawan petri perlu digoyang-goyang terlebih dahulu. Ada kemungkinan bahwa konsentrasi AlPO4 tidak seragam, sehingga zona jernihnya juga terpengaruh
(2) Ketebalan agar. Ketebalan agar di dalam cawan juga akan mempengaruhi zona jernih. AlPO4 di agar yang lebih tebal tentunya lebih sulit untuk dilarutkan daripada di agar yang tipis.
(3) Kecepatan pertumbuhan mikroba. Ada mikroba yang tumbuh dengan cepat dan ada mikroba yang tumbuh lambat. Misalnya, Penicillium sp umumnya memiliki diamater koloni yang lebih kecil daripada Aspergillus sp. Indek Penicillium sp lebih besar dari Aspergillus sp, tetapi kemampuannya melarutkan fosfat in vitro Penicillium sp lebih kecil daripada Aspergillus sp.
(4) Sesuai untuk membadingkan satu kelompok mikroba. Indek pelarutan fosfat kurang sesuai untuk membandingkan antar kelompok mikroba, misalnya: fungi, bakteri, dan aktinomicetes.

Data-data indek pelarutan fosfat umumnya di analisis dengan metode statistik. Statistik tidak bisa memisahkan variabel-variabel ini. Beberapa hal di atas akan sangat mempengaruhi hasil analisa statistik oleh karena itu harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh agar tidak salah dalam mengambil kesimpulan.


2.2. Bakteri Pelarut Fosfat dan Tanaman

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terbukti bahwa perlakuan pemberian bakteri pelarut fosfat (BPF) sebagai pupuk hayati peningkat ketersediann P dalam tanah mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman jagung pada tanah masam, yang tampak pada parameter tinggi tanaman 10 dan 45 HST, berat basah trubus, berat kering trubus, berat basah akar, berat kering akar, luas daun serta kadar P trubus.

Pada tanaman jagung, Citrobacter intermedium dan Pseudomonas putida (Premono et al, 1991) mampu meningkatkan serapan P dan bobot kering tanaman sampai 30%. Pada percobaan yang lain P. Putida mampu meningkatkan bobot kering tanaman jagung sampai 20% dan mikrobia ini stabil sampai lebih dari 14 bulan pada media pembawa zeolit, tanpa kehilangan kemampuan genetisnya dalam melarutkan batuan posfat. Inokulasi dengan Enterobacter gergoviae pada tanaman jagung dapt meningkatkan bobot kering tanaman jagung sebesar 29%. Sedangkan Lestari (1994) menguji Aspergillus niger menunjukkan bahwa mikrobia tersebut sangat baik dalam memperbaiki penampilan pertumbuhan tanaman jagung sampai 8 minggu pertama.

Berdasarkan hasil penelitian Hasanuddin (2002) menunjukkan bahwa perlakuan inokulasi Bakteri pelarut posfat 15 ml per inokulum tanaman dapat meningkatkan ketersediaan P 62,21% dan meningkatkan berat kering tanaman Kedelai.

Pada Tanaman Tebu penggunaan bakteri pelarut P (Pseudomonas puptida dan Pseudomonas fluorescens) dapat meningkatkan bobot kering tanaman sampai 40% dan meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk TSP sebesar 60-135% (Elfiati,2005).

Beberapa peneliti mengemukakan bahwa efektifnya bakteri pelarut P tidak hanya disebabkan oleh kemampuannya dalam meningkatkan ketersediaan P tetapi juga disebabkan karena kemampuannya dalam menghasilkan ZPT, terutama pada Bakteri yang hidup di permukaan akar seperti Pseudomonas fluorescens, P putida dan P. Striata. Bakteri tersebut dapat menghasilkan zat pengatur tumbuh seperti asam indol asetat (IAA) dan asam giberelin (GA3).

Beberapa bakteri pelarut posfat juga dapat berperan sebagai biokontrol yang dapat meningkatkan kesehatan akar dan pertumbuhan tanaman melalui proteksinya terhadap penyakit. Strain tertentu dari Pseudomonas sp dapat mencegah tanaman dari patogen fungi yang berasal dari tanah. Pseudomonas fluorescens dapat mengontrol perkembangan penyakit dumping-off tanaman. Kemampuan bakteri ini terutama karena menghasilkan 2,4-diacethylphloroglucinol yang dapat menghalangi pertumbuhan cendawan dumping-off Phytium ultium (Hadiyanto,2007).


Bersambung ke bagian 3 yang dapat dilihat pada pustaka dibawah:

Pustaka:

Madjid, A. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Bahan Ajar Online. Fakultas Pertanian Unsri & Prodi Ilmu Tanaman, Program S2. Program Pascasarjana, Universitas Sriwijaya. Propinsi Sumatera Selatan. Indonesia. http://dasar2ilmutanah.blogspot.com.

0 comments: