03.32

Kadar Hara Mikro Tanaman

Kadar Beberapa Hara Mikro Pada Berbagai Tanaman

Kadar hara mikro (g/ha) pada berbagai tanaman berbeda-beda dan sangat tergantung dengan jenis tanaman dan bagian tanaman yang dianalisis. Kadar hara mikro pada bagian jerami tanaman berbeda dengan kadar hara mikro pada bagian biji, gabah, polong, buah, siung, umbi, dan daun. Beberapa hasil analisis kadar hara mikro pada beberapa tanaman meliputi: (a) tanaman pangan, (b) tanaman buah-buahan, (c) tanaman sayur-sayuran, dan (d0 tanaman industri, disajikan sebagai berikut:

A. Tanaman Pangan
Beberapa hasil analisis kadar hara mikro tanaman pangan meliputi: (1) tanaman padi, (b) tanaman jagung, (3) tanaman kedelai, dan (4) tanaman kacang tanah, disajikan sebagai berikut:

(1) Kadar Hara Mikro pada Tanaman Padi:
Kadar hara mikro Tembaga (Cu), Kobalt (Co), Mangan (Mn), dan Seng (Zn) serta Hasil tanaman padi pada Gabah dan Jerami, disajikan sebagai berikut:

(1.1). Kadar Hara Mikro pada Gabah Padi:
(a) Hasil Gabah: 2,85 ton/ha
(b) Kadar hara mikro Tembaga (Cu) : 11 g/ha dan 3,86 g/ton
(c) Kadar hara mikro Kobalt (Co) : 11 g/ha
(d) Kadar hara mikro Mangan (Mn) : 90 g/ha
(e) Kadar hara mikro Seng (Zn) : 78 g/ha

(1.2). Kadar Hara Mikro pada Jerami Padi:
(a) Hasil Gabah : 2,80 ton/ha
(b) Kadar hara mikro Tembaga (Cu) : --- g/ha dan ----- g/ton
(c) Kadar hara mikro Kobalt (Co) : --- g/ha
(d) Kadar hara mikro Mangan (Mn) : 1.771 g/ha
(e) Kadar hara mikro Seng (Zn) : --- g/ha


(2) Kadar Hara Mikro pada Tanaman Jagung:
Kadar hara mikro Tembaga (Cu), Kobalt (Co), Mangan (Mn), dan Seng (Zn) serta Hasil tanaman Jagung dalam bentuk biji pipilan kering dan Jerami, disajikan sebagai berikut:

(2.1) Kadar Hara Mikro pada Biji Jagung:
(a) Hasil Biji Pipilan Kering Jagung: 5,34 ton/ha
(b) Kadar hara mikro Tembaga (Cu) : 67 g/ha dan 12,55 g/ton
(c) Kadar hara mikro Kobalt (Co) : 67 g/ha
(d) Kadar hara mikro Mangan (Mn) : 101 g/ha
(e) Kadar hara mikro Seng (Zn) : 168 g/ha

(2.2) Kadar Hara Mikro pada Jerami Tanaman Jagung:
(a) Hasil Biji Pipilan Kering Jagung : 5,00 ton/ha
(b) Kadar hara mikro Tembaga (Cu) : 56 g/ha dan 11,20 g/ton
(c) Kadar hara mikro Kobalt (Co) : 56 g/ha
(d) Kadar hara mikro Mangan (Mn) : 1.681 g/ha
(e) Kadar hara mikro Seng (Zn) : 336 g/ha


(3) Kadar Hara Mikro pada Tanaman Kedelai:
Kadar hara mikro Tembaga (Cu), Kobalt (Co), Mangan (Mn), dan Seng (Zn) serta Hasil tanaman Kedelai dalam bentuk biji dan Jerami, disajikan sebagai berikut:

(3.1) Kadar Hara Mikro pada Biji Kedelai:
(a) Hasil Biji Kedelai : 1,22 ton/ha
(b) Kadar hara mikro Tembaga (Cu) : 45 g/ha dan 36,88 g/ton
(c) Kadar hara mikro Kobalt (Co) : 45 g/ha
(d) Kadar hara mikro Mangan (Mn) : 56 g/ha
(e) Kadar hara mikro Seng (Zn) : 45 g/ha

(3.2) Kadar Hara Mikro pada Jerami Tanaman Kedelai:
(a) Hasil Jerami Tanaman Kedelai : 2,24 ton/ha
(b) Kadar hara mikro Tembaga (Cu) : --- g/ha dan 20,09 g/ton
(c) Kadar hara mikro Kobalt (Co) : 45 g/ha
(d) Kadar hara mikro Mangan (Mn) : 516 g/ha
(e) Kadar hara mikro Seng (Zn) : 168 g/ha


(4) Kadar Hara Mikro pada Tanaman Kacang Tanah:
Kadar hara mikro Tembaga (Cu), Kobalt (Co), Mangan (Mn), dan Seng (Zn) serta Hasil tanaman Kacang Tanah berupa polong dan Jerami, disajikan sebagai berikut:

(4.1) Kadar Hara Mikro pada Polong Kacang Tanah:
(a) Hasil Polong Kacang Tanah : 1,25 ton/ha
(b) Kadar hara mikro Tembaga (Cu) : 22 g/ha dan 17,60 g/ton
(c) Kadar hara mikro Kobalt (Co) : 22 g/ha
(d) Kadar hara mikro Mangan (Mn) : 11 g/ha
(e) Kadar hara mikro Seng (Zn) : --- g/ha

(4.2) Kadar Hara Mikro pada Jerami Tanaman Kacang Tanah:
(a) Hasil Jerami Tanaman Kacang Tanah : 2,50 ton/ha
(b) Kadar hara mikro Tembaga (Cu) : --- g/ha dan --- g/ton
(c) Kadar hara mikro Kobalt (Co) : --- g/ha
(d) Kadar hara mikro Mangan (Mn) : 258 g/ha
(e) Kadar hara mikro Seng (Zn) : --- g/ha


B. Tanaman Buah-Buahan
Beberapa hasil analisis kadar hara mikro tanaman buah-buahan meliputi: (1) tanaman apel, dan (2) tanaman jeruk, disajikan sebagai berikut:

(1) Kadar Hara Mikro pada Tanaman Apel:
Kadar hara mikro Tembaga (Cu), Kobalt (Co), Mangan (Mn), dan Seng (Zn) serta Hasil tanaman apel berupa buah apel, disajikan sebagai berikut:

(1.1) Kadar Hara Mikro pada Buah Apel:
(a) Hasil Buah Apel : 5,08 ton/ha
(b) Kadar hara mikro Tembaga (Cu) : 34 g/ha dan 6,69 g/ton
(c) Kadar hara mikro Kobalt (Co) : 34 g/ha
(d) Kadar hara mikro Mangan (Mn) : 34 g/ha
(e) Kadar hara mikro Seng (Zn) : 34 g/ha


(2) Kadar Hara Mikro pada Tanaman Jeruk:
Kadar hara mikro Tembaga (Cu), Kobalt (Co), Mangan (Mn), dan Seng (Zn) serta Hasil tanaman jeruk berupa buah jeruk, disajikan sebagai berikut:

(2.1) Kadar Hara Mikro pada Buah Jeruk:
(a) Hasil Buah Jeruk : 70,40 ton/ha
(b) Kadar hara mikro Tembaga (Cu) : 220 g/ha dan 3,125 g/ton
(c) Kadar hara mikro Kobalt (Co) : 220 g/ha
(d) Kadar hara mikro Mangan (Mn) : 67 g/ha
(e) Kadar hara mikro Seng (Zn) : 269 g/ha


C. Tanaman Sayur-Sayuran
Beberapa hasil analisis kadar hara mikro tanaman sayur-sayuran meliputi: (1) tanaman bayam, (2) tanaman tomat, (3) tanaman buncis, (4) tanaman kol, (5) bawang putih, (6) tanaman kentang, dan (7) tanaman kentang manis, disajikan sebagai berikut:

(1) Kadar Hara Mikro pada Tanaman Bayam:
Kadar hara mikro Tembaga (Cu), Kobalt (Co), Mangan (Mn), dan Seng (Zn) serta Hasil tanaman bayam berupa bayam utuh, disajikan sebagai berikut:

(1.1) Kadar Hara Mikro pada Bayam:
(a) Hasil Bayam Utuh : 5,60 ton/ha
(b) Kadar hara mikro Tembaga (Cu) : 22 g/ha dan 3,93 g/ton
(c) Kadar hara mikro Kobalt (Co) : 22 g/ha
(d) Kadar hara mikro Mangan (Mn) : 112 g/ha
(e) Kadar hara mikro Seng (Zn) : 112 g/ha


(2) Kadar Hara Mikro pada Tanaman Tomat:
Kadar hara mikro Tembaga (Cu), Kobalt (Co), Mangan (Mn), dan Seng (Zn) serta Hasil tanaman tomat berupa buah tomat, disajikan sebagai berikut:

(2.1) Kadar Hara Mikro pada Buah Tomat:
(a) Hasil Buah Tomat : 22,40 ton/ha
(b) Kadar hara mikro Tembaga (Cu) : 78 g/ha dan 3,48 g/ton
(c) Kadar hara mikro Kobalt (Co) : 78 g/ha
(d) Kadar hara mikro Mangan (Mn) : 146 g/ha
(e) Kadar hara mikro Seng (Zn) : 179 g/ha

(3) Kadar Hara Mikro pada Tanaman Buncis:
Kadar hara mikro Tembaga (Cu), Kobalt (Co), Mangan (Mn), dan Seng (Zn) serta Hasil tanaman buncis berupa biji buncis, disajikan sebagai berikut:

(3.1) Kadar Hara Mikro pada Biji Buncis:
(a) Hasil Biji Buncis : 0,91 ton/ha
(b) Kadar hara mikro Tembaga (Cu) : 22 g/ha dan 24,18 g/ton
(c) Kadar hara mikro Kobalt (Co) : 22 g/ha
(d) Kadar hara mikro Mangan (Mn) : 34 g/ha
(e) Kadar hara mikro Seng (Zn) : 67 g/ha


(4) Kadar Hara Mikro pada Tanaman Kol:
Kadar hara mikro Tembaga (Cu), Kobalt (Co), Mangan (Mn), dan Seng (Zn) serta Hasil tanaman kol berupa bagian atas tanaman (kecuali akar) atau shoot, disajikan sebagai berikut:

(4.1) Kadar Hara Mikro pada Bagian Atas Tanaman Kol (Shoot):
(a) Hasil Bagian Atas Tanaman Kol : 22,40 ton/ha
(b) Kadar hara mikro Tembaga (Cu) : 47 g/ha dan 24,18 g/ton
(c) Kadar hara mikro Kobalt (Co) : 47 g/ha
(d) Kadar hara mikro Mangan (Mn) : 112 g/ha
(e) Kadar hara mikro Seng (Zn) : 93 g/ha

(5) Kadar Hara Mikro pada Tanaman Bawang Putih:
Kadar hara mikro Tembaga (Cu), Kobalt (Co), Mangan (Mn), dan Seng (Zn) serta Hasil tanaman bawang putih berupa siung bawang putih, disajikan sebagai berikut:

(5.1) Kadar Hara Mikro pada Bawang Putih:
(a) Hasil Siung Bawang Putih : 8,40 ton/ha
(b) Kadar hara mikro Tembaga (Cu) : 34 g/ha dan 4,05 g/ton
(c) Kadar hara mikro Kobalt (Co) : 34 g/ha
(d) Kadar hara mikro Mangan (Mn) : 67 g/ha
(e) Kadar hara mikro Seng (Zn) : 34 g/ha


(6) Kadar Hara Mikro pada Tanaman Kentang:
Kadar hara mikro Tembaga (Cu), Kobalt (Co), Mangan (Mn), dan Seng (Zn) serta Hasil tanaman kentang berupa umbi kentang, disajikan sebagai berikut:

(6.1) Kadar Hara Mikro pada Umbi Kentang:
(a) Hasil Umbi Kentang : 10,16 ton/ha
(b) Kadar hara mikro Tembaga (Cu) : 45 g/ha dan 4,43 g/ton
(c) Kadar hara mikro Kobalt (Co) : 45 g/ha
(d) Kadar hara mikro Mangan (Mn) : 101 g/ha
(e) Kadar hara mikro Seng (Zn) : 56 g/ha

(7) Kadar Hara Mikro pada Tanaman Kentang Manis:
Kadar hara mikro Tembaga (Cu), Kobalt (Co), Mangan (Mn), dan Seng (Zn) serta Hasil tanaman kentang manis berupa umbi kentang manis, disajikan sebagai berikut:

(7.1) Kadar Hara Mikro pada Umbi Kentang Manis:
(a) Hasil Umbi Kentang Manis : 7,60 ton/ha
(b) Kadar hara mikro Tembaga (Cu) : 34 g/ha dan 4,47 g/ton
(c) Kadar hara mikro Kobalt (Co) : 34 g/ha
(d) Kadar hara mikro Mangan (Mn) : 67 g/ha
(e) Kadar hara mikro Seng (Zn) : 34 g/ha


D. Tanaman Industri
Beberapa hasil analisis kadar hara mikro tanaman industri, meliputi: (1) tanaman tembakau untuk industri rokok, dan (2) tanaman kapuk untuk industri mebeler, disajikan sebagai berikut:

(1) Kadar Hara Mikro pada Tanaman Tembakau:
Kadar hara mikro Tembaga (Cu), Kobalt (Co), Mangan (Mn), dan Seng (Zn) serta Hasil tanaman tembakau berupa daun tembakau, disajikan sebagai berikut:

(1.1) Kadar Hara Mikro pada Daun Tembakau:
(a) Hasil Daun Tembakau : 1,02 ton/ha
(b) Kadar hara mikro Tembaga (Cu) : 34 g/ha dan 33,33 g/ton
(c) Kadar hara mikro Kobalt (Co) : 34 g/ha
(d) Kadar hara mikro Mangan (Mn) : 617 g/ha
(e) Kadar hara mikro Seng (Zn) : 78 g/ha


(2) Kadar Hara Mikro pada Tanaman Kapuk:
Kadar hara mikro Tembaga (Cu), Kobalt (Co), Mangan (Mn), dan Seng (Zn) serta Hasil tanaman kapuk berupa biji kapuk, disajikan sebagai berikut:

(2.1) Kadar Hara Mikro pada Biji Kapuk:
(a) Hasil Biji Kapuk : 0,76 ton/ha
(b) Kadar hara mikro Tembaga (Cu) : 34 g/ha dan 44,74 g/ton
(c) Kadar hara mikro Kobalt (Co) : 34 g/ha
(d) Kadar hara mikro Mangan (Mn) : 617 g/ha
(e) Kadar hara mikro Seng (Zn) : 78 g/ha



Daftar Pustaka:

Madjid, A. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Bahan Ajar Online Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya. Http://dasar2ilmutanah.blogspot.com.

Hanafiah, K. A. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Divisi Buku Perguruan Tinggi, PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 360 halaman.

03.12

Kisaran Kadar Kecukupan Hara Mikro Essensial Tanaman

Kisaran Kadar Kecukupan Hara Mikro Essensial Pada Berbagai Tanaman

Tanaman membutuhkan hara mikro dalam kisaran kecukupan yang beragam. Berikut ini disajikan kisaran kadar kecukupan hara mikro essensial dari dari berbagai tanaman:


A. Tanaman Pangan

(1) Tanaman Padi (Oryza sativa L.):
Kisaran kadar kecukupan hara mikro essensial pada tanaman padi bagian daun muda, adalah sebagai berikut:
(a) kisaran kadar kecukupan hara mikro Boron (B): 5 s/d 15 mg/kg.
(b) kisaran kadar kecukupan hara mikro Tembaga (Cu): 8 s/d 25 mg/kg.
(c) kisaran kadar kecukupan hara mikro Besi (Fe): 70 s/d 200 mg/kg.
(d) kisaran kadar kecukupan hara mikro Mangan (Mn): 150 s/d 800 mg/kg.
(e) kisaran kadar kecukupan hara mikro Seng (Zn): 18 s/d 50 mg/kg.


(2) Tanaman Jagung (Zea mays L.):
Kisaran kadar kecukupan hara mikro essensial pada tanaman jagung bagian pucuk, daun tua, dan daun bendera, adalah sebagai berikut:

(2.1) Pada Bagian Pucuk Tanaman Jagung:
(a) kisaran kadar kecukupan hara mikro Boron (B): 5 s/d 25 mg/kg.
(b) kisaran kadar kecukupan hara mikro Tembaga (Cu): 5 s/d 20 mg/kg.
(c) kisaran kadar kecukupan hara mikro Besi (Fe): 50 s/d 250 mg/kg.
(d) kisaran kadar kecukupan hara mikro Mangan (Mn): 20 s/d 300 mg/kg.
(e) kisaran kadar kecukupan hara mikro Seng (Zn): 20 mg/kg s/d 60 mg/kg.
(f) kisaran kadar kecukupan hara mikro Molidenum (Mo): 0,1 s/d 10 mg/kg.

(2.2) Pada Bagian Daun Tua Tanaman Jagung:
(a) kisaran kadar kecukupan hara mikro Boron (B): 4 s/d 25 mg/kg.
(b) kisaran kadar kecukupan hara mikro Tembaga (Cu): 3 s/d 15 mg/kg.
(c) kisaran kadar kecukupan hara mikro Besi (Fe): 10 s/d 20 mg/kg.
(d) kisaran kadar kecukupan hara mikro Mangan (Mn): 15 s/d 300 mg/kg.
(e) kisaran kadar kecukupan hara mikro Seng (Zn): 15 s/d 60 mg/kg.
(f) kisaran kadar kecukupan hara mikro Molidenum (Mo): 0,1 s/d 3 mg/kg.

(2.3) Pada Bagian Daun Bendera Tanaman Jagung:
(a) kisaran kadar kecukupan hara mikro Boron (B): 5 s/d 25 mg/kg.
(b) kisaran kadar kecukupan hara mikro Tembaga (Cu): 6 s/d 20 mg/kg.
(c) kisaran kadar kecukupan hara mikro Besi (Fe): 21 s/d 250 mg/kg.
(d) kisaran kadar kecukupan hara mikro Mangan (Mn): 20 s/d 200 mg/kg.
(e) kisaran kadar kecukupan hara mikro Seng (Zn): 25 s/d 100 mg/kg.
(f) kisaran kadar kecukupan hara mikro Molidenum (Mo): > 0,2 mg/kg..


(3) Tanaman Kedelai (Glycine max):
Kisaran kadar kecukupan hara mikro essensial pada tanaman kedelai bagian daun muda, adalah sebagai berikut:
(a) kisaran kadar kecukupan hara mikro Boron (B): 21 s/d 55 mg/kg.
(b) kisaran kadar kecukupan hara mikro Tembaga (Cu): 10 s/d 30 mg/kg.
(c) kisaran kadar kecukupan hara mikro Besi (Fe): 51 s/d 350 mg/kg.
(d) kisaran kadar kecukupan hara mikro Mangan (Mn): 21 s/d 100 mg/kg.
(e) kisaran kadar kecukupan hara mikro Seng (Zn): 21 s/d 50 mg/kg.
(f) kisaran kadar kecukupan hara mikro Molidenum (Mo): 1 s/d 5 mg/kg.


(4) Tanaman Kacang Tanah (Arachis hypogea):
Kisaran kadar kecukupan hara mikro essensial pada tanaman kacang tanah bagian trubus, adalah sebagai berikut:
(a) kisaran kadar kecukupan hara mikro Boron (B): 20 s/d 60 mg/kg.
(b) kisaran kadar kecukupan hara mikro Tembaga (Cu): 5 s/d 50 mg/kg.
(c) kisaran kadar kecukupan hara mikro Besi (Fe): 60 s/d 300 mg/kg.
(d) kisaran kadar kecukupan hara mikro Mangan (Mn): 60 s/d 350 mg/kg.
(e) kisaran kadar kecukupan hara mikro Seng (Zn): 20 s/d 60 mg/kg.
(f) kisaran kadar kecukupan hara mikro Molidenum (Mo): 0,1 s/d 5,0 mg/kg.


(5) Tanaman Ubi Kayu (Manihot esculeta):
Kisaran kadar kecukupan hara mikro essensial pada tanaman ubi kayu bagian daun muda dan pangkal batang, adalah sebagai berikut:

(5.1) Pada Bagian Daun Muda Tanaman Ubi Kayu:
(a) kisaran kadar kecukupan hara mikro Boron (B): 15 s/d 20 mg/kg.
(b) kisaran kadar kecukupan hara mikro Tembaga (Cu): 7 s/d 15 mg/kg.
(c) kisaran kadar kecukupan hara mikro Besi (Fe): 60 s/d 200 mg/kg.
(d) kisaran kadar kecukupan hara mikro Mangan (Mn): 50 s/d 250 mg/kg.
(e) kisaran kadar kecukupan hara mikro Seng (Zn): 40 s/d 100 mg/kg.
(f) kisaran kadar kecukupan hara mikro Molidenum (Mo): --- mg/kg.

(5.2) Pada Bagian Pangkal Batang Tanaman Ubi Kayu:
(a) kisaran kadar kecukupan hara mikro Boron (B): 33 s/d 40 mg/kg.
(b) kisaran kadar kecukupan hara mikro Tembaga (Cu): 6 s/d 7 mg/kg.
(c) kisaran kadar kecukupan hara mikro Besi (Fe): 82 s/d 150 mg/kg.
(d) kisaran kadar kecukupan hara mikro Mangan (Mn): 40 s/d 70 mg/kg.
(e) kisaran kadar kecukupan hara mikro Seng (Zn): 33 s/d 43 mg/kg.
(f) kisaran kadar kecukupan hara mikro Molidenum (Mo): --- mg/kg.


B. Tanaman Sayur-Sayuran:

(1) Tanaman Kacang Panjang (Phaseolus vulgaris):
Kisaran kadar kecukupan hara mikro essensial pada tanaman kacang panjang bagian daun muda, adalah sebagai berikut:
(a) kisaran kadar kecukupan hara mikro Boron (B): 20 s/d 75 mg/kg.
(b) kisaran kadar kecukupan hara mikro Tembaga (Cu): 7 s/d 30 mg/kg.
(c) kisaran kadar kecukupan hara mikro Besi (Fe): 50 s/d 300 mg/kg.
(d) kisaran kadar kecukupan hara mikro Mangan (Mn): 50 s/d 300 mg/kg.
(e) kisaran kadar kecukupan hara mikro Seng (Zn): 20 s/d 200 mg/kg.
(f) kisaran kadar kecukupan hara mikro Molidenum (Mo): --- mg/kg.


(2) Tanaman Brokoli (Brassica oleraceae):
Kisaran kadar kecukupan hara mikro essensial pada tanaman brokoli bagian daun muda, adalah sebagai berikut:
(a) kisaran kadar kecukupan hara mikro Boron (B): 30 s/d 100 mg/kg.
(b) kisaran kadar kecukupan hara mikro Tembaga (Cu): 5 s/d 15 mg/kg.
(c) kisaran kadar kecukupan hara mikro Besi (Fe): 70 s/d 300 mg/kg.
(d) kisaran kadar kecukupan hara mikro Mangan (Mn): 25 s/d 200 mg/kg.
(e) kisaran kadar kecukupan hara mikro Seng (Zn): 35 s/d 300 mg/kg.
(f) kisaran kadar kecukupan hara mikro Molidenum (Mo): --- mg/kg.


(3) Tanaman Kol (Brassica oleraceae capitata):
Kisaran kadar kecukupan hara mikro essensial pada tanaman kol bagian pucuk dan daun buah, adalah sebagai berikut:

(3.1) Pada Bagian Pucuk Tanaman Kol:
(a) kisaran kadar kecukupan hara mikro Boron (B): 25 s/d 75 mg/kg.
(b) kisaran kadar kecukupan hara mikro Tembaga (Cu): 5 s/d 15 mg/kg.
(c) kisaran kadar kecukupan hara mikro Besi (Fe): 30 s/d 200 mg/kg.
(d) kisaran kadar kecukupan hara mikro Mangan (Mn): 50 s/d 200 mg/kg.
(e) kisaran kadar kecukupan hara mikro Seng (Zn): 25 s/d 200 mg/kg.
(f) kisaran kadar kecukupan hara mikro Molidenum (Mo): --- mg/kg.

(3.2) Pada Bagian Daun Buah Tanaman Kol:
(a) kisaran kadar kecukupan hara mikro Boron (B): 25 s/d 100 mg/kg.
(b) kisaran kadar kecukupan hara mikro Tembaga (Cu): 5 s/d 15 mg/kg.
(c) kisaran kadar kecukupan hara mikro Besi (Fe): 30 s/d 200 mg/kg.
(d) kisaran kadar kecukupan hara mikro Mangan (Mn): 25 s/d 200 mg/kg.
(e) kisaran kadar kecukupan hara mikro Seng (Zn): 20 s/d 200 mg/kg.
(f) kisaran kadar kecukupan hara mikro Molidenum (Mo): 0,4 s/d 1,0 mg/kg.


C. Tanaman Buah-Buahan:

(1) Tanaman Mangga (Mangifera indica):
Kisaran kadar kecukupan hara mikro essensial pada tanaman mangga bagian daun muda, adalah sebagai berikut:
(a) kisaran kadar kecukupan hara mikro Boron (B): 25 s/d 100 mg/kg.
(b) kisaran kadar kecukupan hara mikro Tembaga (Cu): 7 s/d 50 mg/kg.
(c) kisaran kadar kecukupan hara mikro Besi (Fe): 50 s/d 250 mg/kg.
(d) kisaran kadar kecukupan hara mikro Mangan (Mn): 50 s/d 250 mg/kg.
(e) kisaran kadar kecukupan hara mikro Seng (Zn): 20 s/d 200 mg/kg.
(f) kisaran kadar kecukupan hara mikro Molidenum (Mo): --- mg/kg.


(2) Tanaman Jeruk Orange (Citrus sinensis):
Kisaran kadar kecukupan hara mikro essensial pada tanaman jeruk orange bagian daun tua, adalah sebagai berikut:
(a) kisaran kadar kecukupan hara mikro Boron (B): 25 s/d 100 mg/kg.
(b) kisaran kadar kecukupan hara mikro Tembaga (Cu): 5 s/d 100 mg/kg.
(c) kisaran kadar kecukupan hara mikro Besi (Fe): 60 s/d 150 mg/kg.
(d) kisaran kadar kecukupan hara mikro Mangan (Mn): 25 s/d 200 mg/kg.
(e) kisaran kadar kecukupan hara mikro Seng (Zn): 25 s/d 200 mg/kg.
(f) kisaran kadar kecukupan hara mikro Molidenum (Mo): 0,1 s/d 3,9 mg/kg.


(3) Tanaman Jeruk Lemon (Citrus lemon):
Kisaran kadar kecukupan hara mikro essensial pada tanaman jeruk lemon bagian daun, adalah sebagai berikut:
(a) kisaran kadar kecukupan hara mikro Boron (B): 20 s/d 200 mg/kg.
(b) kisaran kadar kecukupan hara mikro Tembaga (Cu): 5 s/d 100 mg/kg.
(c) kisaran kadar kecukupan hara mikro Besi (Fe): 60 s/d 100 mg/kg.
(d) kisaran kadar kecukupan hara mikro Mangan (Mn): 20 s/d 200 mg/kg.
(e) kisaran kadar kecukupan hara mikro Seng (Zn): 20 s/d 50 mg/kg.
(f) kisaran kadar kecukupan hara mikro Molidenum (Mo): 0,3 s/d 3,0 mg/kg.


(4) Tanaman Jeruk Nipis (Citrus aurantifolia):
Kisaran kadar kecukupan hara mikro essensial pada tanaman jeruk nipis bagian daun muda, adalah sebagai berikut:
(a) kisaran kadar kecukupan hara mikro Boron (B): 30 s/d 100 mg/kg.
(b) kisaran kadar kecukupan hara mikro Tembaga (Cu): 5 s/d 100 mg/kg.
(c) kisaran kadar kecukupan hara mikro Besi (Fe): 60 s/d 200 mg/kg.
(d) kisaran kadar kecukupan hara mikro Mangan (Mn): 20 s/d 200 mg/kg.
(e) kisaran kadar kecukupan hara mikro Seng (Zn): 20 s/d 200 mg/kg.
(f) kisaran kadar kecukupan hara mikro Molidenum (Mo): --- mg/kg.


(5) Tanaman Pepaya (Carica papaya):
Kisaran kadar kecukupan hara mikro essensial pada tanaman pepaya bagian daun muda, adalah sebagai berikut:
(a) kisaran kadar kecukupan hara mikro Boron (B): 20 s/d 30 mg/kg.
(b) kisaran kadar kecukupan hara mikro Tembaga (Cu): 4 s/d 10 mg/kg.
(c) kisaran kadar kecukupan hara mikro Besi (Fe): 25 s/d 100 mg/kg.
(d) kisaran kadar kecukupan hara mikro Mangan (Mn): 20 s/d 150 mg/kg.
(e) kisaran kadar kecukupan hara mikro Seng (Zn): 15 s/d 40 mg/kg.
(f) kisaran kadar kecukupan hara mikro Molidenum (Mo): --- mg/kg.


(6) Tanaman Pisang (Musa sp.):
Kisaran kadar kecukupan hara mikro essensial pada tanaman pisang bagian daun muda dan daun tua, adalah sebagai berikut:

(6.1) Pada Bagian Daun Muda Tanaman Pisang:
(a) kisaran kadar kecukupan hara mikro Boron (B): 15 s/d 50 mg/kg.
(b) kisaran kadar kecukupan hara mikro Tembaga (Cu): 6 s/d 30 mg/kg.
(c) kisaran kadar kecukupan hara mikro Besi (Fe): 100 s/d 300 mg/kg.
(d) kisaran kadar kecukupan hara mikro Mangan (Mn): 200 s/d 2000 mg/kg.
(e) kisaran kadar kecukupan hara mikro Seng (Zn): 13 s/d 50 mg/kg.
(f) kisaran kadar kecukupan hara mikro Molidenum (Mo): --- mg/kg.

(6.2) Pada Bagian Daun Tua Tanaman Pisang:
(a) kisaran kadar kecukupan hara mikro Boron (B): 10 s/d 50 mg/kg.
(b) kisaran kadar kecukupan hara mikro Tembaga (Cu): 5 s/d 25 mg/kg.
(c) kisaran kadar kecukupan hara mikro Besi (Fe): 76 s/d 300 mg/kg.
(d) kisaran kadar kecukupan hara mikro Mangan (Mn): 100 s/d 1000 mg/kg.
(e) kisaran kadar kecukupan hara mikro Seng (Zn): 20 s/d 200 mg/kg.
(f) kisaran kadar kecukupan hara mikro Molidenum (Mo): --- mg/kg.


(7) Tanaman Nenas (Ananas comosus):
Kisaran kadar kecukupan hara mikro essensial pada tanaman nenas bagian daun muda, adalah sebagai berikut:
(a) kisaran kadar kecukupan hara mikro Boron (B):
lebih dari 30 mg/kg.
(b) kisaran kadar kecukupan hara mikro Tembaga (Cu):
kurang dari 10 mg/kg.
(c) kisaran kadar kecukupan hara mikro Besi (Fe):
100 mg/kg s/d 200 mg/kg.
(d) kisaran kadar kecukupan hara mikro Mangan (Mn):
50 mg/kg s/d 200 mg/kg.
(e) kisaran kadar kecukupan hara mikro Seng (Zn):
lebih dari 20 mg/kg.
(f) kisaran kadar kecukupan hara mikro Molidenum (Mo):
--- mg/kg.


D. Tanaman Perkebunan (Industri):

(1) Tanaman Karet (Ficus benyamina):
Kisaran kadar kecukupan hara mikro essensial pada tanaman karet bagian daun muda, adalah sebagai berikut:
(a) kisaran kadar kecukupan hara mikro Boron (B): 30 s/d 75 mg/kg.
(b) kisaran kadar kecukupan hara mikro Tembaga (Cu): 8 s/d 25 mg/kg.
(c) kisaran kadar kecukupan hara mikro Besi (Fe): 30 s/d 200 mg/kg.
(d) kisaran kadar kecukupan hara mikro Mangan (Mn): 25 s/d 200 mg/kg.
(e) kisaran kadar kecukupan hara mikro Seng (Zn): 15 s/d 200 mg/kg.
(f) kisaran kadar kecukupan hara mikro Molidenum (Mo): --- mg/kg.


(2) Tanaman Kopi (Coffea arabica):
Kisaran kadar kecukupan hara mikro essensial pada tanaman kopi bagian daun muda, adalah sebagai berikut:
(a) kisaran kadar kecukupan hara mikro Boron (B): 25 s/d 75 mg/kg.
(b) kisaran kadar kecukupan hara mikro Tembaga (Cu): 10 s/d 50 mg/kg.
(c) kisaran kadar kecukupan hara mikro Besi (Fe): 90 s/d 300 mg/kg.
(d) kisaran kadar kecukupan hara mikro Mangan (Mn): 50 s/d 300 mg/kg.
(e) kisaran kadar kecukupan hara mikro Seng (Zn): 15 s/d 200 mg/kg.
(f) kisaran kadar kecukupan hara mikro Molidenum (Mo): --- mg/kg.


(3) Tanaman Tebu (Saccharum officinarum):
Kisaran kadar kecukupan hara mikro essensial pada tanaman tebu bagian daun muda, adalah sebagai berikut:
(a) kisaran kadar kecukupan hara mikro Boron (B): 4 s/d 30 mg/kg.
(b) kisaran kadar kecukupan hara mikro Tembaga (Cu): 5 s/d 15 mg/kg.
(c) kisaran kadar kecukupan hara mikro Besi (Fe): 40 s/d 250 mg/kg.
(d) kisaran kadar kecukupan hara mikro Mangan (Mn): 25 s/d 400 mg/kg.
(e) kisaran kadar kecukupan hara mikro Seng (Zn): 20 s/d 100 mg/kg.
(f) kisaran kadar kecukupan hara mikro Molidenum (Mo):
0,05 mg/kg s/d 4,0 mg/kg.


(4) Tanaman Tembakau (Nicotiana tobaccum):
Kisaran kadar kecukupan hara mikro essensial pada tanaman tembakau bagian daun muda, adalah sebagai berikut:
(a) kisaran kadar kecukupan hara mikro Boron (B): 14 s/d 50 mg/kg.
(b) kisaran kadar kecukupan hara mikro Tembaga (Cu):
10 mg/kg s/d 60 mg/kg.
(c) kisaran kadar kecukupan hara mikro Besi (Fe):
59 mg/kg s/d 530 mg/kg.
(d) kisaran kadar kecukupan hara mikro Mangan (Mn):
26 mg/kg s/d 400 mg/kg.
(e) kisaran kadar kecukupan hara mikro Seng (Zn):
17 mg/kg s/d 110 mg/kg.
(f) kisaran kadar kecukupan hara mikro Molidenum (Mo):
0,4 mg/kg s/d 0,6 mg/kg.



Daftar Pustaka:

Madjid, A. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Bahan Ajar Online Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya. http://dasar2ilmutanah.blogspot.com/.

Hanafiah, K. A. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Divisi Buku Perguruan Tinggi, PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 360 halaman.

03.08

Kadar dan Serapan Hara Tanaman

Kadar dan Serapan Unsur Hara Essensial Berbagai Tanaman

Kadar dan serapan unsur hara essensial pada berbagai tanaman sangat bervariasi. Kadar dan serapan unsur hara essensial tanaman pangan berbeda dengan tanaman buah-buahan dan tanaman sayur-sayuran serta tanaman industri. Kadar dan serapan unsur hara essensial pada tanaman jagung berbeda dengan tanaman padi, kacang tanah dan kedelai. Kadar dan serapan unsur hara essensial pada jerami atau bagian vegetatif berbeda dengan pada biji atau bagian generatif.

Data kadar dan serapan unsur hara essensial pada berbagai tanaman yang meliputi: (a) tanaman pangan, (b) tanaman buah-buahan, (c) tanaman sayur-sayuran, dan (d) tanaman industri, disajikan dalam uraian berikut:

A. Tanaman Pangan:
Data kadar dan serapan unsur hara essensial pada berbagai tanaman pangan yaitu meliputi: (a) tanaman jagung, (b) tanaman padi, (c) tanaman kacang tanah, dan (d) tanaman kedelai, disajikan dalam uraian berikut.

(1) Tanaman Jagung:
Kadar dan serapan unsur hara essensial pada tanaman jagung pada bagian biji dan jerami serta total tanaman disajikan sebagai berikut:

(1.1) Serapan dan Kadar Unsur Hara Essensial pada Biji Jagung:
(a) Hasil : 5,34 ton/ha
(b) Serapan N : 151,30 kg/ha Kadar N : 2,83 %
(c) Serapan P : 25,80 kg/ha Kadar P : 0,48 %
(d) Serapan K : 37,00 kg/ha Kadar K : 0,69 %
(e) Serapan Ca : 17,90 kg/ha Kadar Ca : 0,37 %
(f) Serapan Mg : 22,40 kg/ha Kadar Mg : 0,42 %
(g) Serapan S : 15,70 kg/ha Kadar S : 0,29 %
(h) Serapan Co : 0,067 kg/ha Kadar Co : 12,50 ppm
(i) Serapan Mn : 0,101 kg/ha Kadar Mn :189,00 ppm
(j) Serapan Zn : 0,168 kg/ha Kadar Zn : 31,50 ppm

(1.2) Serapan dan Kadar Unsur Hara Essensial pada Jerami Jagung:
(a) Bobot : 5,00 ton/ha
(b) Serapan N : 112,10 kg/ha Kadar N : 2,24 %
(c) Serapan P : 17,90 kg/ha Kadar P : 0,36 %
(d) Serapan K : 134,50 kg/ha Kadar K : 2,69 %
(e) Serapan Ca : 31,40 kg/ha Kadar Ca : 0,63 %
(f) Serapan Mg : 19,10 kg/ha Kadar Mg : 0,38 %
(g) Serapan S : 11,20 kg/ha Kadar S : 0,22 %
(h) Serapan Co : 0,056 kg/ha Kadar Co : 11,20 ppm
(i) Serapan Mn : 1,681 kg/ha Kadar Mn : 319,00 ppm
(j) Serapan Zn : 0,336 kg/ha Kadar Zn : 67,20 ppm

(1.3) Kadar Total Unsur Hara Essensial Tanaman Jagung:
(a) Kadar N : 2,55 %
(b) Kadar P : 0,42 %
(c) Kadar K : 1,66 %
(d) Kadar Ca : 0,48 %
(e) Kadar Mg : 0,40 %
(f) Kadar S : 0,26 %
(g) Kadar Co : 11,90 ppm
(h) Kadar Mn : 17,20 ppm
(i) Kadar Zn : 48,70 ppm


(2) Tanaman Padi:
Kadar dan serapan unsur hara essensial pada tanaman padi pada gabah dan jerami serta total tanaman disajikan sebagai berikut:

(2.1) Serapan dan Kadar Unsur Hara Essensial dalam Gabah:
(a) Hasil : 2,85 ton/ha
(b) Serapan N : 56,00 kg/ha Kadar N : 1,96 %
(c) Serapan P : 10,10 kg/ha Kadar P : 3,54 %
(d) Serapan K : 9,00 kg/ha Kadar K : 0,32 %
(e) Serapan Ca : 3,40 kg/ha Kadar Ca : 0,12 %
(f) Serapan Mg : 4,50 kg/ha Kadar Mg : 0,16 %
(g) Serapan S : 3,40 kg/ha Kadar S : 0,12 %
(h) Serapan Co : 0,011 kg/ha Kadar Co : 3,86 ppm
(i) Serapan Mn : 0,090 kg/ha Kadar Mn : 31,60 ppm
(j) Serapan Zn : 0,078 kg/ha Kadar Zn : 27,40 ppm

(2.2) Serapan dan Kadar Unsur Hara Essensial pada Jerami Padi:
(a) Bobot : 2,80 ton/ha
(b) Serapan N : 33,60 kg/ha Kadar N : 1,20 %
(c) Serapan P : 5,60 kg/ha Kadar P : 0,20 %
(d) Serapan K : 65,00 kg/ha Kadar K : 2,32 %
(e) Serapan Ca : 10,10 kg/ha Kadar Ca : 0,36 %
(f) Serapan Mg : 5,60 kg/ha Kadar Mg : 0,20 %
(g) Serapan S : ------ kg/ha Kadar S : ----- %
(h) Serapan Co : ------ kg/ha Kadar Co : ----- ppm
(i) Serapan Mn : 1,771 kg/ha Kadar Mn : 632 ppm
(j) Serapan Zn : ------ kg/ha Kadar Zn : ------ ppm

(2.3) Kadar Total Unsur Hara Essensial Tanaman Padi:
(a) Kadar N : 1,59 %
(b) Kadar P : 0,28 %
(c) Kadar K : 1,26 %
(d) Kadar Ca : 0,24 %
(e) Kadar Mg : 0,18 %
(f) Kadar S : ----- %
(g) Kadar Co : ----- ppm
(h) Kadar Mn : 329 ppm
(i) Kadar Zn : ----- ppm


(3) Tanaman Kacang Tanah:
Kadar dan serapan unsur hara essensial pada tanaman kedelai pada polong dan jerami serta total tanaman disajikan sebagai berikut:

(3.1) Serapan dan Kadar Unsur Hara Essensial pada Polong Kacang Tanah:
(a) Hasil : 1,25 ton/ha
(b) Serapan N : 100,90 kg/ha Kadar N : 8,07 %
(c) Serapan P : 5,60 kg/ha Kadar P : 0,49 %
(d) Serapan K : 14,60 kg/ha Kadar K : 1,17 %
(e) Serapan Ca : 1,10 kg/ha Kadar Ca : 0,09 %
(f) Serapan Mg : 3,40 kg/ha Kadar Mg : 0,27 %
(g) Serapan S : 6,70 kg/ha Kadar S : 0,54 %
(h) Serapan Co : 0,022 kg/ha Kadar Co : 17,60 ppm
(i) Serapan Mn : 0,011 kg/ha Kadar Mn : 8,80 ppm
(j) Serapan Zn : ------ kg/ha Kadar Zn : ----- ppm

(3.2) Serapan dan Kadar Unsur Hara Essensial pada Jerami Kacang Tanah:
(a) Bobot : 2,50 ton/ha
(b) Serapan N : 117,70 kg/ha Kadar N : 4,71 %
(c) Serapan P : 12,30 kg/ha Kadar P : 0,49 %
(d) Serapan K : 88,60 kg/ha Kadar K : 3,54 %
(e) Serapan Ca : 50,40 kg/ha Kadar Ca : 2,02 %
(f) Serapan Mg : 19,10 kg/ha Kadar Mg : 0,08 %
(g) Serapan S : 17,90 kg/ha Kadar S : 0,72 %
(h) Serapan Co : ------ kg/ha Kadar Co : ------ ppm
(i) Serapan Mn : 0,258 kg/ha Kadar Mn : 103,20 ppm
(j) Serapan Zn : ------ kg/ha Kadar Zn : ------ ppm

(3.3) Kadar Total Unsur Hara Essensial Tanaman Kacang Tanah:
(a) Kadar N : 5,83 %
(b) Kadar P : 0,48 %
(c) Kadar K : 2,75 %
(d) Kadar Ca : 1,37 %
(e) Kadar Mg : 0,06 %
(f) Kadar S : 0,66 %
(g) Kadar Co : ---- ppm
(h) Kadar Mn : 71,70 ppm
(i) Kadar Zn : ----- ppm


(4) Tanaman Kedelai:
Kadar dan serapan unsur hara essensial pada tanaman kedelai pada bagian biji dan jerami serta total tanaman disajikan sebagai berikut:

(4.1) Serapan dan Kadar Unsur Hara Essensial pada Biji Kedelai:
(a) Hasil : 1,22 ton/ha
(b) Serapan N : 168,10 kg/ha Kadar N : 13,77 %
(c) Serapan P : 17,90 kg/ha Kadar P : 1,47 %
(d) Serapan K : 51,60 kg/ha Kadar K : 4,23 %
(e) Serapan Ca : 7,80 kg/ha Kadar Ca : 0,64 %
(f) Serapan Mg : 7,80 kg/ha Kadar Mg : 0,64 %
(g) Serapan S : 4,50 kg/ha Kadar S : 0,37 %
(h) Serapan Co : 0,045 kg/ha Kadar Co : 36,90 ppm
(i) Serapan Mn : 0,056 kg/ha Kadar Mn : 45,90 ppm
(j) Serapan Zn : 0,045 kg/ha Kadar Zn : 36,90 ppm

(4.2) Serapan dan Kadar Unsur Hara Essensial pada Jerami Kedelai:
(a) Bobot : 2,24 ton/ha
(b) Serapan N : 100,90 kg/ha Kadar N : 4,50 %
(c) Serapan P : 10,10 kg/ha Kadar P : 0,45 %
(d) Serapan K : 47,10 kg/ha Kadar K : 2,10 %
(e) Serapan Ca : 44,80 kg/ha Kadar Ca : 2,00 %
(f) Serapan Mg : 20,20 kg/ha Kadar Mg : 0,90 %
(g) Serapan S : 11,20 kg/ha Kadar S : 0,50 %
(h) Serapan Co : 0,045 kg/ha Kadar Co : 20,10 ppm
(i) Serapan Mn : 0,516 kg/ha Kadar Mn :230,40 ppm
(j) Serapan Zn : 0,168 kg/ha Kadar Zn : 75,00 ppm

(4.3) Kadar Total Unsur Hara Essensial Tanaman Kedelai:
(a) Kadar N : 7,77 %
(b) Kadar P : 0,81 %
(c) Kadar K : 2,85 %
(d) Kadar Ca : 1,52 %
(e) Kadar Mg : 0,81 %
(f) Kadar S : 0,45 %
(g) Kadar Co : 26,00 ppm
(h) Kadar Mn :157,10 ppm
(i) Kadar Zn : 61,56 ppm


B. Tanaman Buah-Buahan:
Data serapan unsur hara essensial pada berbagai tanaman buah-buahan yaitu meliputi: (a) tanaman apel, dan (b) tanaman jeruk, disajikan dalam uraian berikut.

(1) Tanaman Apel:
Serapan unsur hara essensial pada tanaman apel pada buah apel disajikan sebagai berikut:
(a) Hasil : 5,08 ton/ha
(b) Serapan N : 33,60 kg/ha
(c) Serapan P : 5,60 kg/ha
(d) Serapan K : 41,50 kg/ha
(e) Serapan Ca : 9,00 kg/ha
(f) Serapan Mg : 5,60 kg/ha
(g) Serapan S : 11,20 kg/ha
(h) Serapan Co : 0,034 kg/ha
(i) Serapan Mn : 0,034 kg/ha
(j) Serapan Zn : 0,034 kg/ha


(2) Tanaman Jeruk:
Serapan unsur hara essensial pada tanaman jeruk pada buah jeruk disajikan sebagai berikut:
(a) Hasil : 70,40 ton/ha
(b) Serapan N : 95,30 kg/ha
(c) Serapan P : 14,60 kg/ha
(d) Serapan K : 130,00 kg/ha
(e) Serapan Ca : 37,00 kg/ha
(f) Serapan Mg : 13,40 kg/ha
(g) Serapan S : 10,10 kg/ha
(h) Serapan Co : 0,220 kg/ha
(i) Serapan Mn : 0,067 kg/ha
(j) Serapan Zn : 0,269 kg/ha


C. Tanaman Sayur-Sayuran:
Data serapan unsur hara essensial pada berbagai tanaman sayur-sayuran, yaitu meliputi: (a) tanaman buncis, (b) tanaman kol, (c) tanaman bayam, (d) tanaman bawang putih, (e) tanaman kentang, (f) tanaman tomat, dan (g) tanaman lobak, disajikan dalam uraian berikut.

(1) Tanaman Buncis:
Serapan unsur hara essensial pada tanaman buncis pada buncis kering disajikan sebagai berikut:
(a) Hasil : 0,91 ton/ha
(b) Serapan N : 84,10 kg/ha
(c) Serapan P : 12,30 kg/ha
(d) Serapan K : 23,50 kg/ha
(e) Serapan Ca : 2,20 kg/ha
(f) Serapan Mg : 2,20 kg/ha
(g) Serapan S : 5,60 kg/ha
(h) Serapan Co : 0,022 kg/ha
(i) Serapan Mn : 0,034 kg/ha
(j) Serapan Zn : 0,067 kg/ha


(2) Tanaman Kol:
Serapan unsur hara essensial pada tanaman kol disajikan sebagai berikut:
(a) Hasil : 22,40 ton/ha
(b) Serapan N : 145,70 kg/ha
(c) Serapan P : 17,90 kg/ha
(d) Serapan K : 121,10 kg/ha
(e) Serapan Ca : 22,40 kg/ha
(f) Serapan Mg : 9,30 kg/ha
(g) Serapan S : 51,20 kg/ha
(h) Serapan Co : 0,047 kg/ha
(i) Serapan Mn : 0,112 kg/ha
(j) Serapan Zn : 0,093 kg/ha


(3) Tanaman Bayam:
Serapan unsur hara essensial pada tanaman bayam disajikan sebagai berikut:
(a) Hasil : 5,60 ton/ha
(b) Serapan N : 56,00 kg/ha
(c) Serapan P : 7,80 kg/ha
(d) Serapan K : 28,00 kg/ha
(e) Serapan Ca : 13,40 kg/ha
(f) Serapan Mg : 5,60 kg/ha
(g) Serapan S : 4,50 kg/ha
(h) Serapan Co : 0,022 kg/ha
(i) Serapan Mn : 0,112 kg/ha
(j) Serapan Zn : 0,112 kg/ha

(4) Tanaman Bawang Putih:
Serapan unsur hara essensial pada tanaman bawang putih dalam bagian siung bawang putih disajikan sebagai berikut:
(a) Hasil : 8,40 ton/ha
(b) Serapan N : 50,40 kg/ha
(c) Serapan P : 10,10 kg/ha
(d) Serapan K : 37,00 kg/ha
(e) Serapan Ca : 12,30 kg/ha
(f) Serapan Mg : 2,20 kg/ha
(g) Serapan S : 20,20 kg/ha
(h) Serapan Co : 0,034 kg/ha
(i) Serapan Mn : 0,067 kg/ha
(j) Serapan Zn : 0,034 kg/ha


(5) Tanaman Kentang:
Serapan unsur hara essensial pada tanaman kentang pada bagian umbi tanaman disajikan sebagai berikut:
(a) Bobot Umbi : 10,16 ton/ha
(b) Serapan N : 89,70 kg/ha
(c) Serapan P : 14,60 kg/ha
(d) Serapan K : 140,10 kg/ha
(e) Serapan Ca : 9,40 kg/ha
(f) Serapan Mg : 6,70 kg/ha
(g) Serapan S : 6,70 kg/ha
(h) Serapan Co : 0,045 kg/ha
(i) Serapan Mn : 0,101 kg/ha
(j) Serapan Zn : 0,056 kg/ha


(6) Tanaman Tomat:
Serapan unsur hara essensial pada tanaman tomat dalam buah tomat disajikan sebagai berikut:
(a) Bobot Buah : 22,40 ton/ha
(b) Serapan N : 134,50 kg/ha
(c) Serapan P : 20,20 kg/ha
(d) Serapan K : 149,10 kg/ha
(e) Serapan Ca : 7,80 kg/ha
(f) Serapan Mg : 12,30 kg/ha
(g) Serapan S : 15,70 kg/ha
(h) Serapan Co : 0,078 kg/ha
(i) Serapan Mn : 0,146 kg/ha
(j) Serapan Zn : 0,179 kg/ha


(7) Tanaman Lobak:
Serapan unsur hara essensial pada tanaman lobak pada akar (umbi) tanaman disajikan sebagai berikut:
(a) Bobot : 11,20 ton/ha
(b) Serapan N : 50,40 kg/ha
(c) Serapan P : 10,10 kg/ha
(d) Serapan K : 84,10 kg/ha
(e) Serapan Ca : 13,40 kg/ha
(f) Serapan Mg : 6,70 kg/ha
(g) Serapan S : ------ kg/ha
(h) Serapan Co : ------ kg/ha
(i) Serapan Mn : ------ kg/ha
(j) Serapan Zn : ------ kg/ha



D. Tanaman Industri:
Data serapan unsur hara essensial pada berbagai tanaman industri, yaitu meliputi: (a) tanaman tembakau, (b) tanaman tebu, dan (c) tanaman kapuk, disajikan dalam uraian berikut.

(1) Tanaman Tembakau:
Serapan unsur hara essensial pada tanaman tembakau pada bagian daun dan tangkai tanaman disajikan sebagai berikut:

(1.1) Daun Tembakau:
(a) Bobot : 1,02 ton/ha
(b) Serapan N : 84,10 kg/ha
(c) Serapan P : 7,80 kg/ha
(d) Serapan K : 112,10 kg/ha
(e) Serapan Ca : 84,10 kg/ha
(f) Serapan Mg : 20,20 kg/ha
(g) Serapan S : 15,70 kg/ha
(h) Serapan Co : 0,034 kg/ha
(i) Serapan Mn : 0,617 kg/ha
(j) Serapan Zn : 0,078 kg/ha

(1.2) Tangkai dari Daun Tembakau:
(a) Bobot : ------ ton/ha
(b) Serapan N : 39,20 kg/ha
(c) Serapan P : 7,80 kg/ha
(d) Serapan K : 47,10 kg/ha
(e) Serapan Ca : ------ kg/ha
(f) Serapan Mg : ------ kg/ha
(g) Serapan S : ------ kg/ha
(h) Serapan Co : ------ kg/ha
(i) Serapan Mn : ------ kg/ha
(j) Serapan Zn : ------ kg/ha


(2) Tanaman Tebu:
Serapan unsur hara essensial pada tanaman tebu pada bagian batang tanaman disajikan sebagai berikut:
(a) Bobot : 33,60 ton/ha
(b) Serapan N : 107.60 kg/ha
(c) Serapan P : 26,90 kg/ha
(d) Serapan K : 251,10 kg/ha
(e) Serapan Ca : 31,40 kg/ha
(f) Serapan Mg : 26,90 kg/ha
(g) Serapan S : 26,90 kg/ha
(h) Serapan Co : ------ kg/ha
(i) Serapan Mn : ------ kg/ha
(j) Serapan Zn : ------ kg/ha


(3) Tanaman Kapuk:
Serapan unsur hara essensial pada tanaman kapuk dalam biji dan tangkai daun adalah sebagai berikut:

(3.1) Biji kapas:
(a) Hasil / Bobot : 0,76 ton/ha
(b) Serapan N : 44,80 kg/ha
(c) Serapan P : 10,10 kg/ha
(d) Serapan K : 14,60 kg/ha
(e) Serapan Ca : 84,10 kg/ha
(f) Serapan Mg : 20,20 kg/ha
(g) Serapan S : 15,70 kg/ha
(h) Serapan Co : 0,034 kg/ha
(i) Serapan Mn : 0,617 kg/ha
(j) Serapan Zn : 0,078 kg/ha

(3.2) Tangkai Daun, Burs:
(a) Bobot : 1,02 ton/ha
(b) Serapan N : 39,20 kg/ha
(c) Serapan P : 5,60 kg/ha
(d) Serapan K : 32,50 kg/ha
(e) Serapan Ca : 31,40 kg/ha
(f) Serapan Mg : 9,00 kg/ha
(g) Serapan S : ------ kg/ha
(h) Serapan Co : ------ kg/ha
(i) Serapan Mn : ------ kg/ha
(j) Serapan Zn : ------ kg/ha



Urutan Kadar Unsur Hara Essensial dalam Tanaman:

Menurut Jones et al. (1991) dalam Hanafiah (2005) bahwa kadar unsur hara essensial makro dan mikro pada tanaman secara berurutan dari kadar tertinggi sampai dengan terendah berdasarkan perbandingan bobot kering adalah sebagai berikut:
(1) Karbon (45%) hampir sama dengan nomor (2)
(2) Hidrogen (45%)
(3) Oksigen (6%)
(4) Nitrogen (1,5%)
(5) Kalium (1,0%)
(6) Kalsium (0,5%)
(7) Fosfor (0,2%) hampir sama dengan nomor (8)
(8) Magnesium (0,2%)
(9) Belerang (0,1%)
(10) Klor (100 mg/kg) hampir sama dengan nomor (9)
(11) Besi (100 mg/kg)
(12) Boron (50 mg/kg)
(13) Mangan (20 mg/kg) hampir sama dengan nomor (14)
(14) Seng (20 mg/kg)
(15) Tembaga (6 mg/kg)
(16) Molibdenum (0,1 mg/kg).



Daftar Pustaka:

Madjid, A. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Bahan Ajar Online Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya. http://dasar2ilmutanah.blogspot.com/.

Foth. D.H. 1984. Fundamental of Soil Science. John Wiley & Sons. Inc. Singapore.

Hanafiah, K. A. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Divisi Buku Perguruan Tinggi, PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 360 halaman.

21.57

Penilaian Kelas Kesesuaian Lahan (Bagian I: Tanaman Jagung)

Penilaian Kelas Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Jagung

Beberapa persyaratan dari karakteristik lahan yang menentukan kelas kesesuaian lahan untuk tanaman jagung (zea mays) adalah sebagai berikut:

(1) Tempeatur:
Karakterisitik lahan dari variabel Temperatur Tanah (tc) yang digunakan dalam penilaian kelas kesesuaian lahan, ditentukan dari karakteristik Rata-rata Temperatur Tanah, yaitu:
(a) antara 20oC s/d 26oC, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S1;
(b) antara lebih dari 26oC sampai dengan 30oC, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S2;
(c) antara 16oC s/d 20oC atau antara 30oC s/d 32oC, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S3; dan
(d) kurang dari 16oC atau lebih dari 32oC, maka termasuk kelas kesesuaian lahan N.


(2) Ketersediaan Air:
Karakterisitik lahan dari variabel Ketersediaan Air (wa) yang digunakan dalam penilaian kelas kesesuaian lahan, ditentukan dari 2 (dua) karakteristik berikut, yaitu:

(2.1) Rata-rata Curah Hujan Tahunan:
Apabila lahan yang akan dinilai kelas kesesuaian lahan tersebut memiliki rata-rata curah hujan tahunan:
(a) antara 500 mm s/d 1.200 mm, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S1;
(b) antara 1.200 mm s/d 1.600 mm atau antara 400 mm s/d 500 mm, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S2;
(c) lebih dari 1.600 mm atau antara 300 mm s/d 400 mm, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S3; dan
(d) kurang dari 300 mm, maka termasuk kelas kesesuaian lahan N.

(2.2) Prosentase Kelembaban Tanah:
Apabila lahan yang akan dinilai kelas kesesuaian lahan tersebut mengandung prosentase kelembaban tanah:
(a) lebih dari 42%, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S1;
(b) antara 36% s/d 42%, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S2;
(c) antara 30% s/d 36%, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S3; dan
(d) kurang dari 30%, maka termasuk kelas kesesuaian lahan N.


(3) Ketersediaan Oksigen:
Karakterisitik lahan dari variabel Ketersediaan Oksigen (oa) yang digunakan dalam penilaian kelas kesesuaian lahan, ditentukan dari kondisi: Drainase, yaitu:
(a) drainase: baik s/d agak terhambat, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S1;
(b) drainase: agak cepat, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S2;
(c) drainase: terhambat, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S3; dan
(d) drainase: sangat terhambat atau cepat, maka termasuk kelas kesesuaian lahan N.


(4) Media Perakaran:
Karakterisitik lahan dari variabel Media Perakaran (rc) ditentukan dari 3 (tiga) karakteristik berikut, yaitu:

(4.1) Tekstur Tanah:
Apabila lahan yang akan dinilai kelas kesesuaian lahan tersebut tanahnya bertekstur:
(a) halus (h), agak halus (ah), dan sedang (s), maka termasuk kelas kesesuaian lahan S1;
(b) halus (h), agak halus (ah), dan sedang (s), maka termasuk kelas kesesuaian lahan S2;
(c) agak kasar (ak) maka termasuk kelas kesesuaian lahan S3; dan
(d) kasar maka termasuk kelas kesesuaian lahan N.

(4.2) Bahan Kasar:
Apabila lahan yang akan dinilai kelas kesesuaian lahan tersebut mengandung prosentase bahan kasar:
(a) kurang dari 15%, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S1;
(b) antara 15% s/d 35%, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S2;
(c) antara 35% s/d 55%, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S3; dan
(d) lebih dari 55%, maka termasuk kelas kesesuaian lahan N.

(4.3) Kedalaman Tanah:
Apabila lahan yang akan dinilai kelas kesesuaian lahan tersebut memiliki kedalaman tanah:
(a) lebih dari 60 cm, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S1;
(b) antara 40 cm s/d 60 cm, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S2;
(c) antara 25 cm s/d 40 cm, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S3; dan
(d) kurang dari 25 cm, maka termasuk kelas kesesuaian lahan N.


(5) Kondisi Gambut:
Karakterisitik lahan dari variabel Kondisi Gambut ditentukan dari 3 (tiga) karakteristik berikut, yaitu:

(5.1) Ketebalan Gambut:
Apabila lahan yang dinilai tergolong tanah gambut dengan ketebalan gambut:
(a) kurang dari 60 cm, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S1;
(b) antara 60 cm s/d 140 cm, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S2;
(c) antara 140 cm s/d 200 cm, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S3; dan
(d) lebih dari 200 cm, maka termasuk kelas kesesuaian lahan N.

(5.2) Gambut dengan Sisipan/Pengkayaan Bahan Mineral:
Apabila lahan yang dinilai termasuk tanah gambut tetapi dengan sisipan/pengkayaan bahan mineral dengan ketebalan:
(a) kurang dari 140 cm, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S1;
(b) antara 140 cm s/d 200 cm, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S2;
(c) antara 200 cm s/d 400 cm, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S3; dan
(d) lebih dari 400 cm, maka termasuk kelas kesesuaian lahan N.

(5.3) Tingkat Kematangan Gambut:
Apabila lahan yang dinilai memiliki tanah dengan tingkat kematangan gambut:
(a) kategori safrik +, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S1;
(b) antara kategori hemik + s/d safrik, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S2;
(c) antara fibrik + s/d hemik, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S3; dan
(d) kategori fibrik, maka termasuk kelas kesesuaian lahan N.


(6) Retensi Hara:
Karakterisitik lahan dari variabel Retensi Hara (nr) ditentukan dari 4 (empat) karakteristik berikut, yaitu:

(6.1) KTK Liat:
Apabila KTK liat:
(a) lebih besar dari 16 cmol maka termasuk kelas kesesuaian lahan S1; dan
(b) sama dengan 16 cmol, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S2.

(6.2) Kejenuhan Basa:
Apabila prosentase kejenuhan basa:
(a) lebih dari 50% maka termasuk kelas kesesuaian lahan S1;
(b) antara 35% s/d 50%, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S2; dan
(c) kurang dari 35%, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S3.

(6.3) pH H2O:
Apabila pH H2O tanah:
(a) antara pH 5,8 s/d pH 7,8, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S1;
(b) antara pH 5,5 s/d pH 5,8 atau pH 7,8 s/d pH 8,2, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S2; dan
(c) kurang dari pH 5,5 atau lebih dari pH 8,2, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S3.

(6.4) C-organik:
Apabila prosentase kandungan C-organik tanah:
(a) lebih dari 0,4% maka termasuk kelas kesesuaian lahan S1; dan
(b) sama dengan 0,4%, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S2.


(7) Toksisitas:
Karakterisitik lahan dari variabel Toksisitas (xc) ditentukan dari karakteristik: Salinitas (dS/m), yaitu:
Apabila salinitas:
(a) kurang dari 4 (dS/m) maka termasuk kelas kesesuaian lahan S1;
(b) antara 4 dS/m s/d 6 dS/m, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S2;
(c) antara 6 dS/m s/d 8 dS/m, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S3; dan
(d) lebih dari 8 dS/m, maka termasuk kelas kesesuaian lahan N.


(8) Sodisitas:
Karakterisitik lahan dari variabel Sodisitas (xn) ditentukan dari karakteristik: Prosentase Alkalinitas atau Prosentase ESP, yaitu:
Apabila prosentase alkalinitas:
(a) kurang dari 15%, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S1;
(b) antara 15% s/d 20%, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S2;
(c) antara 20% s/d 25%, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S3; dan
(d) lebih dari 25%, maka termasuk kelas kesesuaian lahan N.


(9) Bahaya Sulfidik:
Karakterisitik lahan dari variabel Bahaya Sulfidik (xs) ditentukan dari karakteristik: Kedalaman Sulfidik (cm), yaitu:
Apabila kedalaman sulfidik:
(a) lebih dari 100 cm, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S1;
(b) antara 75 cm s/d 100 cm, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S2;
(c) antara 40 cm s/d 75 cm, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S3; dan
(d) kurang dari 40 cm, maka termasuk kelas kesesuaian lahan N.


(10) Bahaya Erosi:
Karakterisitik lahan dari variabel Bahaya Erosi (eh) ditentukan dari dua karakteristik berikut, yaitu:

(10.1) Prosentase Lereng:
Apabila prosentase lereng:
(a) kurang dari 8% termasuk kelas kesesuaian lahan S1;
(b) antara 8% sampai dengan 16% termasuk kelas kesesuaian lahan S2;
(c) antara 16% sampai dengan 30% termasuk kelas kesesuaian lahan S3; dan
(d) lebih dari 30% termasuk kelas kesesuaian lahan N.

(10.2) Bahaya Erosi:
Apabila bahaya erosi yang akan terjadi:
(a) sangat ringan (sr) maka termasuk kelas kesesuaian lahan S1;
(b) antara ringan (r) s/d sedang (sd) maka termasuk kelas kesesuaian lahan S2;
(c) berat (b) maka termasuk kelas kesesuaian lahan S3; dan
(d) sangat berat (sb) maka termasuk kelas kesesuaian lahan N.


(11) Bahaya Banjir:
Karakterisitik lahan dari variabel Bahaya Banjir (fh) ditentukan dari karakteristik: Genangan, yaitu:
(a) apabila tingkat genangan tergolong F0, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S1;
(b) apabila tingkat genangan tergolong F1, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S2;
(c) apabila tingkat genangan tergolong F2, maka termasuk kelas kesesuaian lahan S3;
(d) apabila tingkat genangan tergolong > F2, maka termasuk kelas kesesuaian lahan N;


(12) Penyiapan Lahan:
Karakterisitik lahan dari variabel Penyiapan Lahan (lp) ditentukan dari dua karakteristik berikut, yaitu:

(12.1) Prosentase Batuan di Permukaan:
Apabila prosentase batuan di permukaan:
(a) kurang dari 5% termasuk kelas kesesuaian lahan S1;
(b) antara 5% sampai dengan 15% termasuk kelas kesesuaian lahan S2;
(c) antara 15% sampai dengan 40% termasuk kelas kesesuaian lahan S3; dan
(d) lebih dari 40% termasuk kelas kesesuaian lahan N.

(12.2) Prosentase Singkapan Batuan:
Apabila prosentase singkapan batuan:
(a) kurang dari 5% termasuk kelas kesesuaian lahan S1;
(b) antara 5% sampai dengan 15% termasuk kelas kesesuaian lahan S2;
(c) antara 15% sampai dengan 25% termasuk kelas kesesuaian lahan S3; dan
(d) lebih dari 25% termasuk kelas kesesuaian lahan N.


Sumber Pustaka:

Madjid, A. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Bahan Ajar Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya. Http://dasar2ilmutanah.blogspot.com

Djaenudin, et al. (1994, 1999, 2005) dalam Rayes (2007)

Rayes, M. L. 2007. Metode Inventarisasi Sumber Daya Lahan. Penerbit Andi Yogyakarta. Yogyakarta. 298 halaman.

02.07

Survei Tanah (Bagian I: Kerapatan Pengamatan setiap Survei)

Survei Tanah

Berdasarkan intensitas pengamatannya, survei tanah dibedakan atas 6 tingkatan survei, yaitu:
(1) Bagan,
(2) Eksplorasi,
(3) Tinjau,
(4) Semi Detail,
(5) Detail, dan
(6) Sangat Detail.

Penjelasan mengenai kerapatan pengamatan, skala, luas tiap 1 cm2 pada peta, satuan peta dan satuan tanah yang dihasilkan, dan contoh penggunaannya adalah sebagai berikut:

(1) Survei Tanah Tingkat Bagan:
Pada survei tanah tingkat bagan belum dilakukan pengamatan lapang karena cukup dengan menghimpun dari data dan peta yang sudah ada atau cukup dengan studi pustaka; kisaran skala yang dihasilkan lebih kecil atau sama dengan 1: 2.500.000 dan pada umumnya skala yang dihasilkan adalah 1 : 2.500.000; sehingga memiliki luas tiap 1 cm2 pada peta adalah 625 km2; satuan peta yang diperoleh adalah Asosiasi dan beberapa Konsosiasi; satuan tanah yang ditampilkan adalah Ordo dan Sub-Ordo; contoh penggunaannya berupa: Gambaran umum tentang sebaran tanah di tingkat nasional yang dimanfaatkan untuk materi pendidikan.

(2) Survei Tanah Tingkat Eksplorasi:
Pada survei tanah tingkat eksplorasi belum dilakukan pengamatan lapang karena cukup dengan menghimpun dari data dan peta yang sudah ada atau cukup dengan studi pustaka; kisaran skala yang dihasilkan berkisar antara: 1 : 1.000.000 sampai dengan 1: 500.000 dan pada umumnya skala yang dihasilkan adalah 1 : 1.000.000; sehingga memiliki luas tiap 1 cm2 pada peta adalah 100 km2 atau kurang; satuan peta yang diperoleh adalah Asosiasi dan beberapa Konsosiasi; satuan tanah yang ditampilkan adalah Grup atau Sub-Grup; contoh penggunaannya berupa: Perencanaan tingkat Nasional, untuk menentukan penelitian secara terarah, dan dimanfaatkan untuk materi pendidikan.

(3) Survei Tanah Tingkat Tinjau:
Pada survei tanah tingkat tinjau perlu dilakukan pengamatan lapang dengan tingkat kerapatan pengamatan di lapang: 1 tiap 12,5 km2 sampai dengan 1 tiap 2 km2; kisaran skala yang dihasilkan berkisar antara: 1 : 500.000 sampai dengan 1: 200.000 dan pada umumnya skala yang dihasilkan adalah 1 : 250.000 atau 1 : 100.000; sehingga memiliki luas tiap 1 cm2 pada peta adalah 625 hektar atau 100 hektar; satuan peta yang diperoleh adalah Asosiasi, kompleks atau asosiasi; satuan tanah yang ditampilkan adalah Sub-Grup atau Famili; contoh penggunaannya berupa: Perencanaan pembangunan makro di tingkat Regional dan Provinsi, Penyusunan tata ruang wilayah propinsi, Penyusunan rencana penggunaan lahan secara nasional, penentuan lokasi wilayah prioritas untuk dikembangkan.

(4) Survei Tanah Tingkat Semi Detail:
Pada survei tanah tingkat semi detail perlu dilakukan pengamatan lapang dengan tingkat kerapatan pengamatan di lapang: 1 tiap 50 hektar; kisaran skala yang dihasilkan berkisar antara: 1 : 100.000 sampai dengan 1: 25.000 dan pada umumnya skala yang dihasilkan adalah 1 : 50.000; sehingga memiliki luas tiap 1 cm2 pada peta adalah 25 hektar; satuan peta yang diperoleh adalah: Konsosiasi, beberapa kompleks dan asosiasi; satuan tanah yang ditampilkan adalah Famili atau Seri; contoh penggunaannya berupa: Penyusunan peta tata ruang wilayah kabupaten/kota; Perencanaan mikro dan operasional untuk proyek-proyek pertanian, perkebunan, transmigrasi, perencanaan dan perluasan jaringan irigasi.

(5) Survei Tanah Tingkat Detail:
Pada survei tanah tingkat detail perlu dilakukan pengamatan lapang dengan tingkat kerapatan pengamatan di lapang: 1 tiap 12,5 hektar atau 1 tiap 8 hektar atau 1 tiap 2 hektar; kisaran skala yang dihasilkan berkisar antara: 1 : 25.000 sampai dengan 1: 10.000 dan pada umumnya skala yang dihasilkan adalah 1 : 25.000 atau 1 : 20.000 atau 1 : 10.000; sehingga memiliki luas tiap 1 cm2 pada peta adalah 6,25 hektar atau 5 hektar atau 1 hektar; satuan peta yang diperoleh adalah: Konsosiasi, beberapa kompleks; satuan tanah yang ditampilkan adalah Fase dari Famili atau Seri; contoh penggunaannya berupa: Perencanaan mikro dan operasional untuk proyek-proyek pengembangan tingkat kabupaten atau kecamatan, perencanaan pemukiman transmigrasi, perencanaan dan pengembangan jaringan irigasi sekunder dan tersier.

(6) Survei Tanah Tingkat Sangat Detail:
Pada survei tanah tingkat sangat detail perlu dilakukan pengamatan lapang dengan tingkat kerapatan pengamatan di lapang: 2 tiap 1 hektar; kisaran skala yang dihasilkan berkisar antara: 1 : 10.000 atau berskala lebih besar; pada umumnya skala yang dihasilkan adalah 1 : 5.000; sehingga memiliki luas tiap 1 cm2 pada peta adalah 0,25 hektar; satuan peta yang diperoleh adalah: Konsosiasi; satuan tanah yang ditampilkan adalah Fase dari Seri; contoh penggunaannya berupa: Perencanaan dan pengelolaan lahan di tingkat petani, penyusunan rancangan usaha tani konservasi; intensifikasi penggunaan lahan kebun.


Daftar Pustaka:

Madjid, A. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Bahan Ajar Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya. http://dasar2ilmutanah.blogspot.com

Hardjowigeno, S. 1992. Ilmu Tanah. Edisi ketiga. PT. Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta. 233 halaman.

Rayes, M. L. 2007. Metode Inventarisasi Sumber Daya Lahan. Penerbit Andi Yogyakarta. Yogyakarta. 298 halaman.

01.58

KESESUAIAN LAHAN FAO 1976

KLASIFIKASI KESESUAIAN LAHAN FAO 1976

Pengertian Keseuaian Lahan:
Kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan suatu bidang lahan untuk suatu penggunaan tertentu.

Pengertian Klasifikasi Kesesuaian Lahan:
Klasifikasi kesesuaian lahan adalah perbandingan (matching) antara kualitas lahan dengan persyaratan penggunaan lahan yang diinginkan.

Struktur Klasifikasi Keseuaian Lahan:
Struktur klasifikasi kesesuaian lahan menurut kerangka kerja FAO 1976 dalam Rayes (2007) adalah terdiri dari 4 kategori sebagai berikut:
(1) Ordo (Order): menunjukkan keadaan kesesuaian secara umum.
(2) Klas (Class) : menunjukkan tingkat kesesuaian dalam ordo.
(3) Sub-Klas : menunjukkan keadaan tingkatan dalam kelas yang didasarkan pada jenis pembatas atau macam perbaikan yang diperlukan dalam kelas.
(4) Satuan (Unit): menunjukkan tingkatan dalam sub-kelas didasarkan pada perbedaan-perbedaan kecil yang berpengaruh dalam pengelolaannya.


Kesesuaian Lahan Pada Tingkat Ordo:

Kesesuaian lahan pada tingkat Ordo berdasarkan kerangka kerja evaluasi lahan FAO (1976) dibedakan menjadi 2 kategori, yaitu:

(1) Ordo S : Sesuai (Suitable)
Ordo S atau Sesuai (Suitable) adalah lahan yang dapat digunakan untuk penggunaan tertentu secara lestari, tanpa atau sedikit resiko kerusakan terhadap sumber daya lahannya. Penggunaan lahan tersebut akan memberi keuntungan lebih besar daripada masukan yang diberikan.

(2) Ordo N: Tidak Sesuai (Not Suitable)
Ordo N atau tidak sesuai (not suitable) adalah lahan yang mempunyai pembatas demikian rupa sehingga mencegah penggunaan secara lestari untuk suatu tujuan yang direncanakan.
Lahan kategori ini yaitu tidak sesuai untuk penggunaan tertentu karena beberapa alasan. Hal ini dapat terjadi karena penggunaan lahan yang diusulkan secara teknis tidak memungkinkan untuk dilaksanakan, misalnya membangun irigasi pada lahan yang curamyang berbatu, atau karena dapat menyebabkan degradasi lingkungan yang parah, seperti penanaman pada lereng yang curam. Selain itu, sering pula didasarkan pada pertimbangan ekonomi yaitu nilai keuntungan yang diharapkan lebih kecil daripada biaya yang dikeluarkan.


Kesesuaian Lahan pada Tingkat Kelas

Pengertian Kelas Kesesuaian Lahan:

Kelas kesesuaian lahan merupakan pembagian lebih lanjut dari Ordo dan menggambarkan tingkat kesesuaian dari suatu Ordo.

Tingkat dalam kelas ditunjukkan oleh angka (nomor urut) yang ditulis dibelakang simbol Ordo. Nomor urut tersebut menunjukkan tingkatan kelas yang makin menurun dalam suatu Ordo.

Jumlah kelas yang dianjurkan adalah sebanyak 3 (tiga) kelas dalam Ordo S, yaitu: S1, S2, S3 dan 2 (dua) kelas dalam Ordo N, yaitu: N1 dan N2. Penjelasan secara kualitatif dari definisi dalam pembagian kelas disajikan dalam uraian berikut:

Kelas S1:
Kelas S1 atau Sangat Sesuai (Highly Suitable) merupakan lahan yang tidak mempunyai pembatas yang berat untuk penggunaan secara lestari atau hanya mempunyai pembatas tidak berarti dan tidak berpengaruh nyata terhadap produksi serta tidak menyebabkan kenaikan masukan yang diberikan pada umumnya.

Kelas S2:
Kelas S2 atau Cukup Sesuai (Moderately Suitable) merupakan lahan yang mempunyai pembatas agak berat untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus dilakukan. Pembatas akan mengurangi produktivitas dan keuntungan, serta meningkatkan masukan yang diperlukan.

Kelas S3:
Kelas S3 atau Sesuai Marginal (Marginal Suitable) merupakan lahan yang mempunyai pembatas yang sangat berat untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus dilakukan.Pembatas akan mengurangi produktivitas dan keuntungan. Perlu ditingkatkan masukan yang diperlukan.

Kelas N1:
Kelas N1 atau Tidak Sesuai Saat Ini (Currently Not Suitable) merupakan lahan yang mempunyai pembatas yang lebih berat, tapi masih mungkin untuk diatasi, hanya tidak dapat diperbaiki dengan tingkat pengetahuan sekarang ini dengan biaya yang rasional. Faktor-faktor pembatasnya begitu berat sehingga menghalangi keberhasilan penggunaan lahan yang lestari dalam jangka panjang.

Kelas N2:
Kelas N2 atau Tidak Sesuai Selamanya (Permanently Not Suitable) merupakan lahan yang mempunyai pembatas yang sangat berat, sehingga tidak mungkin digunakan bagi suatu penggunaan yang lestari.


4 (Empat) Macam Klasifikasi Kesesuaian Lahan

Berdasarkan kerangka kerja evaluasi lahan FAO (1976) dikenal empat macam klasifikasi kesesuaian lahan, yaitu:
(1) Kesesuaian lahan yang bersifat kualitatif.
(2) Kesesuaian lahan yang bersifat kuantitatif.
(3) Kesesuaian lahan aktual.
(4) Kesesuaian lahan potensial.


Daftar Pustaka:

Madjid, A. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Bahan Ajar Online. http://dasar2ilmutanah.blogspot.com

Hardjowigeno, S. 1992. Ilmu Tanah. Edisi ketiga. PT. Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta. 233 halaman.

Rayes, M. L. 2007. Metode Inventarisasi Sumber Daya Lahan. Penerbit Andi Yogyakarta. Yogyakarta. 298 halaman.

03.33

Klasifikasi Tanah

Klasifikasi Tanah

Salah satu sistem klasifikasi tanah yang telah dikembangkan Amerika Serikat dikenal dengan nama: Soil Taxonomy (USDA, 1975; Soil Survey Satff, 1999; 2003). Sistem klasifikasi ini menggunakan enam (6) kateori, yaitu:
1. Ordo (Order)
2. Subordo (Sub-Order)
3. Grup (Great group)
4. Sub-grup (Subgroup)
5. Famili (Family)
6. Seri.


Ciri Pembeda Setiap Kategori:

Kategori Ordo Tanah:
Ordo tanah dibedakan berdasarkan ada tidaknya horison penciri serta jenis (sifat) dari horison penciri tersebut.
Sebagai contoh: suatu tanah yang memiliki horison argilik dan berkejenuhan basa lebih besar dari 35% termasuk ordo Alfisol. Sedangkan tanah lain yang memiliki horison argilik tetapi berkejenuhan basa kurang dari 35% termasuk ordo Ultisol.
Contoh tata nama tanah kategori Ordo:
Ultisol.
(Keterangan: tanah memiliki horison argilik dan berkejenuhan basa kurang dari 35% serta telah mengalami perkembangan tanah tingkat akhir = Ultus). Nama ordo tanah Ultisol pada tata nama untuk kategori sub ordo akan digunakan singkatan dari nama ordo tersebut, yaitu: Ult merupakan singkatan dari ordo Ultisol).

Kategori Sub-ordo Tanah:
Sub-ordo tanah dibedakan berdasarkan perbedaan genetik tanah, misalnya: ada tidaknya sifat-sifat tanah yang berhubungan dengan pengaruh: (1) air, (2) regim kelembaban, (3) bahan iduk utama, dan (4) vegetasi. Sedangkan pembeda sub-ordo untuk tanah ordo histosol (tanah organik) adalah tingkat pelapukan dari bahan organik pembentuknya: fibris, hemis, dan safris.
Contoh tata nama tanah kategori Sub Ordo:
Udult.
(Keterangan: tanah berordo Ultisol yang memiliki regim kelembaban yang selalu lembab dan tidak pernah kering yang disebut: Udus, sehingga digunakan singkatan kata penciri kelembaban ini yaitu: Ud. Kata Ud ditambahkan pada nama Ordo tanahUltisol yang telah disingkat Ult, menjadi kata untuk tata nama kategori sub-ordo, yaitu: Udult).

Kategori Great Group Tanah:
Great Group tanah dibedakan berdasarkan perbedaan: (1) jenis, (2) tingkat perkembangan, (3) susunan horison, (4) kejenuhan basa, (5) regi suhu, dan (6) kelembaban, serta (7) ada tidaknya lapisan-lapisan penciri lain, seperti: plinthite, fragipan, dan duripan.
Contoh tata nama tanah kategori Great Group:
Fragiudult.
(Keterangan: tanah tersebut memiliki lapisan padas yang rapuh yang disebut Fragipan, sehingga ditambahkan singkatan kata dari Fragipan, yaitu: Fragi. Kata Fragi ditambahkan pada Sub Ordo: Udult, menjadi kata untuk tata nama kategori great group, yaitu: Fragiudult)

Kategori Sub Group Tanah:
Sub Group tanah dibedakan berdasarkan: (1) sifat inti dari great group dan diberi nama Typic, (2) sifat-sifat tanah peralihan ke: (a) great group lain, (b) sub ordo lain, dan (c) ordo lain, serta (d) ke bukan tanah.
Contoh tata nama tanah kategori Sub Group:
Aquic Fragiudult.
(keterangan: tanah tersebut memiliki sifat peralihan ke sub ordo Aquult karena kadang-kadang adanya pengaruh air, sehingga termasuk sub group Aquic).

Kategori Famili Tanah:
Famili tanah dibedakan berdasarkan sifat-sifat tanah yang penting untuk pertanian dan atau engineering, meliputi sifat tanah: (1) sebaran besar butir, (2) susunan mineral liat, (3) regim temperatur pada kedalaman 50 cm.
Contoh tata nama tanah pada kategori Famili:
Aquic Fragiudult, berliat halus, kaolinitik, isohipertermik.
(keterangan: Penciri Famili dari tanah ini adalah: (1) susunan besar butir adalah berliat halus, (2) susunan mineral liat adalah didominasi oleh mineral liat kaolinit, (3) regim temperatur adalah isohipertermik, yaitu suhu tanah lebih dari 22 derajat celsius dengan perbedaan suhu tanah musim panas dengan musim dingin kurang dari 5 derajat celsius).

Kategori Seri Tanah:
Seri tanah dibedakan berdasarkan: (1) jenis dan susunan horison, (2) warna, (3) tekstur, (4) struktur, (5) konsistensi, (6) reaksi tanah dari masing-masing horison, (7) sifat-sifat kimia tanah lainnya, dan (8) sifat-sifat mineral dari masing-masing horison. Penetapan pertama kali kategori Seri tanah dapat digunakan nama lokasi tersebut sebagai penciri seri.
Contoh tata nama tanah pada kategori Seri:
Aquic Fragiudult, berliat halus, kaolinitik, isohipertermik, Sitiung.
(Keterangan: Sitiung merupakan lokasi pertama kali ditemukan tanah pada kategori Seri tersebut).


Sistem klasifikasi tanah ini berbeda dengan sistem yang sudah ada sebelumnya. Sistem klasifikasi ini memiliki keistimewaan terutama dalam hal:
1. Penamaan atau Tata Nama atau cara penamaan.
2. Definisi-definisi horison penciri.
3. Beberapa sifat penciri lainnya.Sistem klasifikasi tanah terbaru ini memberikan Penamaan Tanah berdasarkan sifat utama dari tanah tersebut.

Menurut Hardjowigeno (1992) terdapat 10 ordo tanah dalam sistem Taksonomi Tanah USDA 1975 dengan disertai singkatan nama ordo tersebut, adalah sebagai berikiut:
1. Alfisol --> disingkat: Alf
2. Aridisol --> disingkat: Id
3. Entisol --> disingkat: Ent
4. Histosol --> disingkat: Ist
5. Inceptisol --> disingkat: Ept
6. Mollisol --> disingkat: Oll
7. Oxisol --> disingkat: Ox
8. Spodosol --> disingkat: Od
9. Ultisol --> disingkat: Ult
10. Vertisol --> disingkat: Ert

Selanjutnya, sistem klasifikasi tanah ini telah berkembang dari 10 ordo pata tahun 1975 menjadi 12 ordo tahun 2003 (Rayes, 2007). Kedua-belas ordo tersebut dibedakan berdasarkan:
(1) ada atau tidaknya horison penciri,
(2) jenis horison penciri, dan
(3) sifat-sifat tanah lain yang merupakan hasil dari proses pembentukan tanah, meliputi:
3.1 penciri khusus, dan
3.2 penciri lainnya.

Horizon Penciri terdiri dari dua bagian:
(a) horizon atas (permukaan) atau epipedon, dan
(b) horizon bawah atau endopedon.

Epipedon atau horison atas / permukaan penciri dibedakan dalam 8 kategori (Soil Survey Staff, 2003), yaitu:
(a) epipedon mollik,
(b) epipedon umbrik,
(c) epipedon okrik,
(d) epipedon histik,
(e) epipedon melanik,
(f) epipedon anthropik,
(g) epipedon folistik, dan
(h) epipedon plagen.

Endopedon atau horizon bawah penciri dibedakan menjadi 13 (Soil Survey Satff, 2003), yiatu:
(a) horizon argilik,
(b) horizon kambik,
(c) horizon kandik,
(d) horizon kalsik,
(e) horizon oksik,
(f) horison gipsik,
(g) horizon petrokalsik,
(h) horizon natrik,
(i) horizon plakik,
(j) horizon spodik,
(k) horizon sulfuric,
(l) horizon albik.

Beberapa Sifat Penciri Khusus, adalah:
(a) konkresi,
(b) padas (pan),
(c) fraipan, (duripan),
(d) Plintit,
(e) slickenside,
(f) selaput liat,
(g) kontak litik,
(h) kontak paralithik.

Beberapa Sifat Penciri Lain, adalah:
(a) rezim suhu tanah,
(b) rezim lengas tanah, dan
(c) sifat-sifat tanah Andik.

Rezim suhu tanah dibedakan dalam 3 kategori, yaitu:
(a) mesic: merupakan suhu tanah rata-rata tahunan 8oC s/d 15oC.
(b) thermic: merupakan suhu tanah rata-rata tahunan 15oC s/d 22oC.
(c) hyperthermic: merupakan suhu tanah rata-rata tahunan > 22oC.
Istilah iso (iso-mesic, iso-thermic, iso-hyperthermic) digunakan untuk menunjukkan perbedaan suhu tanah rata-rata musim panas dan musim dingin < 6oC).

Rezim lengas tanah dibedakan dalam 4 kategori, yaitu:
(a) aquic: tanah hampir selalu jenuh air, sehingga terjadi reduksi dan ditunjukkan oleh adanya karatan dengan chroma rendah (chroma < 2 dan value < 4). (b) perudic: curah hujan setiap bulan selalu melebihi evapotranspirasi. (c) udic: tanah tidak pernah kering selama 90 hari (kumulatif) setiap tahunnya. (d) ustic: tanah setiap tahunnya kering lebih dari 90 hari (kumulatif) tetapi kurang dari 180 hari. Pengertian 10 ordo tanah menurut Hardjowigeno (1992) adalah sebagai berikut:

Alfisol:
Tanah yang termasuk ordo Alfisol merupakan tanah-tanah yang terdapat penimbunan liat di horison bawah (terdapat horison argilik)dan mempunyai kejenuhan basa tinggi yaitu lebih dari 35% pada kedalaman 180 cm dari permukaan tanah. Liat yang tertimbun di horison bawah ini berasal dari horison di atasnya dan tercuci kebawah bersama dengan gerakan air. Padanan dengan sistem klasifikasi yang lama adalah termasuk tanah Mediteran Merah Kuning, Latosol, kadang-kadang juga Podzolik Merah Kuning.

Aridisol:
Tanah yang termasuk ordo Aridisol merupakan tanah-tanah yang mempunyai kelembapan tanah arid (sangat kering). Mempunyai epipedon ochrik, kadang-kadang dengan horison penciri lain. Padanan dengan klasifikasi lama adalah termasuk Desert Soil.

Entisol:
Tanah yang termasuk ordo Entisol merupakan tanah-tanah yang masih sangat muda yaitu baru tingkat permulaan dalam perkembangan. Tidak ada horison penciri lain kecuali epipedon ochrik, albik atau histik. Kata Ent berarti recent atau baru. Padanan dengan sistem klasifikasi lama adalah termasuk tanah Aluvial atau Regosol.

Histosol:
Tanah yang termasuk ordo Histosol merupakan tanah-tanah dengan kandungan bahan organik lebih dari 20% (untuk tanah bertekstur pasir) atau lebih dari 30% (untuk tanah bertekstur liat). Lapisan yang mengandung bahan organik tinggi tersebut tebalnya lebih dari 40 cm. Kata Histos berarti jaringan tanaman. Padanan dengan sistem klasifikasi lama adalah termasuk tanah Organik atau Organosol.

Inceptisol:
Tanah yang termasuk ordo Inceptisol merupakan tanah muda, tetapi lebih berkembang daripada Entisol. Kata Inceptisol berasal dari kata Inceptum yang berarti permulaan. Umumnya mempunyai horison kambik. Tanah ini belum berkembang lanjut, sehingga kebanyakan dari tanah ini cukup subur. Padanan dengan sistem klasifikasi lama adalah termasuk tanah Aluvial, Andosol, Regosol, Gleihumus, dll.

Mollisol:
Tanah yang termasuk ordo Mollisol merupakan tanah dengan tebal epipedon lebih dari 18 cm yang berwarna hitam (gelap), kandungan bahan organik lebih dari 1%, kejenuhan basa lebih dari 50%. Agregasi tanah baik, sehingga tanah tidak keras bila kering. Kata Mollisol berasal dari kata Mollis yang berarti lunak. Padanan dengan sistem kalsifikasi lama adalah termasuk tanah Chernozem, Brunize4m, Rendzina, dll.

Oxisol:
Tanah yang termasuk ordo Oxisol merupakan tanah tua sehingga mineral mudah lapuk tinggal sedikit. Kandungan liat tinggi tetapi tidak aktif sehingga kapasitas tukar kation (KTK) rendah, yaitu kurang dari 16 me/100 g liat. Banyak mengandung oksida-oksida besi atau oksida Al. Berdasarkan pengamatan di lapang, tanah ini menunjukkan batas-batas horison yang tidak jelas. Padanan dengan sistem klasifikasi lama adalah termasuk tanah Latosol (Latosol Merah & Latosol Merah Kuning), Lateritik, atau Podzolik Merah Kuning.

Spodosol:
Tanah yang termasuk ordo Spodosol merupakan tanah dengan horison bawah terjadi penimbunan Fe dan Al-oksida dan humus (horison spodik) sedang, dilapisan atas terdapat horison eluviasi (pencucian) yang berwarna pucat (albic). Padanan dengan sistem klasifikasi lama adalah termasuk tanah Podzol.

Ultisol:
Tanah yang termasuk ordo Ultisol merupakan tanah-tanah yang terjadi penimbunan liat di horison bawah, bersifat masam, kejenuhan basa pada kedalaman 180 cm dari permukaan tanah kurang dari 35%. Padanan dengan sistem klasifikasi lama adalah termasuk tanah Podzolik Merah Kuning, Latosol, dan Hidromorf Kelabu.

Vertisol:
Tanah yang termasuk ordo Vertisol merupakan tanah dengan kandungan liat tinggi (lebih dari 30%) di seluruh horison, mempunyai sifat mengembang dan mengkerut. Kalau kering tanah mengkerut sehingga tanah pecah-pecah dan keras. Kalau basah mengembang dan lengket. Padanan dengan sistem klasifikasi lama adalah termasuk tanah Grumusol atau Margalit.


Daftar Pustaka:

Hardjowigeno, S. 1992. Ilmu Tanah. Edisi ketiga. PT. Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta. 233 halaman.

Hardjowigeno, S. 1993. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Akademika Pressindo. Jakarta. 274 Halaman.

Madjid, A. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Bahan Ajar online. Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian. Universitas Sriwijaya. Http://dasar2ilmutanah.blogspot.com.

Rayes, M. L. 2007. Metode Inventarisasi Sumber Daya Lahan. Penerbit Andi Yogyakarta. Yogyakarta. 298 halaman.

03.25

Padanan Beberapa Nama Tanah

Padanan Beberapa Nama Tanah

Padanan nama tanah antara Soil Taxonomy tahun 1999 (A) dengan berbagai sistem klasifikasi tanah lain, yaitu: FAO Unesco tahun 1974 (B), Dudal dan Supraptohardjo tahun 1957 (C) dan Thorp and Smith tahun 1949 (D) adalah sebagai berikut:

(1) Histosol:
(A) Histosol.
(B) Histosols.
(C) Organic Soils.
(D) Bog Soils; Hall Bog Soils.

(2) Entisol:
(A) Entisol.
(B) Lithosols; Rankers; Fluvisols; Regosols; Gleysols; Arenosols.
(C) Lithosols; - ; Aluvials; Regosols; Low-Humic Gley Soils; Regosols.
(D) Lithosols; - ; Alluvial Soils; Regosols; Low-Humic Glei Soils.

(3) Inceptisol:
(A) Inceptisol.
(B) Fluvisols; - ; Cambisols; Cambisols; Gleysols; - ; Solonchaks.
(C) Alluvials; Regosols; Latosols; Brown Forest Soils (Calcisols); Humic Gley Soils (Hydrosols); Low Humic Gley Soils (Hydrosols).
(D) Alluvial Soils; Regosols; Laterit Soils (Latosols); Brown Forest Soils (Braunerde); Humic-Glei Soils; Solonchak.

(4) Vertisol:
(A) Vertisol.
(B) Vertisols.
(C) Regur Soils.
(D) Black Cotton SoilsJRegur.

(5) Andisol:
(A) Andisol.
(B) Andosols.
(C) Andosols.
(D) Ando Soils.

(6) Alfisol:
(A) Alfisol.
(B) Luvisols; Luvisols; Luvisols; Planosols; Solonetz; Nilosols.
(C) Red Yellow Mediterranean Soils; Latosols; - ; Planosols (Hydrosols); - ; - .
(D) - ; Laterit Soils (Latosols); Noncalcic Brown; Planosols; Solonetz Soils; - .

(7) Mollisol:
(A) Mollisol.
(B) Rendzinas; - ; Solonetz; Gleysols; Solonchaks; Greyzems; Phaeozems; Chernozems; Kastanozemz.
(C) Rendzina (Calcisols); Latosols; - ; Humic Gley Soils (Hydrosols); - ; - ; - ; - ; -.
(D) Rendzina Soils; Laterite Soils (Latosol); Solonetz Soils; Humic-Glei Soils; Solonchaks; Prairie Soils; Degraded Chernozem; Chernozems; Chesnut Soils.

(8) Ultisol:
(A) Ultisol.
(B) Nitosols; Acrisols; Planosols; - .
(C) Red Yellow Podsolic Soils; Latosols; Planosols (Hydrosols); Gray Hidromorphic Soils (Hydrosols).
(D) Red-Yellow Podsolic Soils; Laterite Soils (Latosols); Planosols; - .

(9) Oxisol:
(A) Oxisol.
(B) Ferralsols; - .
(C) Latosols ?; Ground-Water Laterite Soils (Hydrosols).
(D) Laterite Soils (Latosols); Ground-Water Laterite Soils.

(10) Spodosol:
(A) Spodosol.
(B) Podsols; - ; Podsols.
(C) Podsols; - ; Ground-Water Podsols.
(D) Podsols Soils; Gray Podsolic Soils; Ground-Water Podsol Soils.

Sumber: Subagyo, Suharta, dan Siswanto (2004) dalam Rayes (2007).


Daftar Pustaka:

Hardjowigeno, S. 1992. Ilmu Tanah. Edisi ketiga. PT. Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta. 233 halaman.

Rayes, M. L. 2007. Metode Inventarisasi Sumber Daya Lahan. Penerbit Andi Yogyakarta. Yogyakarta. 298 halaman.

Subagyo, H., N. Suharta dan A. B. Siswanto. 2004. Tanah-tanah Pertanian di Indoensia. Dalam: Sumber Daya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor.

02.09

Sifat Fisika Tanah

Sifat Fisika Tanah

Beberapa sifat fisika tanah yang utama adalah:
(1) tekstur tanah,
(2) struktur tanah,
(3) bobot isi tanah,
(4) warna tanah, dan
(5) konsistensi tanah
(6) kadar air tanah.

02.02

Sifat Fisika Tanah (Bagian 1: Tekstur Tanah)

Tekstur Tanah

Tanah disusun dari butir-butir tanah dengan berbagai ukuran. Bagian butir tanah yang berukuran lebih dari 2 mm disebut bahan kasar tanah seperti kerikil, koral sampai batu. Bagian butir tanah yang berukuran kurang dari 2 mm disebut bahan halus tanah. Bahan halus tanah dibedakan menjadi:
(1) pasir, yaitu butir tanah yang berukuran antara 0,050 mm sampai dengan 2 mm.
(2) debu, yaitu butir tanah yang berukuran antara 0,002 mm sampai dengan 0,050 mm.
(3) liat, yaitu butir tanah yang berukuran kurang dari 0,002 mm.

Menurut Hardjowigeno (1992) tekstur tanah menunjukkan kasar halusnya tanah. Tekstur tanah merupakan perbandingan antara butir-butir pasir, debu dan liat. Tekstur tanah dikelompokkan dalam 12 klas tekstur. Kedua belas klas tekstur dibedakan berdasarkan prosentase kandungan pasir, debu dan liat.

Tekstur tanah di lapangan dapat dibedakan dengan cara manual yaitu dengan memijit tanah basah di antara jari jempol dengan jari telunjuk, sambil dirasakan halus kasarnya yang meliputi rasa keberadaan butir-butir pasir, debu dan liat, dengan cara sebagai berikut:
(1) apabila rasa kasar terasa sangat jelas, tidak melekat, dan tidak dapat dibentuk bola dan gulungan, maka tanah tersebut tergolong bertekstur Pasir.
(2) apabila rasa kasar terasa jelas, sedikit sekali melekat, dan dapat dibentuk bola tetapi mudah sekali hancur, maka tanah tersebut tergolong bertekstur Pasir Berlempung.
(3) apabila rasa kasar agak jelas, agak melekat, dan dapat dibuat bola tetapi mudah hancur, maka tanah tersebut tergolong bertekstur Lempung Berpasir.
(4) apabila tidak terasa kasar dan tidak licin, agak melekat, dapat dibentuk bola agak teguh, dan dapat sedikit dibuat gulungan dengan permukaan mengkilat, maka tanah tersebut tergolong bertekstur Lempung.
(5) apabila terasa licin, agak melekat, dapat dibentuk bola agak teguh, dan gulungan dengan permukaan mengkilat, maka tanah tersebut tergolong bertekstur Lempung Berdebu.
(6) apabila terasa licin sekali, agak melekat, dapat dibentuk bola teguh, dan dapat digulung dengan permukaan mengkilat, maka tanah tersebut tergolong bertekstur Debu.
(7) apabila terasa agak licin, agak melekat, dapat dibentuk bola agak teguh, dan dapat dibentuk gulungan yang agak mudah hancur, maka tanah tersebut tergolong bertekstur Lempung Berliat.
(8) apabila terasa halus dengan sedikit bagian agak kasar, agak melekat, dapat dibentuk bola agak teguh, dan dapat dibentuk gulungan mudah hancur, maka tanah tersebut tergolong bertekstur Lempung Liat Berpasir.
(9) apabila terasa halus, terasa agak licin, melekat, dan dapat dibentuk bola teguh, serta dapat dibentuk gulungan dengan permukaan mengkilat, maka tanah tersebut tergolong bertekstur Lempung Liat Berdebu.
(10) apabila terasa halus, berat tetapi sedikit kasar, melekat, dapat dibentuk bola teguh, dan mudah dibuat gulungan, maka tanah tersebut tergolong bertekstur Liat Berpasir.
(11) apabila terasa halus, berat, agak licin, sangat lekat, dapat dibentuk bola teguh, dan mudah dibuat gulungan, maka tanah tersebut tergolong bertekstur Liat Berdebu.
(12) apabila terasa berat dan halus, sangat lekat, dapat dibentuk bola dengan baik, dan mudah dibuat gulungan, maka tanah tersebut tergolong bertekstur Liat.

Hubungan Tekstur Tanah dengan Daya Menahan Air dan Ketersediaan Hara
Tanah bertekstur liat mempunyai luas permukaan yasng lebih besar sehingga kemampuan menahan air dan menyediakan unsur hara tinggi. Tanah bertekstur halus lebih aktif dalam reaksi kimia daripada tanah bertekstur kasar. Tanah bertekstur pasir mempunyai luas permukaan yang lebih kecil sehingga sulit menyerap (menahan) air dan unsur hara.

01.57

Sifat Fisika Tanah (Bagian 2: Struktur Tanah)

Struktur Tanah
Struktur tanah merupakan gumpalan kecil dari butir-butir tanah. Gumpalan struktur tanah ini terjadi karena butir-butir pasir, debu, dan liat terikat satu sama lain oleh suatu perekat seperti bahan organik, oksida-oksida besi, dan lain-lain. Gumpalan-gumpalan kecil (struktur tanah) ini mempunyai bentuk, ukuran, dan kemantapan (ketahanan) yang berbeda-beda.

Struktur tanah dikelompokkan dalam 6 bentuk. Keenam bentuk tersebut adalah:
(1) Granular, yaitu struktur tanah yang berbentuk granul, bulat dan porous, struktur ini terdapat pada horison A.
(2) Gumpal (blocky), yaitu struktur tanah yang berbentuk gumpal membuat dan gumpal bersudut, bentuknya menyerupai kubus dengan sudut-sudut membulat untuk gumpal membulat dan bersudut tajam untuk gumpal bersudut, dengan sumbu horisontal setara dengan sumbu vertikal, struktur ini terdapat pada horison B pada tanah iklim basah.
(3) Prisma (prismatic), yaitu struktur tanah dengan sumbu vertical lebih besar daripada sumbu horizontal dengan bagian atasnya rata, struktur ini terdapat pada horison B pada tanah iklim kering.
(4) Tiang (columnar), yaitu struktur tanah dengan sumbu vertical lebih besar daripada sumbu horizontal dengan bagian atasnya membuloat, struktur ini terdapat pada horison B pada tanah iklim kering.
(5) Lempeng (platy), yaitu struktur tanah dengan sumbu vertikal lebih kecil daripada sumbu horizontal, struktur ini ditemukan di horison A2 atau pada lapisan padas liat.(6) Remah (single grain), yaitu struktur tanah dengan bentuk bulat dan sangat porous, struktur ini terdapat pada horizon A.

Tanah yang terbentuk di daerah dengan curah hujan tinggi umumnya ditemukan struktur remah atau granular di tanah lapisan atas (top soil) yaitu di horison A dan struktur gumpal di horison B atau tanah lapisan bawah (sub soil). Akan tetapi, pada tanah yang terbentuk di daerah

01.52

Sifat Fisika Tanah (Bagian 3: Bobot Isi Tanah)

Menurut Hanafiah (2005) bahwa bobot isi tanah merupakan kerapatan tanah per satuan volume yang dinyatakan dalam dua batasan berikut ini:
(1) Kerapatan partikel (bobot partikel = BP) adalah bobot massa partikel padat per satuan volume tanah, biasanya tanah mempunyai kerapatan partikel 2,6 gram cm-3, dan
(2) Kerapatan massa (bobot isi = BI) adalah bobot massa tanah kondisi lapangan yang dikering-ovenkan per satuan volume.

Nilai kerapatan massa tanah berbanding lurus dengan tingkat kekasaran partikel-partikel tanah, makin kasar akan makin berat. Tanah lapisan atas yang bertekstur liat dan berstruktur granuler mempunyai bobot isi (BI) antara 1,0 gram cm-3 sampai dengan 1,3 gram cm-3, sedangkan yang bertekstur kasar memiliki bobot isi antara 1,3 gram cm-3 sampai dengan 1,8 gram cm-3. Sebagai contoh pembanding adalah bobot isi air = 1 gram cm-3 = 1 ton gram cm-3 .
Contoh perhitungan dalam menentukan bobot tanah dengan menggunakan bobot isi adalah sebagai berikut: 1 hekar tanah yang diasumsikan mempunyai bobot isi (BI) = 1,0 gram cm-3 dengan kedalaman 20 cm, akan mempunyai bobot tanah sebesar:
= {(volume 1 hektar tanah dengan kedalaman 20 cm) x (BI)}
= {(100 m x 100 m x 0,2 m) x (1,0 gram cm-3 )}
= {(2.000 m-3) x (1 ton m-3)}
= 2.000 ton m-3

Apabila tanah tersebut mengandung 1% bahan organik, ini berarti terdapat 20 ton m-3 bahan organik per hektar.

Pustaka Acuan:
Madjid, A. 2007. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Bahan Ajar Online Fakultas Pertanian Unsri. http://dasar2ilmutanah.blogspot.com

Hanafiah, K. A. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Divisi Buku Perguruan Tinggi. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 360 halaman.

01.45

Sifat Fisika Tanah (Bagian 4: Warna Tanah)

Warna tanah merupakan gabungan berbagai warna komponen penyusun tanah. Warna tanah berhubungan langsung secara proporsional dari total campuran warna yang dipantulkan permukaan tanah. Warna tanah sangat ditentukan oleh luas permukaan spesifik yang dikali dengan proporsi volumetrik masing-masing terhadap tanah. Makin luas permukaan spesifik menyebabkan makin dominan menentukan warna tanah, sehingga warna butir koloid tanah (koloid anorganik dan koloid organik) yang memiliki luas permukaan spesifik yang sangat luas, sehingga sangat mempengaruhi warna tanah. Warna humus, besi oksida dan besi hidroksida menentukan warna tanah. Besi oksida berwarna merah, agak kecoklatan atau kuning yang tergantung derajat hidrasinya. Besi tereduksi berwarna biru hijau. Kuarsa umumnya berwarna putih. Batu kapur berwarna putih, kelabu, dan ada kala berwarna olive-hijau. Feldspar berwarna merah. Liat berwarna kelabu, putih, bahkan merah, ini tergantung proporsi tipe mantel besinya.

Selain warna tanah juga ditemukan adanya warna karatan (mottling) dalam bentuk spot-spot. Karatan merupakan warna hasil pelarutan dan pergerakan beberapa komponen tanah, terutama besi dan mangan, yang terjadi selama musim hujan, yang kemudian mengalami presipitasi (pengendapan) dan deposisi (perubahan posisi) ketika tanah mengalami pengeringan. Hal ini terutama dipicu oleh terjadinya: (a) reduksi besi dan mangan ke bentuk larutan, dan (b) oksidasi yang menyebabkan terjadinya presipitasi. Karatan berwarna terang hanya sedikit terjadi pada tanah yang rendah kadar besi dan mangannya, sedangkan karatan berwarna gelap terbentuk apabila besi dan mangan tersebut mengalami presipitasi. Karatan-karatan yang terbentuk ini tidak segera berubah meskipun telah dilakukan perbaikan drainase.

Menurut Hardjowigeno (1992) bahwa warna tanah berfungsi sebagai penunjuk dari sifat tanah, karena warna tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor yang terdapat dalam tanah tersebut. Penyebab perbedaan warna permukaan tanah umumnya dipengaruhi oleh perbedaan kandungan bahan organik. Makin tinggi kandungan bahan organik, warna tanah makin gelap. Sedangkan dilapisan bawah, dimana kandungan bahan organik umumnya rendah, warna tanah banyak dipengaruhi oleh bentuk dan banyaknya senyawa Fe dalam tanah. Di daerah berdrainase buruk, yaitu di daerah yang selalu tergenang air, seluruh tanah berwarna abu-abu karena senyawa Fe terdapat dalam kondisi reduksi (Fe2+). Pada tanah yang berdrainase baik, yaitu tanah yang tidak pernah terendam air, Fe terdapat dalam keadaan oksidasi (Fe3+) misalnya dalam senyawa Fe2O3 (hematit) yang berwarna merah, atau Fe2O3. 3 H2O (limonit) yang berwarna kuning cokelat. Sedangkan pada tanah yang kadang-kadang basah dan kadang-kadang kering, maka selain berwarna abu-abu (daerah yang tereduksi) didapat pula becak-becak karatan merah atau kuning, yaitu di tempat-tempat dimana udara dapat masuk, sehingga terjadi oksidasi besi ditempat tersebut. Keberadaan jenis mineral kwarsa dapat menyebabkan warna tanah menjadi lebih terang.

Menurut Wirjodihardjo dalam Sutedjo dan Kartasapoetra (2002) bahwa intensitas warna tanah dipengaruhi tiga faktor berikut: (1) jenis mineral dan jumlahnya, (2) kandungan bahan organik tanah, dan (3) kadar air tanah dan tingkat hidratasi. Tanah yang mengandung mineral feldspar, kaolin, kapur, kuarsa dapat menyebabkan warna putih pada tanah. Jenis mineral feldspar menyebabkan beragam warna dari putih sampai merah. Hematit dapat menyebabkan warna tanah menjadi merah sampai merah tua. Makin tinggi kandungan bahan organik maka warna tanah makin gelap (kelam) dan sebaliknya makin sedikit kandungan bahan organik tanah maka warna tanah akan tampak lebih terang. Tanah dengan kadar air yang lebih tinggi atau lebih lembab hingga basah menyebabkan warna tanah menjadi lebih gelap (kelam). Sedangkan tingkat hidratasi berkaitan dengan kedudukan terhadap permukaan air tanah, yang ternyata mengarah ke warna reduksi (gleisasi) yaitu warna kelabu biru hingga kelabu hijau.
Selain itu, Hanafiah (2005) mengungkapkan bahwa warna tanah merupakan: (1) sebagai indikator dari bahan induk untuk tanah yang beru berkembang, (2) indikator kondisi iklim untuk tanah yang sudah berkembang lanjut, dan (3) indikator kesuburan tanah atau kapasitas produktivitas lahan. Secara umum dikatakan bahwa: makin gelap tanah berarti makin tinggi produktivitasnya, selain ada berbagai pengecualian, namun secara berurutan sebagai berikut: putih, kuning, kelabu, merah, coklat-kekelabuan, coklat-kemerahan, coklat, dan hitam. Kondisi ini merupakan integrasi dari pengaruh: (1) kandungan bahan organik yang berwarna gelap, makin tinggi kandungan bahan organik suatu tanah maka tanah tersebut akan berwarna makin gelap, (2) intensitas pelindihan (pencucian dari horison bagian atas ke horison bagian bawah dalam tanah) dari ion-ion hara pada tanah tersebut, makin intensif proses pelindihan menyebabkan warna tanah menjadi lebih terang, seperti pada horison eluviasi, dan (3) kandungan kuarsa yang tinggi menyebabkan tanah berwarna lebih terang.

Warna tanah ditentukan dengan membandingkan warna tanah tersebut dengan warna standar pada buku Munsell Soil Color Chart. Diagram warna baku ini disusun tiga variabel, yaitu: (1) hue, (2) value, dan (3) chroma. Hue adalah warna spektrum yang dominan sesuai dengan panjang gelombangnya. Value menunjukkan gelap terangnya warna, sesuai dengan banyaknya sinar yang dipantulkan. Chroma menunjukkan kemurnian atau kekuatan dari warna spektrum. Chroma didefiniskan juga sebagai gradasi kemurnian dari warna atau derajat pembeda adanya perubahan warna dari kelabu atau putih netral (0) ke warna lainnya (19).

Hue dibedakan menjadi 10 warna, yaitu: (1) Y (yellow = kuning), (2) YR (yellow-red), (3) R (red = merah), (4) RP (red-purple), (5) P (purple = ungu), (6) PB (purple-brown), (7) B (brown = coklat), (8) BG (grown-gray), (9) G (gray = kelabu), dan (10) GY (gray-yellow). Selanjutnya setiap warna ini dibagi menjadi kisaran hue sebagai berikut: (1) hue = 0 – 2,5; (2) hue = 2,5 – 5,0; (3) hue = 5,0 – 7,5; (4) hue = 7,5 – 10. Nilai hue ini dalam buku hanya ditulis: 2,5 ; 5,0 ; 7,5 ; dan 10.
Berdasarkan buku Munsell Saoil Color Chart nilai Hue dibedakan menjadi: (1) 5 R; (2) 7,5 R; (3) 10 R; (4) 2,5 YR; (5) 5 YR; (6) 7,5 YR; (7) 10 YR; (8) 2,5 Y; dan (9) 5 Y, yaitu mujlai dari spektrum dominan paling merah (5 R) sampai spektrum dominan paling kuning (5 Y), selain itu juga sering ditambah untuk warna-warna tanah tereduksi (gley) yaitu: (10) 5 G; (11) 5 GY; (12) 5 BG; dan (13) N (netral).

Value dibedakan dari 0 sampai 8, yaitu makin tinggi value menunjukkan warna makin terang (makin banyak sinar yang dipantulkan). Nilai Value pada lembar buku Munsell Soil Color Chart terbentang secara vertikal dari bawah ke atas dengan urutan nilai 2; 3; 4; 5; 6; 7; dan 8. Angka 2 paling gelap dan angka 8 paling terang.

Chroma juga dibagi dari 0 sampai 8, dimana makin tinggi chroma menunjukkan kemurnian spektrum atau kekuatan warna spektrum makin meningkat. Nilai chroma pada lembar buku Munsell Soil Color Chart dengan rentang horisontal dari kiri ke kanan dengan urutan nilai chroma: 1; 2; 3; 4; 6; 8. Angka 1 warna tidak murni dan angka 8 warna spektrum paling murni.

Pencatatan warna tanah dapat menggunakan buku Munsell Soil Color Chart, sebagai contoh:
(1) Tanah berwarna 7,5 YR 5/4 (coklat), yang berarti bahwa warna tanah mempunyai nilai hue = 7,5 YR, value = 5, chroma = 4, yang secara keseluruhan disebut berwarna coklat.
(2) Tanah berwarna 10 R 4/6 (merah), yang berarti bahwa warna tanah tersebut mempunyai nilai hue =10 R, value =4 dan chroma = 6, yang secara keseluruhan disebut berwarna merah.
Selanjutnya, jika ditemukan tanah dengan beberapa warna, maka semua warna harus disebutkan dengan menyebutkan juga warna tanah yang dominannya. Warna tanah akan berbeda bila tanah basah, lembab, atau kering, sehingga dalam menentukan warna tanah perlu dicatat apakah tanah tersebut dalam keadaan basah, lembab, atau kering.

Pustaka Acuan:
Madjid, A. 2007. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Bahan Ajar Online Fakultas Pertanian Unsri. http://dasar2ilmutanah.blogspot.com

Hanafiah, K. A. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Divisi Buku Perguruan Tinggi. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 360 halaman.

Hardjowigeno, S. 1992. Ilmu Tanah. Edisi ketiga. PT. Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta. 233 halaman.

01.05

Sifat Fisika Tanah (Bagian 5: Konsistensi Tanah)

Konsistensi tanah menunjukkan integrasi antara kekuatan daya kohesi butir-butir tanah dengan daya adhesi butir-butir tanah dengan benda lain. Keadaan tersebut ditunjukkan dari daya tahan tanah terhadap gaya yang akan mengubah bentuk. Gaya yang akan mengubah bentuk tersebut misalnya pencangkulan, pembajakan, dan penggaruan. Menurut Hardjowigeno (1992) bahwa tanah-tanah yang mempunyai konsistensi baik umumnya mudah diolah dan tidak melekat pada alat pengolah tanah.

Penetapan konsistensi tanah dapat dilakukan dalam tiga kondisi, yaitu: basah, lembab, dan kering. Konsistensi basah merupakan penetapan konsistensi tanah pada kondisi kadar air tanah di atas kapasitas lapang (field cappacity). Konsistensi lembab merupakan penetapan konsistensi tanah pada kondisi kadar air tanah sekitar kapasitas lapang. Konsistensi kering merupakan penetapan konsistensi tanah pada kondisi kadar air tanah kering udara.

Pada kondisi basah, konsistensi tanah dibedakan berdasarkan tingkat plastisitas dan tingkat kelekatan. Tingkatan plastisitas ditetapkan dari tingkatan sangat plastis, plastis, agak plastis, dan tidak plastis (kaku). Tingkatan kelekatan ditetapkan dari tidak lekat, agak lekat, lekat, dan sangat lekat.

Pada kondisi lembab, konsistensi tanah dibedakan ke dalam tingkat kegemburan sampai dengan tingkat keteguhannya. Konsistensi lembab dinilai mulai dari: lepas, sangat gembur, gembur, teguh, sangat teguh, dan ekstrim teguh. Konsistensi tanah gembur berarti tanah tersebut mudah diolah, sedangkan konsistensi tanah teguh berarti tanah tersebut agak sulit dicangkul.

Pada kondisi kering, konsistensi tanah dibedakan berdasarkan tingkat kekerasan tanah. Konsistensi kering dinilai dalam rentang lunak sampai keras, yaitu meliputi: lepas, lunak, agak keras, keras, sangat keras, dan ekstrim keras.

Cara penetapan konsistensi untuk kondisi lembab dan kering ditentukan dengan meremas segumpal tanah. Apabila gumpalan tersebut mudah hancur, maka tanah dinyatakan berkonsistensi gembur untuk kondisi lembab atau lunak untuk kondisi kering. Apabila gumpalan tanah sukar hancur dengan cara remasan tersebut maka tanah dinyatakan berkonsistensi teguh untuk kondisi lembab atau keras untuk kondisi kering.

Dalam keadaan basah ditentukan mudah tidaknya melekat pada jari, yaitu kategori: melekat atau tidak melakat. Selain itu, dapat pula berdasarkan mudah tidaknya membentuk bulatan, yaitu: mudah membentuk bulatan atau sukar membentuk bulatan; dan kemampuannya mempertahankan bentuk tersebut (plastis atau tidak plastis). Secara lebih terinci cara penentuan konsistensi tanah dapat dilakukan sebagai berikut:

(I) Konsistensi Basah
1.1 Tingkat Kelekatan, yaitu menyatakan tingkat kekuatan daya adhesi antara butir-butir tanah dengan benda lain, ini dibagi 4 kategori:
(1) Tidak Lekat (Nilai 0): yaitu dicirikan tidak melekat pada jari tangan atau benda lain.
(2) Agak Lekat (Nilai 1): yaitu dicirikan sedikit melekat pada jari tangan atau benda lain.
(3) Lekat (Nilai 2): yaitu dicirikan melekat pada jari tangan atau benda lain.
(4) Sangat Lekat (Nilai 3): yaitu dicirikan sangat melekat pada jari tangan atau benda lain.

1.2 Tingkat Plastisitas, yaitu menunjukkan kemampuan tanah membentuk gulungan, ini dibagi 4 kategori berikut:
(1) Tidak Plastis (Nilai 0): yaitu dicirikan tidak dapat membentuk gulungan tanah.
(2) Agak Plastis (Nilai 1): yaitu dicirikan hanya dapat dibentuk gulungan tanah kurang dari 1 cm.
(3) Plastis (Nilai 2): yaitu dicirikan dapat membentuk gulungan tanah lebih dari 1 cm dan diperlukan sedikit tekanan untuk merusak gulungan tersebut.
(4) Sangat Plastis (Nilai 3): yaitu dicirikan dapat membentuk gulungan tanah lebih dari 1 cm dan diperlukan tekanan besar untuk merusak gulungan tersebut.

(II) Konsistensi Lembab
Pada kondisi kadar air tanah sekitar kapasitas lapang, konsistensi dibagi 6 kategori sebagai berikut:
(1) Lepas (Nilai 0): yaitu dicirikan tanah tidak melekat satu sama lain atau antar butir tanah mudah terpisah (contoh: tanah bertekstur pasir).
(2) Sangat Gembur (Nilai 1): yaitu dicirikan gumpalan tanah mudah sekali hancur bila diremas.
(3) Gembur (Nilai 2): yaitu dicirikan dengan hanya sedikit tekanan saat meremas dapat menghancurkan gumpalan tanah.
(4) Teguh / Kokoh (Nilai 3): yaitu dicirikan dengan diperlukan tekanan agak kuat saat meremas tanah tersebut agar dapat menghancurkan gumpalan tanah.
(5) Sangat Teguh / Sangat Kokoh (Nilai 4): yaitu dicirikan dengan diperlukannya tekanan berkali-kali saat meremas tanah agar dapat menghancurkan gumpalan tanah tersebut.
(6) Sangat Teguh Sekali / Luar Biasa Kokoh (Nilai 5): yaitu dicirikan dengan tidak hancurnya gumpalan tanah meskipun sudah ditekan berkali-kali saat meremas tanah dan bahkan diperlukan alat bantu agar dapat menghancurkan gumpalan tanah tersebut.

(III) Konsistensi Kering
Penetapan konsistensi tanah pada kondisi kadar air tanah kering udara, ini dibagi 6 kategori sebagai berikut:
(1) Lepas (Nilai 0): yaitu dicirikan butir-butir tanah mudah dipisah-pisah atau tanah tidak melekat satu sama lain (misalnya tanah bertekstur pasir).
(2) Lunak (Nilai 1): yaitu dicirikan gumpalan tanah mudah hancur bila diremas atau tanah berkohesi lemah dan rapuh, sehingga jika ditekan sedikit saja akan mudah hancur.
(3) Agar Keras (Nilai 2): yaitu dicirikan gumpalan tanah baru akan hancur jika diberi tekanan pada remasan atau jika hanya mendapat tekanan jari-jari tangan saja belum mampu menghancurkan gumpalan tanah.
(4) Keras (Nilai 3): yaitu dicirikan dengan makin susah untuk menekan gumpalan tanah dan makin sulitnya gumpalan untuk hancur atau makin diperlukannya tekanan yang lebih kuat untuk dapat menghancurkan gumpalan tanah.
(5) Sangat Keras (Nilai 4): yaitu dicirikan dengan diperlukan tekanan yang lebih kuat lagi untuk dapat menghancurkan gumpalan tanah atau gumpalan tanah makin sangat sulit ditekan dan sangat sulit untuk hancur.
(6) Sangat Keras Sekali / Luar Biasa Keras (Nilai 5): yaitu dicirikan dengan diperlukannya tekanan yang sangat besar sekali agar dapat menghancurkan gumpalan tanah atau gumpalan tanah baru bisa hancur dengan menggunakan alat bantu (pemukul).

Beberapa faktor yang mempengaruhi konsistensi tanah adalah: (1) tekstur tanah, (2) sifat dan jumlah koloid organik dan anorganik tanah, (3) sruktur tanah, dan (4) kadar air tanah.