21.50

Pengelolaan Kesuburan Tanah Pada Lahan Gambut (Bagian 1)

Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Pertanian*

Oleh: Novriani** dan Abdul Madjid Rohim***

(Bagian 1 dari 5 Tulisan)

Keterangan:

* : Makalah Pengelolaan Kesuburan Tanah, Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pascasarjana, Universitas Sriwijaya. Palembang, Propinsi Sumatera Selatan, Indonesia.

** : Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pascasarjana, Universitas Sriwijaya. Palembang, Propinsi Sumatera Selatan, Indonesia.

*** : Dosen Mata Kuliah Pengelolaan Kesuburan Tanah, Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pascasarjana, Universitas Sriwijaya. Palembang, Propinsi Sumatera Selatan, Indonesia.


(Bagian 1 dari 5 Tulisan)


I. Pendahuluan

Lahan gambut dikenal dan ditemukan pertama kali oleh Kyooker, seorang pejabat Belanda pada tahun 1860an yang menyatakan bahwa 1/6 areal wilayah Sumatera ditempati gambut (Notohadiprawiro, 1997). Istilah gambut sendiri pertama kali muncul dan kemudian umum digunakan oleh di kalangan ilmiawan dan menjadi kosa kata Indonesia sejak tahun 1970 an (Radjaguguk, 2001).

Menurut Soekardi dan Hidayat (1988) penyebaran gambut di Indonesia meliputi areal seluas 18.480 ribu hektar, tersebar pada pulau-pulau besar Kalimantan, Sumatera, Papua serta beberapa pulau Kecil. Dengan penyebaran seluas sekitar 18 juta ha maka luas lahan gambut Indonesia menempati urutan ke-4 dari luas gambut dunia setelah Kanada; Uni Sovyet dan Amerika Serikat. Kalimantan Barat merupakan propinsi yang memiliki luas lahan gambut terbesar di Indonesia yaitu seluas 4,61 juta ha, diikuti oleh Kalimantan Tengah, Riau dan Kalimantan Selatan dengan luas masing-masing 2,16 juta hektar, 1,70 juta hektar dan 1,48 juta hektar.

Jenis tanah Organosol atau tanah gambut atau tanah organik berasal dari bahan induk organik seperti dari hutan rawa atau rumput rawa, dengan ciri dan sifat: tidak terjadi deferensiasi horizon secara jelas, ketebalan lebih dari 0.5 m, warna coklat hingga kehitaman, tekstur debu lempung, tidak berstruktur, konsistensi tidak lekat-agak lekat, kandungan organik lebih dari 30% untuk tanah tekstur lempung dan lebih dari 20% untuk tanah tekstur pasir, umumnya bersifat sangat asam (pH 4,0) kandungan unsur hara rendah (Paungkas P, 2006).

Soil Survey Staff (1990) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tanah organik (Histosol) adalah tanah yang mempunyai ketebalan sebagai berikut :

(1) 60 cm atau lebih dengan kandungan serat (bahan organik kasar) meliputi 3/4 volume atau lebih dan kerapatan jenis dalam keadaan lembab kurang dari 0.1 g ml-1;

(2) 40 cm atau lebih :

(a) dengan lapisan bahan organik jenuh air lebih dari 6 bulan atau telah ada perbaikan drainase;

(b) dengan bahan organik terdiri atas bahan organik halus (saprik) atau bahan organik sedang (hemik) atau bahan fibrik (kasar) kurang dari 2/3 volume dan kerapatan jenis dalam keadaan lembab 0.1 g ml-1 atau lebih.

Tanah gambut merupakan tanah hidromorfik yang bahan asalnya sebagian besar atau seluruhnya terdiri atas bahan organik sisa-sisa tumbuhan, dalam keadaan yang selalu tergenang, dimana proses dekomposisinya berlangsung tidak sempurna sehingga terjadi penumpukan dan akumulasi bahan organik membentuk tanah gambut yang kedalamannya di beberpa tempat dapat mencapai 16 meter. Di daerah tropis khususnya Indonesia menurut Driesen (1978) terbentuknya gambut pada umumnya terjadi dibawah kondisi dimana tanaman yang telah mati tergenang air secara terus menerus, misalnya pada cekungan atau depresi, danau atau daerah pantai yang selalu tergenang dan produksi bahan organik yang melimpah dari vegetasi hutan mangrove atau hutan payau.

Tanah gambut dapat terbentuk di daerah rawa pasang surut dan di daerah rawa-rawa pedalaman yang tidak dipengaruhi oleh air pasang surut (Hardjowigeno, 1996). Tanah gambut terbentuk karena laju akumulasi bahan organik melebihi proses mineralisasi yang biasanya terjadi pada kondisi jenuh air yang hampir terus menerus sehingga sirkulasi oksigen dalam tanah terhambat. Hal tersebut akan memperlambat proses dekomposisi bahan organik dan akhirnya bahan organik itu akan menumpuk.

Lahan gambut mempunyai penyebaran di lahan rawa, yaitu lahan yang menempati posisi peralihan diantara daratan dan sistem perairan. Lahan ini sepanjang tahun/selama waktu yang panjang dalam setahun selalu jenuh air (water logged) atau tergenang air. Tanah gambut terdapat di cekungan, depresi atau bagian-bagian terendah di pelimbahan dan menyebar di dataran rendah sampai tinggi. Yang paling dominan dan sangat luas adalah lahan gambut yang terdapat di lahan rawa di dataran rendah sepanjang pantai. Lahan gambut sangat luas umumnya menempati menyebar diantara aliran bawah sungai besar dekat muara, dimana gerakan naik turunnya air tanah dipengaruhi pasang surut harian air laut.

Di alam, gambut sering bercampur dengan tanah liat. Tanah disebut sebagai tanah gambut apabila memenuhi salah satu persyaratan berikut (Soil Survey Staff ,1990):

1. Apabila dalam keadaan jenuh air mempunyai kandungan C –organik paling sedikit 18% jika kandung liatnya >60 % atau mempunyai kandungan C-organik 2% jika tidak mempunyai liat (O %) atau mempunyai kandungan C–organik lebih dari 12% + % liat x 0,1 jika kandungan liatnya antara 0-60 %.

2. Apabila tidak jenuh air mempunyai kandungan C-organik minimal 2O %.

Menurut Suhardjo dan Soepraptohardjo (1981), tanah gambut mempunyai lapisan organik setebal 50 cm atau lebih dari permukaan tanah. Kriteria penggolongan tanah gambut dengan tanah mineral secara kuantitatif ditentukan oleh kandungan fraksi bahan tanah mineral dan C-organik. Menurut Everret (1983), suatu tanah digolongkan pada tanah gambut jika (1) mempunyai 18 % atau lebih C-organik jika fraksi mineral terdiri atas 60% atau lebih kadar liat, (2) mempunyai 12% atau lebih kecil C-organik jika fraksi mineral tidak mengandung liat, dan (3) mempunyai 12% sampai 18% C-organik jika fraksi mineral mengandung liat antara 0% sampai 60 %.

Gambut tropis umumnya berwarna coklat tua (gelap), bergantung pada tahapan dekomposisinya. Kandungan air yang tinggi dan kapasitas memegang air 15 sampai 30 kali dari bobot kering, bobot isi rendah (0.05-0.4 g cm-3), dan porositas total antara 75% sampai 95% menyebabkan terbatasnya penggunaan mesin-mesin pertanian dan pemilihan komoditas yang akan diusahakan (Ambak dan Melling, 2000). Sifat lain yang merugikan adalah jika gambut mengalami pengeringan yang berlebihan sehingga koloid gambut menjadi rusak. Gejala kering tak balik (irreversible drying) terjadi dan gambut berubah sifat seperti arang sehingga tidak mampu lagi menyerap hara dan menahan air (Subagyo et al, 1996). Gambut akan kehilangan air tersedia setelah 4 sampai 5 minggu pengeringan dan hal itu mengakibatkan gambut mudah terbakar.

Dapat juga digolongkan pada tanah gambut bila kedalaman tanah tersebut besar dari 50 cm dan kandungan bahan organiknya besar 65%. Menurut Soil Taxonomi gambut digolongkan kedalam order Histosol yang dibedakan menjadi 4 sub order masing-masing Folists, Fibreists, Hemists, Saprists.

· Folist merupakan lapisan tanah yang tersusun oleh tumpukan daun-daun, ranting dan cabang yang tertimbun diatas batuan, kerikil atau pasir yang ruang antaranya telah diisi oleh bahan organik.

· Fibrists merupakan tumpukan dari bahan organik yang berserat yang belum atau baru mengalami proses dekomposisi.

· Hemists adalah gambut yang tingkat dekomposis bahan organik tengah berlangsung, dimana separuh dari bahan organik tersebut telah terdekomposisi.

· Saprists adalah gambut yang tingkat dekomposisinya telah lanjut, hampir tidak berserabut, berat jenisnya besar dari 0,2 dan biasanya berwarna hitam atau coklat kelam.

Berdasarkan penyebaran topografinya, tanah gambut dibedakan menjadi tiga yaitu:

a. gambut ombrogen: terletak di dataran pantai berawa, mempunyai ketebalan 0.5 – 16 meter, terbentuk dari sisa tumbuhan hutan dan rumput rawa, hampir selalu tergenang air, bersifat sangat asam. Contoh penyebarannya di daerah dataran pantai Sumatra, Kalimantan dan Irian Jaya (Papua);

b. gambut topogen: terbentuk di daerah cekungan (depresi) antara rawa-rawa di daerah dataran rendah dengan di pegunungan, berasal dari sisa tumbuhan rawa, ketebalan 0.5 – 6 meter, bersifat agak asam, kandungan unsur hara relatif lebih tinggi. Contoh penyebarannya di Rawa Pening (Jawa Tengah), Rawa Lakbok (Ciamis, Jawa Barat), dan Segara Anakan (Cilacap, Jawa Tengah); dan

c. gambut pegunungan: terbentuk di daerah topografi pegunungan, berasal dari sisa tumbuhan yang hidupnya di daerah sedang (vegetasi spagnum). Contoh penyebarannya di Dataran Tinggi Dieng.

Tanah gambut secara alami terdapat pada lapisan paling atas. Di bawahnya terdapat lapisan tanah alluvial pada ke dalaman yang bervariasi. Lahan dengan ketebalan tanah gambut kurang dari 50 cm disebut sebagai lahan atau tanah bergambut disebut sebagai lahan gambut apabila ketebalan gambut lebih dari 50 cm. Dengan demikian,lahan gambut adalah lahan rawa dengan ketebalan gambut lebih dari 50 cm.

Berdasarkan kedalamnya, lahan gambut dibagi menjadi empat tipe, yaitu:

1. Lahan gambut dangkal, yaitu lahan dengan ketebalan gambut 50 - 100 cm;

2. Lahan gambut sedang, yaitu lahan dengan ketebalan gambut 100 - 200 cm

3. Lahan gambut dalam, yaitu lahan dengan ketebalan gambut 200 - 300 cm

4. Lahan gambut sangat dalam, yaitu lahan dengan ketebalan gambut lebih dari 300 cm.

Tanah gambut di daerah tropika basah seperti Indonesia berkembang dari vegetasi hutan tropis. Dalam kondisi alami, lapisan tanah gambut terdiri atas bahan material berserat dan tanaman yang terdekomposisi belum sempurna, sehingga menghasilkan tanah gambut yang variasi dan sebarannya heterogen. Menurut pengamatan di lapangan, material berserat ini tidak terdistribusi secara merata dalam lapisan tanah.

Dari sekian luas penyebaran di Indonesia beberapa bagian dipengaruhi oleh pasang. Diberbagai tempat dewasa ini telah dilakukan pemanfaatan tanah gambut itu terutama untuk lahan pasang surut dan pembukaan lahan lain baik untuk perkebunan maupun untuk lahan pemukiman transmigrasi.

Wilayah lahan-lahan gambut merupakan potensi karbon dan juga sebagai penyimpan air perlu didorong sehingga pemanfaatannya bisa maksimal dan tidak keliru lagi. Pemanfaatan gambut yang tidak bijaksana justru membawa bencana bagi kehidupan masyarakat setempat dan bangsa. Misalnya kasus kebakaran hutan yang menyebabkan protes dari negara-negara tetangga.

Pasalnya, di kawasan hutan gambut tropika, vegetasi maupun gambut di bawahnya menyimpan kandungan karbon yang besar. Terdapat hubungan sangat jelas antara cadangan karbon, emisi karbon, dan pengaruhnya terhadap proses perubahan iklim dunia. Isu perubahan iklim dunia sudah menjadi isu global yang perlu dicarikan solusinya.

Berdasar sifat dari bahan gambut dan hasil pembelajaran dalam pengelolaan lahan gambut, maka pengembangan lahan gambut Indonesia ke depan dituntut menerapkan beberapa kunci pokok pengelolaan yang meliputi aspek legal yang mendukung pengelolaan lahan gambut; penataan ruang berdasarkan satuan sistem hidrologi gambut sebagai wilayah fungsional ekosistem gambut; pengelolaan air; pendekatan pengembangan berdasarkan karakteristik bahan tanah mineral di bawah lapisan gambut; peningkatan stabilitas dan penurunan sifat toksik bahan gambut dan pengembangan tanaman yang sesuai dengan karakteristik lahan.

Komposisi bahan penyusun gambut berkaitan erat dengan asam-asam organik yang dihasilkan selama proses dekomposisi. Stevenson (1994) menjelaskan bahwa lignin akan mengalami proses degradasi menjadi senyawa humat dan selama proses degradasi tersebut akan dihasilkan asam-asam fenolat.

Berdasarkan tingkat kesuburan alami, gambut dibagi dalam 3 kelompok yakni eutrofik (kandungan mineral tinggi, reaksi gambut netral atau alkalin), oligotrofik (kandungan mineral, terutama Ca rendah dan reaksi masam) dan mesotrofik ( terletak diantara keduanya dengan pH sekitar 5, kandungan basa sedang). Ketebalan atau kedalaman gambut juga menentukan tingkat kesuburan alami dan potensi kesesuaiannya untuk tanaman. Subagyo et al, (1996) membagi gambut dalam 4 kelas, yaitu dangkal (50-100 cm), agak dalam (100-200 cm), dalam (200-300 cm) dan sangat dalam (lebih dari 300 cm).

Menurut Subagyo et al, (1996), tanah bawah gambut dapat terdiri atas liat endapan marin, pasir kuarsa, atau endapan liat nonmarin. Tanah gambut yang berkembang di atas pasir kuarsa miskin hara esensial dibandingkan dengan tanah gambut yang berkembang di atas tanah lempung dan liat.

Tingkat dekomposisi bahan organik ditunjukkan oleh kandungan serat. Pengertian taraf dekomposisi bahan organik tanah yang lebih jelas dikemukakan Widjaja dan Adhi (1988). Yang dimaksud dengan fibrik adalah bahan organik tanah yang sangat sedikit terdekomposisi yang mengandung serat sebanyak 2/3 volume. Bobot volume fibrik lebih kecil dari 0.075 g cm-3 dan kandungan air tinggi jika tanah dalam keadaan jenuh air. Saprik adalah bahan organik yang terdekomposisi paling lanjut yang mengandung serat kurang dari 1/3 volume dan bobot isi saprik adalah 0,195 g cm-3, sedangkan hemik adalah bahan organik yang mempunyai tingkat dekomposisi antara fibrik dengan saprik dengan bobot isi 0,075 sampai 0,195 g cm-3.

Berdasarkan status hara, Fleisher (1965, dikutip Driessen dan Soepraptohardjo, 1974) memilah gambut menjadi tiga golongan, yaitu (1) gambut eutropik yang subur, (2) gambut mesotropik dengan kesuburan sedang, dan (3) gambut oligotropik sebagai gambut miskin. Penggolongan tersebut didasarkan pada kandungan nitrogen (N), kalium (K), fosfor (P), kalsium (Ca), dan kadar abunya seperti yang disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Kriteria kimia gambut eutropik, mesotropik, dan oligotropik menurut Fleischer

Tingkat

Kesuburan

Kriteria

Penilaian (%)

N

K2O

P2O5

CaO

Abu

Eutropik

2.50

0.10

0.25

4.00

10.00

Mesotropik

2.00

0.10

0.20

1.00

5.00

Oligotropik

0.80

0.03

0.05

0.25

2.00

Sumber : Driessen dan Soepraptohardjo (1974).

Sebagai akibat akumulasi bahan organik dan tanah dalam lingkungan tergenang air, banyak terbentuk senyawa-senyawa asam organik sehingga derajat kemasaman tanah gambut tinggi. Menurut Halim dan Soepardi (1987), kategori kemasaman tanah gambut dibedakan atas : (1) tinggi, pH kurang dari 4; (2) sedang, pH berkisar antara 4 sampai 5; (3) rendah, pH lebih dari 5.

Bersambung ke bagian 2 yang dapat dilihat pada pustaka dibawah ini:

Pustaka:

Madjid, A. R. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Bahan Ajar Online untuk mata kuliah: (1) Dasar-Dasar Ilmu Tanah, (2) Kesuburan Tanah, dan (3) Pengelolaan Kesuburan Tanah Lanjut. Fakultas Pertanian Unsri & Program Pascasarjana Unsri. http://dasar2ilmutanah.blogspot.com.

0 comments: