21.30

TEKNOLOGI PUPUK HAYATI FUNGI PELARUT FOSFAT (Bagian 2)

Teknologi Pupuk Hayati Fungi Pelarut Fosfat (FPF)*
Oleh: Rodiah** dan Madjid***
(Bagian 2 dari 6 Tulisan)

Keterangan:
* Makalah Mata Kuliah Teknologi Pupuk Hayati pada Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Bukit Besar, Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia.
** Program Studi Ilmu Tanaman, Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Bukit Besar, Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia.
*** Dosen Pengasuh Mata Kuliah Teknologi Pupuk Hayati, Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pasca Sarjana, Universitas Sriwijaya, Bukit Besar, Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia.

(Bagian 2 dari 6 Tulisan)


II. Fosfat (P)

Fosfat (P) merupakan unsur hara esensial makro seperti halnya karbon (C) dan nitrogen (N). Tanaman memperoleh unsur P seluruhnya berasal dari tanah atau dari pemupukan serta hasil dekomposisi dan mineralisasi bahan organik. Jumlah P total dalam tanah cukup banyak, namun yang tersedia bagi tanaman jumlahnya rendah hanya berkisar 0,01-0,2 mg/kg tanah.

Didalam tanah P berada dalam bentuk P-organik dan P-anorganik. Bentuk P-anorganik dalam tanah umumnya berasal dari pelapukan mineral primer, pemupukan dan mineralisasi P-organik. Mineral primer tersebut misalnya apatit dengan rumus M10(PO4)6X2, dimana M sama dengan kalsium (Ca) dan X sama dengan F-, Cl-, OH- atau CO32-. Bentuk tersebut merupakan bentuk yang paling umum dipakai sebagai pupuk, yaitu fosfat alam yang kaya karbonat apatit. Pada tanah-tanah yang telah mengalami pelapukan lanjut, umumnya sumber P dari mineral primer sedikit sekali dijumpai, kecuali pada tanah pertanian yang memperoleh masukan P dari pupuk fosfat alam.

Berkenaan dengan ketersediaannya bagi tanaman, unsur P dibedakan menjadi (a) P-terlarut, bentuk ini labil yang tersedia dengan cepat bagi tanaman, (b) P-terikat pada kompleks permukaan koloid, misalnya Al-P dan Fe-P seperti yang dijumpai pada tanah-tanah masam, (c) P-terjerap kuat yang lambat atau sukar larut (P-stabil) dan P terselimuti oleh Fe2O3 atau Mn2O3 (occluded P). Ketiga bentuk P tersebut diatas saling berhubungan satu sama lain membentuk suatu keseimbangan yang dinamis.

Bentuk P-organik berada dalam bentuk senyawa organik kompleks yang berasal dari sisa tanaman, hewan dan organisme tanah. Bnetuk ini terdapat sebagai senyawa ester seperti inositol fosfat, fosfolipida, asam nukleat, nukleotida dan gula-gula fosfat; bentuk ini menyumbang 30-50% P-total tanah (Paul dan Clark, 1989; Subba Rao, 1977). Senyawa P-organik terdapat di dalam humus tanah dan berasosiasi dengan jaringan mikroba tanah. Ketersediaan P-organik bagi tanaman sangat tergantung pada aktivitas mikroorganisme melalui mineralisasi. Enzim fosfatase yang dihasilkan oleh mikroorganisme heterotrof berperan penting dalam pelepasan P ke dalam tanah.

Fosfat merupakan sumber energi primer bagi oksidasi mikroba. Organisme tanah berhubungan sangat erat dengan siklus P dalam tanah yaitu berperan dalam : (a) pelarutan P-anorganik dan pelepasan (mineralisasi) P-organik, (b) imobilisasi P-tersedia.

Di alam, fosfor terdapat dalam dua bentuk, yaitu senyawa fosfat organik (pada tumbuhan dan hewan) dan senyawa fosfat anorganik (pada air dan tanah). Fosfat organik dari hewan dan tumbuhan yang mati diuraikan oleh dekomposer (pengurai) menjadi fosfat anorganik. Fosfat anorganik yang terlarut di air tanah atau air laut akan terkikis dan mengendap di sedimen laut. Oleh karena itu, fosfat banyak terdapat di batu karang dan fosil. Fosfat dari batu dan fosil terkikis dan membentuk fosfat anorganik terlarut di air tanah dan laut. Fosfat anorganik ini kemudian akan diserap oleh akar tumbuhan lagi. Siklus ini berulang terus menerus.

Siklus P di dalam tanah cukup dinamis meliputi serapan P oleh tanaman, hanyut terbawa limpasan permukaan dan erosi, pengembalian melalui residu tanamandan hewan, pemupukan, pengembalian melalui mineralisasi-immobilisasi P-organik, reaksi pengikatan pada permukaan liat dan oksida Al dan Fe serta pelarutan mineral P oleh aktivitas mikroba (Buresh et al., 1997).

Pembentukan P-mineral primer berlangsung sangat lambat, sementara jerapan P dalam tanah terjadi lebih cepat. Jerapan P dalam tanah tersebut biasa dikenal dengan adsorpsi atau sorpsi. Jerapan P pada tanah sangat dipengaruhi oleh ph larutan tanah. Rendahnya nilai pH pada andisol menyebabkan meningkatnya jerapan P, karena menurunnya pH mengakibatkan aktivasi Al pada permukaan koloid mineral anorganik. Jerapan anion fosfat ini juga akan semakin menigkat dengan meningkatnya derajat pelapukan tanah. Hal ini kemungkinan disebabkan meningkatnya kandungan Al. Bila ion fosfat (HPO42- atau H2PO4-) diserap tanaman, keseimbangan P dalam tanah terganggu, P-labil bergerak menuju larutan tanah menajdi bentuk P-tersedia. Keseimbangan antara bentuk P-labil dan P-terjerap juga terganggu, dimana P bergerak lambat dari pool P-stabil menuju pool P-labil (Paul dan Clark, 1989). Pada sistem pola tanam yang terbuka, memungkinkan terjadinya limpasan air di permukaan tanah dan mengangkut tanah lapisan atas termasuk pula unsur P dan hara lainnya ke tempat lain sehingga menjadi tidak tersedia bagi tanaman.


Mineralisasi dan Immobilisasi Fosfat

Ketersediaan fosfat dikendalikan oleh mineralisasi dan immobilisasi melalui fraksi organik dan pealrutan serta presipitasi fosfat dalam bentuk anorganik. Sisa tanaman, hewan dan mikroba yang dikembalikan ke dalam tanah, secara aktif didekomposisi oleh mikroorganisme. Fosfat dalam sisa organik tersebut harus dilepaskan jika harus tersedia untuk tanaman dan mikroorganisme.

Mineralisasi fosfat merupakan proses enzimatik. Enzim yang terlibat disebut fosfatase yang mengkatalis berbagai reaksi yang melepaskan fosfat dari senyawa fosfat organik ke dalam larutan tanah. Fosfatase dilepaskan oleh mikroorganisme di luar sel ke dalam larutan tanah untuk mengkatalis reaksi-reaksi berikut ini :

Fosfomonoesterasi menghidrolisis fosfat dari bentuk monoester fosfat, seperti nukleotida atau fosfolipida.
1. Fosfodiesterase menghidrolisis fosfat dari bentuk diester fosfat seperti asam nukleat.
2. Fitase menghidrolisis fosfat dari fosfat inositol.

Jika fosfat dimineralisasi maka dapat diserap oleh tanaman atau diimmobilisasi kembali ke dalam sel mikroba, atau dapat membentuk kompleks anorganik tidak larut. Biomassa mikroba dapat mempengaruhi ketersediaan fosfat melalui immobilisasi, yaitu pengikatan ion ortofosfat menajdi bentuk organik yang terikat dalam organisme. Misalnya ortofosfat bereaksi dengan ADP (Adenosine diphosphate) dan masukan energi yang sesuai untuk membentuk ATP. Tingkat immobilisasi dipengaruhi oleh nisbah C/P bahan organik yang mengalami dekomposisi dan jumlah fosfat tersedia dalam larutan tanah. Nisbah C/P residu yang ditambahkan dapat menentukan tingkat fosfat anorganik dimineralisasi atau diimobilisasi. Jika fosfat tidak cukup tersedia dalam residu untuk asimilasi karbon yang ditambahkan, maka fosfat anorganik dari larutan tanah harus digunakan dan bisa terjadi net imobilisasi. Sebaliknya jika lebih banyak tersedia fosfat dalam residu jika dibandingkan dengan yang diperlukan untuk asimilasi karbon, maka terjadi net mineralisasi ortofosfat. Umumnya, nisbah C/P <> 300:1 menghasilkan imobilisasi. Nisbah antara 200-300 hanya menghasilkan perubahan kecil dalam konsentrasi fosfat daam larutan tanah. Proses ini sama dengan proses mineralisasi dan imobilisasi nitrogen. Selain kandungan fosfat dalam residu, variabel tanah dan lingkungan yang lain (misalnya pH, temperatur, aerasi, dan lengas tanah) mempengaruhi aktivitas mikroba dan mineralisasi fosfat. Unsur yang paling menjadi pembatas akan mengendalikan kecepatan mineralisasi fosfat dari residu. Jika mineralisasi karbon yang cepat terjadi pada residu dengan kandungan fosfat terbatas, maka terjadi imobilisasi fosfat dari tanah. Ketika karbon oragnik yang dapat dimineralisasi habis, bagian biomassa mikroba yang kaya fosfat juga akan dimineralisasi, menghasilkan pelepasan fosfat yang semua diimobilisasi.

Mineralisasi P-organik menjadi bentuk P-anorganik dilakukan oleh mikroba tanah. Indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui siklus transformasi P-organik menjadi P-anorganik adalah dengan mengetahui jumlah total mikroba dan biomassa mikroba (Buresh et al., 1997). Faktot-faktor yang mempengaruhi proses mineralisasi P di dalam tanah adalah temperatur, kelembaban, aerasi, pH tanah dan kualitas bahan organik yang ditambahkan. Aerasi tanah yang baik dengan kelembaban yang cukup serta temperatur tanah berkisar 30-40 oC menentukan jenis dan aktivitas mikroba tanah, selanjutnya dapat menentukan produk akhir dari proses metabolisme mikroba yang bersangkutan (Stevenson, 1986).

Pemilihan jenis tanaman sebagai sumber bahan organik untuk memperbaiki ketersediaan P tanah ditentukan oleh kualitasnya yaitu nisbah C/P. Nilai kritis C/P adalah 200, Bila C/P 200 maka akan terjadi mineralisasi, dan bila C/P 300 atau bila kandungan P pada bahan organik <0,2%>Pelarutan Fosfat Anorganik

Mineral fosfat anorganik umumnya dijumpai sebagai aluminium dan besi fosfat pada tanah-tanah masam, sedangkan kalsium fosfat mendominasi tanah-tanah basa. Senyawa yang kurang larut ini memasok ortofosfat ke larutan tanah tergantung tingkat kelarutan senyawa tersebut. Ortofosfat dipasok ke akar terutama melalui difusi. Akar tanaman dan mikroorganisme tanah dapat meamcu pelarutan senyawa fosfat melalui pelepasan karbon dioksida dan asam-asam organik ke larutan tanah. Asam karbonat dapat merangsang pelarutan asam pada senyawa kalsium dan magnesium fosfat. Hal yang sama, keasaman yang dihasilkan oleh bakteri nitrifikasi dan bakteri pelarut sulfur merangsang pelarutan garam-garam fosfat yang tidak larut. Berbagai jenis asam-asam organik yang dihasilkan oleh mikroorganisme dan tanaman dapat berperan sebagai bahan pengkhelat (chelating agents) untuk melarutkan aluminium, besi, kalsium dan magnesium fosfat, sehingga menghasilkan pelepasan ortofosfat ke dalam larutan tanah (Stevenson, 1986). Satu kelompok organisme yang penting adaalh jamur mikoriza, yang membentuk simbiosis dengan akar tanaman untuk memacu serapan fosfat dan unsur hara lainnya. Pada kondisi tergenang, hidrogen sulfida yang dihasilkan oleh bakteri pereduksi sulfat atau proses lainnya, dapat juga mengganti kation logam dari fosfat tidak larut, dengan melepaskan fosfat. Beberapa bakteri yang sangat efektif dalam melarutkan fosfat (bakteri pelarut fosfat) dari batuan fosfat. Salah satu contoh adalah Bacillus megaterium var. Phosphaticum. Bakteri ini telah dikemas dalam bentuk inokulum yang disebut fosfobakterin dan diaplikasikan ke tanah untuk memacu pelarutan mineral fosfat. Selain itu, pemberian bahan sumber karbon yang mudah dimineralisasi seeprti pupuk kandang, dapat memacu pelarutan fosfat melalui peningkatan aktivitas biologi. Peningkatan karbon organik juga berperan dalam mengkompleks aluminium pada tanah-tanah asam, jadi mengurangi peluang aluminium mengikat fosfat.


Aspek Lingkungan yang Mempengaruhi Ketersediaan P

Tanaman menyerap P dalam bentuk ion ortofosfat H2PO4-, H2PO42-, dan PO43-, yang ketersediaannya dalam tanah dipengaruhi oleh :


1. pH tanah.

Pada pH tanah agak masam hingga netral, H2PO42- lebih mendominasi. Untuk pH netral hingga agak basa (pH >7,2) H2PO42- lebih banyak dan pada pH sangat basa (>10) PO43- lebih mendominasi. Perubahan pH dalam larutan tanah maupun di dalam rhizosfer akan mempengaruhi kelarutan unsur Al, Fe, Mn, dan Ca. Ion Fe, Al, Mn, dan Ca dapat mengikat unsur P menjadi bentuk tidak larut dan tidak tersedia bagi tanaman.
Al3+ + H2PO4- + 2H2O ----> AlPO4.2H2O + 2H+
Fe3+ + H2PO4- + 2H2O ----> FePO4. 2H2O + 2H+
Al(OH)3 + H2PO4- ----> Al(OH)2 H2PO4- + OH-
Ca(H2PO4-)2 + 2Ca2+ ----> Ca3(PO4)2 + 2H+

Didaerah rhizosfer, pH tanah dapat berbeda dengan pH tanah diluar rhizosfer sebagai akibat dari tidak berimbangnya jumlah serapan kation dan anion.


2. Kandungan bahan organik tanah.

Keberadaan P-organik tanah berhubungan langsung dan tidak langsung dengan kandungan bahan organik tanah, yaitu pada proses dekomposisi dan mineralisasi bahan organik. Pada proses mineralisasi mikroba menguraikan senyawa P-organik menjadi bentuk P-anorganik yang tersedia bagi tanaman. Hubungan tidak langsung hubungan ketersediaan P dengan bahan organik tanah dapat dilihat dari peran bahan organik dalam mempertahankan struktur dan aerasi tanah sehingga menjamin kelangsungan proses-proses dekomposisi. Proses dekomposisi tersebut akan menghasilkan senyawa-senyawa organik yang akan membantu meningkatkan kealrutan mineral-mineral tanah yang mengandung P. Proses pencucian dan erosi menyebabkan konsentrasi P total dalam tanah menurun, selanjutnya diperbaharui oleh adanya pelepasan P-organik melalui proses mineralisasi, selanjutnya akan menjadi cadangan P tanah (P capital).


3. Adanya eksudasi asam organik oleh akar tanaman.

Adanya cekaman lingkungan di daerah perakaran (misalnya kekeringan) menyebabkan akar mengeksudasi beberapa macam asam organik seperti asam malat, asetat, laktat, suksinat yang dapat mengikat Al, Fe, Mn, dan Ca sehingga P lepas ke dalam larutan tanah (Handayanto dan Khairiah, 2007).


Bersambung ke bagian 3 yang dapat dilihat pada pustaka dibawah ini:


Pustaka:

Madjid, A. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Bahan Ajar Online. Fakultas Pertanian Unsri & Program Studi Ilmu Tanaman, Program Magister (S2), Program Pascasarjana. Universitas Sriwijaya. Http://dasar2ilmutanah.blogspot.com.

0 comments: